Suara.com - Meme sarkasme marak bermunculan di media-media sosial, setelah banyak baliho maupun spanduk menampilkan wajah politikus terpancang di daerah Indonesia.
Komika Abdul Aziz Batubara atau dikenal dengan nama Adjis Doaibu, misalnya, membuat rangkaian meme "baliho sindiran". Dia mengaku meme-meme tersebut adalah bentuk keresahannya menyaksikan papan-papan reklame para politisi bertebaran di tengah warga yang kesusahan karena pandemi Covid-19.
Pakar komunikasi Alo Liliweri mengatakan fenomena memparodikan baliho politik itu merupakan cara warga menertawakan kontradiksi kelakuan elite politik yang berlomba mempromosikan diri justru ketika rakyat dalam keadaan susah.
PDIP--salah satu partai yang juga memasang baliho--tak keberatan, asalkan modifikasi tersebut masih dalam ukuran kepatutan dan tidak bersifat melecehkan.
Baca Juga: Usai Baliho Kepak Sayap Kebhinnekaan, Kini Muncul Game Kepak Sayap Banteng
Foto komika Adjis Doaibu bersama boneka beruang terpampang pada sebuah baliho, seolah-olah terpasang di salah satu ruas jalan tol entah berantah. Itu bukan baliho sungguhan, gambar tersebut adalah salah satu meme karyanya.
Di akun Instagram, unggahan ini mendapatkan lebih dari 16.000 likes. Sementara di Twitter, unggahan yang sama disukai lebih dari 9.500 kali dan di-retweet 1.971 kali.
Ada pula meme baliho lain, foto Adjis berjas hitam disertai tagline "Kerja untuk diri sendiri, pejabat sibuk promosi".
Di akun Instagramnya, unggahan tersebut mendapatkan lebih dari 16.700 likes. Sementara di akun Twitter, disukai lebih dari 11.000 kali dan diretweet 2.000 kali.
Akun @Hilmi28 juga membuat sebuah meme baliho berisi foto diri serta kalimat "Baliho ini segera kami turunkan lalu diganti dengan bantuan sembako dan kebutuhan medis selama pandemi".
Baca Juga: Tiru Baliho Puan Maharani, Angkringan di Magelang Pasang Baliho Kepak Sayap Empon-empon'
Unggahan itu disukai 2.693 kali dan di-retweet 274 kali.
Meme baliho juga diunggah akun @indoprogress yang menampilkan spanduk politikus PDIP dipasang di beberapa lokasi dan momen bersejarah. Cuitan ini mendulang 2.200 retweet dan disukai lebih dari 5.900 kali.
Berbagai meme itu hadir menyusul bertebarannya baliho dan spanduk politikus di ruas-ruas jalan hingga sudut-sudut daerah di seluruh Indonesia.
Sejumlah politisi yang wajahnya kerap muncul melalui baliho-baliho itu antara lain Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Analisis Drone Emprit menunjukkan popularitas Ketua DPR Puan Maharani di media sosial naik akibat maraknya pemasangan baliho tersebut. Tapi pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menambahkan, peningkatan popularitas lebih banyak diwarnai percakapan negatif warganet mengenai baliho.
"Tren dalam satu bulan terakhir, popularitas Puan meningkat meski banyak sentimen negatif (sindiran)," kata Ismail dalam cuitan di akun Twitternya, Minggu, 8 Agustus 2021.
Banyaknya baliho politik di tengah berbagai kesulitan warga menghadapi pandemi Covid-19 itu, mengusik Adjis Doaibu. Ia bertanya-tanya, mengapa bisa dalam situasi krisis, masih ada yang lebih mementingkan promosi diri ketimbang memberikan bantuan konkret?
"Simpelnya tu, kita ini sedang dalam keadaan berduka, banyak yang meninggal, banyak yang kehilangan keluarga, tapi sempat ya bikin-bikin kayak gitu?" tutur Adjis kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (19/08).
"Kayak sedang ke pemakaman teman yang suaminya meninggal, terus lu mesra-mesraan gitu ama pacar lu. Itu kayak hal yang bertolak belakang sih," imbuhnya menganalogikan ihwal pemasangan baliho politikus di tengah penderitaan rakyat.
Adjis mengingat, keresahannya bermula dari pertengahan Juli 2021. Saat itu, setelah pulih dari infeksi Covid-19 yang menjangkitinya pada Juni, ia memutuskan berkeliling Jakarta.
Dari dalam mobil, komedian yang juga aktor itu menjumpai ada banyak baliho di jalan-jalan ibu kota yang ia lalui.
Adjis pun heran mengapa jadi ada lebih banyak baliho. Hingga kemudian, ia mendapati angka '2024' pada beberapa papan reklame tersebut.
"Gua ingat-ingat, 2024 kan mau ada pemilihan, kan lima tahun sekali ya," ungkap dia mengenang.
"Terus gua mikir, kok mereka sudah mulai campaign ya, padahal lagi kayak gini nih. Sedangkan katanya tabung oksigen susah, rumah sakit penuh, kewalahan, insentif nakes belum turun-turun, kenapa mereka nggak bantuin itu aja ya?" kata Presiden Stand Up Indonesia itu.
Awalnya Adjis menyangka keresahan itu hanya dirasakannya seorang. Tapi ternyata tidak. Warganet di media sosial juga mengeluhkan hal serupa.
"Oh ternyata orang lain juga resah, ya sudah gua inisiatif bikin baliho-baliho sindiran-sindiran," paparnya membeberkan awal mula pembuatan meme baliho.
"Ya sarkame sih. Makanya kalau dianggap itu sebuah dukungan juga, aneh. Aneh kalau itu dianggap sebagai dukungan," imbuh dia lagi.
Meme baliho itu tak ditujukan Adjis spesifik ke pihak tertentu. Sarkasme tersebut merupakan cara dia mengekspresikan keresahan atas kondisi di sekitar.
Dengan begitu orang lain bukan hanya menikmati karyanya tapi juga memikirkan ulang kritik yang disampaikan Adjis lewat kelakar.
"Orang jadi lebih paham, promo-promo kayak gitu itu mementingkan diri sendiri saja, kitanya tetap dicuekin," tutur Adjis.
"Orang-orang jadi paham, kita itu memang didekati elite politik cuma lima tahun sekali doang. ... Habis itu kalian mah dicuekin, nggak bakal diwaro. Karena kalau diwaro, nggak bakal kayak sekarang," sambungnya.
Apa tanggapan politikus partai?
Salah satu partai politik yang balihonya banyak muncul adalah PDI Perjuangan (PDIP). Politikus PDIP Hendrawan Supratikno menyatakan partainya tak keberatan dengan meme atau modifikasi yang terinspirasi dari baliho Puan Maharani.
Namun ia mengingatkan, bentuk kreativitas tersebut tetap harus sesuai aturan dan tak merendahkan. Sebab harapan partainya, kalimat "Kepak Sayap Kebhinekaan" disematkan pada baliho menurut dia agar "tumbuh imaji kenusantaraan, toleransi, persatuan".
"Kalau sifatnya kreatif, spontanitas, tidak ada maksud untuk melecehkan, sifatnya membangun kebersamaan, tentu tidak ada salahnya," terang Hendrawan saat dihubungi BBC News Indonesia.
"Tapi kalau dipleset-plesetkan dalam pengertian ke yang sifatnya merendahkan, meremehkan, ya kami menyesalkan. Kami inginnya menciptakan politik pencerahan," tambah dia lagi.
Lebih lanjut Hendrawan menekankan dan mengklaim, keberadaan baliho bukan ditujukan untuk kontestasi politik melainkan alasan yang disebutnya sebagai "ruang kemanusiaan dan kebangsaan".
Lelucon di balik meme baliho politik
Sementara pakar komunikasi dari Universitas Nusa Cendana (UNC) Kupang, Alo Liliweri menuturkan banjir baliho dan spanduk politikus yang kemudian dijadikan bahan lelucon di media sosial, merupakan cara warga 'menertawakan' kelakuan elite politik.
Mereka dianggap tak mampu secara tepat memposisikan diri bahkan di tengah krisis kesehatan dan kesusahan warga. Sehingga yang muncul justru sikap yang bertentangan atau yang tak sepatutnya diambil.
Misalnya, lanjut dia, dana baliho atau spanduk politik semestinya bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih penting. Seperti bantuan untuk warga atau tenaga kesehatan.
"Ini kan dagelan. Masyarakat sudah capek. 'Ngapain lagi sih ini orang-orang?'" tutur Alo kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon.
"Orang pikir-pikir, 'saya nggak bisa makan, kok bisa-bisanya mereka bikin [baliho] begitu'."
"Dalam keadaan susah, menonton wajah orang yang memproklamirkan diri, itu kan sesuatu yang kontradiktif sekali," imbuhnya lagi.
Olok-olok melalui meme baliho tersebut, dipandang Alo, sekaligus sebagai cara warga untuk menghibur diri.
"Orang itu sudah capek, capek hidup. Cari makan susah, hidup susah, ke mana-mana nggak bisa, apa saja yang dia lihat sebagai sesuatu yang kontradiksi dengan kehidupan yang kita alami sekarang, dijadikan lelucon," urai dia.
"Bisa bayangkan, seandainya saya atau siapapun yang sedang susah, tiba-tiba sedang divaksin di bawah suatu baliho," tutur Alo.
"Itu kan dari segi komunikasi, mereka ada di atas baliho yang tinggi dengan segala kepongahan di politik, kami ada di bawah lagi cari makan, lagi susah, di bawah tiang-tiang baliho," lanjutnya lagi.
Emosi atau rasa yang demikian itulah yang menurut Alo Liliwari membuat baliho para politikus justru menjadi sasaran tertawaan atau bahan lelucon.
"Ada sesuatu gejala psikologis, orang lapar itu kan mestinya marah," terang dia.
"Kalau saya sendiri yang lapar, saya bisa marah ke kamu. Tapi ini kan kita ramai-ramai lapar, nggak ada untungnya saling marah, jadi lebih baik kita tertawa saja untuk menghilangkan kemarahan dan keresahan itu," pungkas Alo.