Terusir karena Konflik, Kondisi Warga Kampung Sasawa Papua yang Terpaksa Menetap di Hutan

Kamis, 19 Agustus 2021 | 12:22 WIB
Terusir karena Konflik, Kondisi Warga Kampung Sasawa Papua yang Terpaksa Menetap di Hutan
Komnas HAM perwakilan Papua saat berkunjung ke tempat pengungsian warga Kampung Sasawa Papua. (dokumen istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Warga Kampung Sasawa, Distrik Yapen Barat, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua sempat mengungsi ke tepian kali hingga hutan akibat penggerebekan kelompok berseberangan dengan NKRI oleh aparat keamanan, pada 5 Agustus 2021 lalu.

Komnas HAM Perwakilan Papua yang mendapat laporan mengenai hal tersebut telah mendatangi lokasi.

Di Distrik Yapen Barat, tepatnya di Desa Sasawa, Komnas HAM Perwakilan Papua yang dipimpin oleh Frits Bernard Ramandey melakukan investigasi dan mengumpulkan sejumlah fakta.

Dalam laporan yang diterima Suara.com, Frits menyatakan, pada 6 Agustus 2021 lalu, terjadi penyisiran yang dilakukan oleh satuan gabungan TNI-Polri ke Kampung sasawa sekitar jam 12.00 WIT.

Baca Juga: Veddriq Leonardo Ungkap Perbedaan Olahraga Panjat Tebing di Amerika Serikat dan Indonesia

Dalam penyisiran tersebut, disebutkan jika kepolisian mengeluarkan tembakan sebanyak tiga kali -- yang tidak diketahui karena apa operasi gabungan tersebut mengeluarkan tembakan.

"Mendengar bunyi tembakan, ratusan masyarakat dan anak-anak sekolah yang masih belajar berhamburan lari menyelamatkan diri ke hutan," kata Frits dalam keterangannya, Rabu (18/8/2021) kemarin.

Merujuk pada data yang dimiliki Komnas HAM, Kampung Sasawa merupakan salah satu markas Kelompok sipil bersenjata pimpinan Ferinando Worabai. Pada 2014 silam, terjadi peristiwa kekerasan dan juga masyarakat melakukan pengungsian.

Dalam hal ini, Komnas HAM melakukan upaya negosiasi dan pemulangan masyarakat. Komnas HAM juga melakukan pemantauan atas sejumlah orang yang ditangkap polisi dan menjalani pemeriksaan serta persidangan di pengadilan Serui.

Frits melanjutkan, pihaknya bersama gereja GKI di tanah Papua, Pemda dan masyarakat serta Polri di tahun 2014 telah melakukan seruan. Disebutkan jika seruan itu bahwa Yapen merupakan daerah zona damai di wilayah teluk Cenderawasih yang harus di patuhi dan dijaga oleh semua pihak.

Baca Juga: ML, Epep dan PES 2021 Masuk Esports di PON XX Papua

"Dan jangan ada lagi kekerasan -kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau sipil bersenjata, dan polisi dalam melakukan tindakan kepolisian diharapkan mengedepankan prosesdur persuasif serta dialogis," jelas Frits.

Alhasil, kesepakatan tersebut telah memberikan dampak baik selama enam tahun. Frits menyatakan, dalam rentan waktu itu tidak terjadi gejolak kekerasan. 

"Walau sebelumnya ada insiden kekerasan di wilayah Wanampompi Yapen Timur yang mengakibatkan dua warga sipil meningan dunia dan sejumlah warga sipil lainnya mengalami penyiksaan hebat oleh aparat kepolisian dan TNI," ujar dia.

Keterangan Saksi 

Kembali ke peristiwa penyisiran pada 5 Agustus 2021 lalu, Paulus Mambrasar selaku Ketua Jemaat GKI Ora Etlabora Sasawa, menyebut jika anak-anak sekolah berlarian sambil berteriak minta tolong sekitar pukul 10.00 WIT. Dalam kesaksiannya, disebutkan jika polisi masuk kampung dengan mengunakan tiga unit mobil. 

Mendengar laporan tersebut, Paulus keluar untuk melihat kondisi. Namun, pada saat keluar, polisi bersenjata mendekat dan bertanya pada Paulus.

"Mana Aris Rematobi?" 

Belum sempat menjawab, Paulus kembali ditanya soal jalan menuju Kampung Papuma Jauka. Oleh polisi, Paulus diminta untuk masuk ke dalam mobil serta diminta untuk menandatangani sebuah surat. 

"Namun yang bersangkutan bertanya ini surat soal apa saya takut kalau nanti berhubungan dengan pihak lain saya yang diancam, namun karana di paksa terus sehingga ditanda tangani," ujar Frits.

Disebutkan Frits, Paulus juga ditanya soal bunyi tiang listrik sebagai tanda apa. Paulus pun menjawab, bunyi itu sebagai tanda bahwa ada polisi masuk kampung untuk melakukan operasi.

Bunyi itu juga sebagai penanda kalau Ferinando Worabai akan siaga untuk menyelematkan diri. Paulus pun menyarankan polisi untuk sebaiknya meningalkan kampung sasawa agar tidak ada korban jiwa.

Dalam kesaksiannya, disebutkan jika Paulus juga melihat seorang warga yang bernama Lukas Sembai memegang senjata angin. Dia juga melihat jika di atas gunung ada di terparkir mobil truk polisi -- yang tidak diketahuu berapa jumlahnya -- dan Brimob yang datang ke Kampung Sasawa. 

"Setelah polisi balik, dia melihat sejumlah masyarakat sudah melarikan diri masuk hutan akibat trauma," ungkap Frits.

Kondisi Kampung Sasawa 14 Agustus 2021

Frits melaporkan, kondisi Kampung Sasawa pada 14 Agustus 2021 terlihat sunyi. Hanya terlihat beberapa laki-laki yang datang ke kampung untuk melihat ternak dan rumah mereka.

Selain itu, disebutkan pula jika di lokasi tidak aktifitas belajar mengajar di sekolah dan pelayanan kesehatan. Selain itu, beberapa hewan peliharaan masyarakat telihat berkeliaran di kampung.

Kondisi lainnya adalah, beberapa perahu milik nelayan terlihat sedang ditarik ke atas pasir. Kemudian, tidak ada kendaraan seperti sepeda motor dan mobil yang terparkir di perkampungan.

"Juga tidak terlihat motor temple di sekitar pesisir pantai pemukiman perkampungan," beber Frits.

Selain itu, tim Komnas HAM juga tidak dapat memastikan tiang listrik mana yang di bunyikan oleh masyarakat sebagai tanda perigatan saat tanggal 5 agustus 2021 lalu. Sebab, tidak ditemukan Guru, mantri atau kepala Kampung yang beraktifitas.

Selain itu, Komnas HAM juga mendapati ada 11 camp pengungsian dengan total 215 pengungsi. Rinciannya, ada sebanyak 98 anak-anak, 66 orang perempuan, dan 51 orang laki-laki.

Merujuk pada data yang dihimpun Komnas HAM, di Kampung Sasawa terdapat 267 Kepala Keluarga (KK) dengan total 559 jiwa. Disebutkan pula, sebanyak 334 sisanya yang tidak berada di lokasi, mereka mengungsi ke Kampung-kampung terdekat dari Kampung sasawa.

Kondisi Pengungsi

Frits menyatakan, kondisi pengungsi saat pihaknya melakukan kunjungan cukup memprihatinkan. Pasalnya, di lokasi juga terjadi hujan yang berujung banjir.

"Beberapa camp pengungsian basah saat hujan turun, untuk mencari makan mereka masih mengandalkan hasil kebun," ujar dia.

Frits juga menyatakan bahwa selama 9 hari dalam pengungsian, masyrakat tidak mendapat bantuan dan perhatian dari pemerintah maupun lembaga lainnya. Pada saat tim Komnas HAM mengunjungi para pengungsi, barulah pelaksana kepala Kampung mengantar puluhan karung beras berukuran 10 kilogram.

"Sebelumnya dua anggota DPRD Kabupaten Yapen sempat mengunjungi para pengungsi," ujar Frits.

Tak hanya itu, masyarakat masih bergantung pada air sungai untuk kebutuhan minum. Mereka juga memanfaatkan sungai untuk keperluan mandi dan mencuci.

"Beberapa pengungsi keberadatan dalam keadaan kurang sehat, sejumlah lansia hanya bisa berharap bantuan para pengungsi lainnya untuk hal makan," imbuh Frits.

Sebelumnya, mengutip Kabarpapua.co--jaringan Suara.com, kondisi masyarakat yang mengungsi terungkap dalam rapat tertutup antara Pemerintah Daerah Kepulauan Yapen dan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepulauan Yapen, Selasa 10 Agustus 2021.

Bupati Kepulauan Yapen, Tonny Tesar kepada wartawan menyayangkan kejadian tersebut, karena tidak adanya koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah setempat.

“Dari keterangan pihak kepolisian bahwa pentolan kelompok ini melakukan pelanggaran hukum dan hendak dijemput, namun malah berbuntut pada banyaknya warga yang ketakutan dan mengungsi,“ ungkap Tonny Tesar.

Tonny juga mempersilakan aparat memproses jika ada pelanggaran hukum yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut. Namun, sambungnya, tindakan tegas memperhatikan kondisi anak-anak maupun para orang tua di lingkungan tersebut.

“Silakan diproses dengan baik, tapi kita melihat ada anak-anak, orang tua di sana yang kemudian trauma kembali. Mereka ketakutan untuk kembali ke rumah, ini yang kita tidak tahu sama sekali, jika ada tindakan oleh pihak brimob,” kata Tonny.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI