Suara.com - Tiga hari jelang tanggal 17 Agustus 2021, sebagian besar warga Indonesia tengah bersiap menyambut hari kemerdekaan. Aman di bilang, warga Indonesia tengah bersiap menyambut hajatan tahunan, menanti momen detik-detik Proklamasi oleh Bung Karno 76 tahun silam.
Di hari yang sama, 14 Agustus 2021, melintas jauh di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, muka-muka ciut tampak terpancar dari segelintir warga di sana. Tiga hari jelang hari Kemerdekaan RI, "kemerdekaan" mereka justru direnggut setelah masjid tempat mereka biasa beribadah disegel.
Ya, mereka adalah komunitas penganut Ahmadiyah. Di Indonesia mereka biasa disebut sebagai jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
***
Baca Juga: Hentikan Pembangunan Masjid Ahmadiyah, Bupati Garut Dikecam
Dari sejumlah catatan, diskriminasi yang dialami jemaah Ahmadiyah di Indonesia memang menjadi isu yang tak berujung. Sejumlah aksi persekusi, tekanan kerap dirasakan oleh para jemaah Ahmadiyah di beberapa daerah.
Salah satunya baru saja dialami para JAI di Dusun Harapan Jaya, Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Kemerdekaan mereka untuk beribadah pupus sudah, setelah ada upaya penyegelan paksa terhadap Masjid Miftahul Huda, tempat ibadah yang sudah mereka bangun sejak 2005 silam.
Usaha untuk mengekang kebebasan mereka beribadah diduga dilakukan kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam. Mereka diduga yang tidak senang dengan keberadaan komunitas penganut Ahmadiyah di Sintang.
Bahkan, upaya persekusi itu diduga mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat, setelah mendapatkan tekanan dari kelompok tersebut.
Baca Juga: Dideportasi ke Pakistan, Rasa Takut Membayangi Keluarga Jemaah Ahmadiyah
Pemerintah daerah sebagai bagian dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan kebebasan bagi masyarakatnya untuk beribadah, malah diduga menjadi bagian kelompok yang merampas hak kemerdekaan beribadah itu.
Padahal, jika merujuk pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945, tepatnya pada pasal 28 E ayat 1 dengan jelas disebutkan, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,".
Kemudian pada pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Serta diperkuat dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui, bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Kemudian pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 diperkuat lagi, bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Kabar Persekusi
Kabar persekusi itu Suara.com dapatkan dari Yendra Budiana, penganut aliran Ahmadiyah di Jakarta, sekaligus Juru Bicara dan Sekretaris Pers Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Kami menemuinya di kantornya, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pelayaran, di bilangan Kuningan Jakarta Selatan pada Rabu (18/8/2021) kemarin.
Informasi itu pun menjadi kabar yang pertama kali Yendra sampaikan. Kepada kami, dia juga menunjukkan sebuah video yang berisi harapan komunitas penganut Ahmadiyah di Sintang bertepatan jelang Hari Kemerdekaan Indonesia.
“Kepada yang terhormat Presiden Joko Widodo, kami warga negara Indonesia yang tinggal di Desa Balai Harapan, kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, belum bisa menikmati kemerdekaan di negeri yang sudah merdeka ini, karena masjid yang kami bangun dengan sulit dari menyisihkan penghasilan kami yang kami pas-pasan ini ditutup paksa oleh Bupati Sintang, karena tekanan kelompok intoleran. Kami tidak meminta dana sosial, hanya sangat berharap kepada Bapak Presiden, sebagai orang tua kami dapat memastikan masjid kami bisa dipakai lagi beribadah dengan tenang. Itu cukup bagi kami. Kami optimis Bapak Presiden Jokowi tangguh untuk Indonesia tumbuh, melawan kelompok Intoleran seluruh Indonesia, termasuk di Sintang, Kalimantan Barat,” kata seorang pria dengan lantang dalam video tersebut.
Bukan Kasus Pertama Kali
Yendra mengatakan, kasus di atas adalah salah satu contoh dari banyak tekanan yang dialami komunitas penganut Ahmadiyah. Kasus yang sama juga terjadi di daerah Depok dan Ciamis, Jawa Barat, masjid yang sama-sama dibangun sejak 2011. Sampai saat ini belum dapat digunakan untuk beribadah dengan leluasa.
Di samping itu ada pula kasus pengusiran. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat masyarakat penganut Ahmadiyah terusir dari kampung halamannya sendiri sejak 2006 lalu. Hingga saat ini titik terang nasib mereka tidak menemukan solusi sama sekali dari pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat.
Padahal sejumlah upaya telah mereka lalukan, termasuk melakukan advokasi dengan pemerintah setempat dan pusat.
“Kita sudah membantu, menawarkan bantuan untuk penyelesaian termasuk pada saat itu pemerintah bermasalah dengan penyediaan lahannya, misalnya, sulit untuk lahannya. Kami sudah siap, kami suda bantu pengadaan lahannya,” ujar Yendra.
“Jadi kalau berbicara tentang bagaimana 76 tahun kemerdekaan, ya bagaimana beribadah di negeri yang sudah merdeka itu ternyata tidak bisa,” sambungnya.
Dari serangkaikan peristiwa itu, Yendra menyimpulkan tidak ada penanganan yang signifikan dari pemerintah.
“Kalau kita melihat pada usia 76 tahun kemerdekaan itu, kalau melihat trennya itu tidak ada signifikansi. Hal yang signifikan dari perbaikan atas permasalahan-permasalahan dalam kemerdekaan beragama, dalam konteks Ahmadiyah semua permasalahan, yang sudah ada sebelumnya belum selesai,” ujarnya.
Diskriminasi Mengakses Pencatatan Kependudukan
Permasalahan yang dialami para penganut Ahmadiyah, tidak berhenti pada persekusi beribadah, diskriminasi untuk mendapatkan pencatan administrasi kependudukan juga mereka alami. Seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pencatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan mengakses pendidikan di sekolah negeri.
Kata Yendra, tak sedikit penganut Ahmadiyah yang kesulitan untuk mendapatkan KTP hanya karena latar belakang aliran yang mereka yakini.
Pada kebanyakan kasus biasanya terjadi terhadap para penganut Ahmadiyah yang bermukim di suatu komunitas besar di sebuah wilayah.
Jelasnya mereka akan lebih mudah untuk diidentifikasi oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) setempat sebagai penganut Ahmadiyah.
“Nah ini si A misalnya, pengikut Ahmadiyah, dia mau nulis KTP-nya apa? Kan begitu permasalahannya. Orang Ahmdiyah tidak mau ditulis tanda strip (dikosongkan) misalnya. Karena dia merasa Islam dia mau ditulis Islam (di kolom agama). Tapi orang yang menulisnya (Dukcapil) bilang, tidak mau menuliskan Islam, sehingga KTP-nya tidak bisa keluar,” papar Yendra.
Kata dia, rujukan Dukcapil enggan menuliskan penganut Ahmadiyah sebagai Islam dalam kolom KTP berdasar dari fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam keputusan Fatwa MUI diketahui aliran Ahmadiyah dikategorikan bukan bagian dari Islam. (Keputusan MUI, dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005).
“Dasarnya Fatwa MUI. Karena seseorang dikatakan Islam mereka (Dukcapil) merujuk ke Fatwa MUI,” kata Yendra.
Karenanya, pada rentang waktu 2012-2016, Jemaat Ahmadiyah Indonesia melakukan advokasi, hasilnya sebanyak 5.000 orang penganut Ahmadiyah akhirnya bisa mendapatkan KTP.
Kemudian untuk mendapatkan pencatan pernikahan di KUA, mereka juga mendapatkan diskriminasi dengan pola yang sama. Keimanan mereka jadi dasar KUA untuk tidak mengakui pernikahan para pasangan penganut Ahmadiyah secara negara.
Sementara di bidang pendidikan, para anak-anak yang terlahir dari keluarga Ahmadiyah juga mengalami diskriminasi di sekolah negeri, khususnya saat pelajaran agama. Tak jarang, banyak anak yang tidak tahan, akhirnya memilih untuk pindah sekolah.
Yendra mengungkapkan secara mental atau psikologi, kebanyakan yang menjadi korban adalah anak dan perempuan.
“Dalam kasus persekusi atau diskriminasi, sebetulnya yang paling banyak terdampak itu perempuan dan anak, kenapa? Karena dengan persekusi terhadap ayah atau suaminya, maka mereka kehilangan tempat tinggal, keamanan, masa depan, pendidikan, ketakutan itu lebih banyak berdampak pada anak dan perempuan. Kalau laki-laki mungkin lebih siap secara fisik dan mental,” ujarnya lagi.
Karena sejumlah kasus diskriminasi di atas, tak jarang para penganut Ahmadiyah memilih untuk menyembunyikan identitas keyakinannya. Tak jarang pula untuk mendapatkan pencatatan administrasi secara negara mereka dipaksa untuk melepas keyakinannya.
Kata Yendra, sering terjadi mereka diminta untuk mengucap Dua Kalimat Syahadat kembali, sebagai bukti mereka telah meninggalkan keyakinan yang sebelumnya dianut.
“Sebenarnya itu lucu. Lucunya apa? Maksudnya seperti pemerintah itu mengajarkan kemunafikan, kalau kebetulan Ahmadiyah, syahadatnya sama. Enggak masalah. Pada kasus-kasus lain, kalau misalnya kita melihat dulu, waktu di jaman orde baru banyak orang menjadi muslim, padahal (menganut suatu) kepercayaan (lain). Tapi kalau dia tetap pada keyakinannya akan menimbulkan masalah administrasi, ya sudah dia mengaku muslim. Syahadat ya syahadat saja,”
“Walaupun realitanya berbeda. Pertanyaannya untuk apa? Jadi agama kemudian menjadi kepura-puraan, hanya sekedar identitas di KTP, sama jadi seperti main-main malah. Mengucap dua kalimat syahadat itu mudah, apa susahnya, yang susah itu melaksanakan. Apa itu tujuannya (hanya untuk sebuah identitas di KTP),” sambungnya.
Yendra pun menegaskan, sudah saatnya negara kembali kepada konstitusi. Negara hadir memberikan perlindungan dan pelayanan.
“Memberikan layanan publik bagi seluruh warganya, selesai sudah, mau orang punya KTP, haknya dikeluarkan. Hak buku nikah dikeluarkan, kan seperti itu. Tidak ada urusan dengan keyakinan, karena keyakinan kan dalam hati, antar dirinya dengan tuhan,” tegasnya.
Diskriminasi Menjadi PNS, TNI dan Polri
Bermimpi menjadi pegawai negeri sipil (PNS), Polisi, atau TNI masih sangat sulit untuk diraih para penganut Ahmadiyah. Latar belakang identitas keyakinan mereka menjadi penghalang.
“Kalau misalnya ketahuan Ahmadiyah itu sangat sulit kariernya. Baik itu di ASN/PNS, baik itu ketentaraan, atau pun di kepolisian,” ungkap Yendra.
Padahal menurutnya, dalam seleksi menjadi PNS, Tentara dan Polri, tidak ada aturan tertulis yang menegaskan penganut Ahmadiyah tidak dilarang untuk mendaftar.
“Tetapi faktanya di lapangan, pasti dianggap mengikuti suatu organisasi, ada suatu screening-kan, mengikuti organisasi apa. Pada saat ketahuan, biasanya menjadi bahan permasalahan, apalagi menjadi tokoh politik pasti bermasalah lagi kan,” ujarnya.
Masalah Tak Berkesudahan
Pada 21 Mei 2021 lalu, Setara Institute, lembaga yang bergerak dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merilis laporan pelanggaran KBB sepanjang tahun 2020 lalu. Dari data yang dihimpunnya, meski hampir sepanjang 2020 Indonesia dilanda wabah Covid-19, nyatanya masih menyuburkan sikap Intoleransi.
“Watak intoleransi yang melekat pada sebagian kelompok intoleran ternyata tidak pupus oleh Covid-19. Jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran yang konstan pada tahun 2020 ternyata tidak dipicu sepenuhnya oleh pandemi Covid-19 tetapi justru terjadi sebagai artikulasi dan ekspresi intoleransi kelompok-kelompok tertentu di tengah masyarakat dan juga utamanya oleh pemerintah yang masih terjangkiti virus intoleransi. Karena Covid-19 bukanlah variabel pemicu, maka SETARA Institute tetap menemukenali persoalan intoleransi, diskriminasi dan kekerasan atas nama agama sebagai akibat dari variabel statis, yakni produk hukum diskriminatif yang masih existing dan variabel dinamis artikulasi kelompok intoleran,” tulis Setara Institute dalam pembukaan laporannya yang dikutip Suara.com dari lamannya resminya pada Rabu (18/8/2021).
Tercatat sepanjang 2020 sebanyak 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 424 bentuk tindakan.
Walaupun dibanding tahun 2019 mengalami penurunan jumlah peristiwa dari 200, namun mengalami lonjakan dari 327 tindakan. Dari ratusan kasus itu tersebar di 29 provinsi di Indonesia.
Merujuk pada angka 10 besar peristiwa pelanggaran KBB, provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama dengan jumlah 39 kasus, kedua Jawa Timur 23 kasus, dan ketiga Aceh 18 kasus. Sementara DKI Jakarta berada di posisi keempat sebanyak 13 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Sumatera Utara 9 kasus, Sulawesi Selatan 8 kasus. Kemudian posisi ketujuh Daerah Istimewa Yogyakarta 7 kasus, Banten 6 kasus, dan kesepuluh Sumatera Barat 5 kasus.
Dari 424 tindakan yang terdokumentasi aktornya utama didominasi penyelenggara negara, sementara 185 oleh aktor non negara.
Sebanyak 11 jenis tindakan tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara yang terdiri atas diskriminasi 71, penangkapan 21, dan pentersangkaan penodaan agama 20, pelarangan kegiatan 16, penyidikan atas tuduhan penodaan agama 13, tuntutan hukum atas penodaan agama 12, penahanan atas tuduhan penodaan agama 12, pelarangan usaha 10, condoning 9, vonis dakwaan penodaan agama 9, dan dakwaan penodaan agama 9.
Dari aparat negara pelanggaran KBB tertinggi dilakukan pemerintah daerah 42 kasus dan juga Kepolisian 42 kasus. Kemudian Kejaksaan 14 kasus, Satpol PP 13 kasus, Pengadilan Negeri 9 kasus, TNI 9 kasus, dan Pemerintah Desa 9 kasus.
Dari aktor non negara terdapat 4 kasus tindakan pelanggaran utama, pertama intoleransi 62 kasus, pelaporan penodaan agama 32 kasus, dan penolakan mendirikan tempat ibadah 17 kasus, dan pelarangan aktivitas ibadah 8 kasus.
Adapun masyarakat yang menjadi korban berasal dari berbagai latar belakang golongan, kelompok Warga (55), Individu (44), Umat Kristen/Kristiani (22), Pelajar (15), Ahmadiyah ( 8 ) , Syiah (7), Penghayat Kepercayaan (7), Umat Konghucu (3), Umat Katolik (3), Umat Islam (3), Umat Hindu (3), Mahasiswi (3).
Makna Kemerdekaan Indonesia bagi Ahmadiyah
Genap berusia 76 tahun Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu, nyatanya makna murni dari ‘kemerdekaan’ dalam beragama dan berkeyakinan tidak serta merta membebaskan kelompok minoritas dari belenggu diskriminasi, intimidasi dan persekusi.
Untuk Ahmadiyah sendiri, berdasarkan catatan sejarah, telah ada sejak 1925 di Tanah Air. Dua puluh tahun sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Karenanya Yendra menegaskan, dia bersama penganut Ahmadiyah di seluruh Indonesia tidak akan sekalipun meninggalkan Ibu Pertiwi.
“Kami bukan harus diterima karena sewajarnya kami diterima, karena kami adalah bagian dari bangsa ini dan kami tidak akan punya niat untuk pergi apapun yang terjadi, karena kami orang Indonesia, kami cinta Indonesia, kami tinggal di sini,” tegasnya.
Pada usia Indonesia yang ke-76 tahun, Yendra berharap mereka segera bisa mengecap manisnya makna kemerdekaan sebenarnya.
“Merdeka itu kita memilih, kita belum merdeka jika belum bisa memilih keyakinan. Bagaimana kita bisa disebut merdeka. Kemudian yang kedua kita merdeka untuk mengimplementasikan kemerdekaan itu, berarti beribadah dan ketiga juga kita ingin merdeka dapat memberikan manfaat, karena saat ini kita menyandang status Ahmadiyah misalnya, karena kami memberikan bantuan itu suli. Karena mendapat stigma Ahmadiyah-sasi, seakan-akan melakukan penyebaran,” tandasnya.