PKS Sebut Rencana Amandemen jadi Sinyal Bahaya Wacana Tambah Masa Jabatan Presiden

Jum'at, 20 Agustus 2021 | 09:55 WIB
PKS Sebut Rencana Amandemen jadi Sinyal Bahaya Wacana Tambah Masa Jabatan Presiden
PKS Sebut Rencana Amandemen jadi Sinyal Bahaya Wacana Tambah Masa Jabatan Presiden. Bukhori Yusuf [dok. PKS]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf memandang tidak ada urgensi untuk mengamandemen konstitusi untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), sebagaimana rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Ia berujar fungsi PPHN sebagai pedoman dalam tata laksana pembangunan nasional sebenarnya sudah terkompensasi dengan adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang terakomodir dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

“Untuk saat ini, kami belum melihat adanya kondisi mendesak untuk menetapkan PPHN melalui TAP MPR. Lagi pula, kedudukan GBHN saat ini sudah digantikan dengan adanya UU SPPN. Pun jika dipandang sudah usang, menurut hemat saya, cukup direvisi peraturan perundang-undangannya agar disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi aktual mengingat undang-undang ini sudah berusia hampir 2 dekade," kata Bukhori kepada wartawan, Jumat (20/8/2021).

Menurut Bukhori partisipasi publik berpotensi terhalang akibat terbatasnya akses dan mobilitas untuk mengawal rencana amandemen UUD 1945 apabila terus dipaksakan. Mengingat saat ini situasi dan kondisi masih dalam pandemi berserta kebijakan yang menyertai.

Baca Juga: FPI Baru Diprediksi Ditunggangi Parpol Jelang Pilpres, Pengamat Singgung Satu Partai

Selain soal tersebut, Bukhori mengkhawatirkan rencana amandemen kelima UUD 1945 berpotensi menjadi bola liar dan melebar ke pembahasan lain yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat dan cita-cita reformasi. Salah satunya ialah terkait isu penambahan masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode.

“Sulit dipungkiri, publik menangkap rencana amandemen ini sebagai sinyal bahaya bagi demokrasi di tengah simpang siur soal wacana penambahan masa jabatan presiden. Pasalnya, wacana ini seolah dipaksakan karena digulirkan di tengah situasi yang tidak tepat, sehingga wajar bila publik menaruh syak wasangka,” lanjutnya.  

Karena itu lanjut Bukhori apabila amandemen tetap dipaksakan maka dikhawatirkan akan muncul persepsi publik bahwa agenda perubahan UUD 1945 memiliki maksud terselubung segelintir elite.

“Dan saya bisa menjamin, mayoritas masyarakat tidak akan menyetujui ihwal rencana amandemen ini lantaran tidak sejalan dengan prioritas mereka di masa pandemi,” pungkasnya.

UUD 1945 Bukan Kitab Suci

Baca Juga: Wakil Ketua MPR: Amandemen UUD 1945 Tidak Urgen, Bukan Prioritas saat Pandemi

Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet sebelumnya mengatakan bahwa UUd 1945 bukan kitab suci. Sehingga kata Bamsoet bukan hal tabu jika ada amandemen untuk melakukan penyempurnaan. Sebabnya, menurut Bamsoet konstitusi akan terus berkembang menyesuaikan kebutuhan zaman.

"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya," kata Bamsoet dalam pidato memperingati Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR, Rabu (18/8/2021).

Bamsoet sekaligus menyampaikan bahwa saat ini MPR mendapati adanya aspirasi masyarakat untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Aspirasi itu yang kemudian direspons MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945.

"Saat ini sedang ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan adanya arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR, yaitu kehendak menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara," ujar Bamsoet.

Bamsoet menyadari bahwa jalan menuju ke arah amandemen memang masih panjang. Ia berujar jika mengacu pada 2 periode yang lalu, periode MPR 2009-2014 dan 2014-2019, PPHN umumnya hanya melalui undang-undang.

Namun atas dasar rekomendasi MPR di dua periode tersebut dan periode MPR saat ini, MPR di bawah kepemimpinan Bamsoet diharapkan dapat mendorong PPHN dengan payung hukum yang lebih kuat, yaitu melalui TAP MPR.

"Kenapa? Agar seluruhnya patuh dan tidak bisa diterpedo dengan perpu," kata Bamsoet.

Bamsoet mengatakan ada arus besar yang menginginkan bangsa Indonesia kembali memiliki bintang pengarah dalam jangka panjang. Mengingat kata dia sebentar lagi akan masuk pada tahun emas Indonesia pada 2045.

Ia menilai dengan keunggulan yang dimiliki, semisal bonus demografi, rakyat Indonesia akan bertambah menjadi 318 juta pada tahun 2024 dan didominasi oleh anak-anak muda atau generasi muda produktif. Di mana 70 persennya adalah generasi produktif.

Sehingga dikatakan Bamsoet diperlukan satu perencanaan yang visioner yang mampu membaca berbagai tantangan zaman yang terus menerus berkembang,

"Sehingga arus besar ini harus menjadi perhatian kami di MPR bahwa nanti apakah akan dilakukan amandemen terbatas untuk mengakomodir arus besar ini, ataukah kembali seperti dulu lagi oleh undang-undang. Ini sangat tergantung pada dinamika politik yang ada, sangat tergantung pada stakeholders di gedung ini, yaitu para pimpinan partai politik, para cendekiawan, para akademisi, para praktisi yang dapat mewujudkan itu semua," kata Bamsoet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI