Suara.com - Umurnya belum 30 tahun, tapi pengalaman hidupnya sangat menggetarkan hati. Dilahirkan sebagai wanita hebat di wilayah konflik membuat Zarifa Ghafari tumbuh jadi sosok yang tangguh.
The Sydney Morning Herald melaporkan, wanita 29 tahun ini adalah salah satu wali kota perempuan pertama di Afghanistan, ia memimpin di kota konservatif Maidan Shar.
Ayahnya, Jenderal Abdul Wasi Ghafari ditembak mati di depan rumahnya beberapa hari setelah Taliban gagal mengeksekusi dirinya pada bulan November.
Menurut Ghafari, Taliban membunuh ayahnya karena bekerja untuk pemerintah Afghanistan. Statusnya sebagai ayah seorang wali kota wanita membuat hidup pria ini semakin pendek.
Baca Juga: Seperti Apa Afganistan Setelah Dikuasai Taliban? Kembali ke Masa Lalu
"Mereka membunuhnya hanya karena dia adalah ayahku – ayah dari seorang gadis yang berjuang untuk bangsanya, untuk negara ini,” ujarnya.
Sebelum Taliban membabi buta, Zarifa Ghafari adalah seorang wanita biasa yang sedang menyiapkan pernikahannya. Adik perempuannya baru wisuda dan semuanya berjalan normal hingga tiba-tiba Taliban menghancurkan segalanya.
Pada hari Minggu, ketika pasukan Taliban tiba di gerbang kota, dia mengatakan kepada jurnalis Sunday Independent.
“Saya duduk di sini menunggu mereka datang. Tidak ada yang membantu saya atau keluarga saya. Mereka akan datang untuk orang-orang seperti saya dan membunuh saya.”
Ghafari sangat menyayangkan 20 tahun perjuangan rakyat Afghanistan hancur dalam sekejap.
Baca Juga: Mengungsi karena Taliban: Kami Dikhianati Militer Afganistan dan NATO
"Itu datang dengan pengorbanan yang besar, besar, besar. Kami membayar harga dengan kerja keras, kami mendapatkannya dengan darah kami."
Ia menyebut ini bukan tentang hak perempuan, bukan hanya hak asasi manusia, bukan hanya pendidikan dan kemajuan, tapi tentang kehidupan yang telah dikorbankan untuk kemajuan yang dibuat dalam 20 tahun.
Ghafari juga mengatakan semua orang tak siap dengan jatuhnya Kabul secara tiba-tiba. "Kami tidak pernah mengharapkan komunitas internasional melakukan ini pada kami".
“Taliban ada di sekitar kota. Mereka membunuh orang, mereka menghancurkan tempat. Kami semua takut. Ibuku takut. Jika aku mati, apa yang akan terjadi pada keluargaku, tunanganku? Adikku, dia hanya menangis dan memintaku, 'tolong kakak, pergi jika kamu bisa'.”
“Oke, mereka bisa menyelamatkan satu Zarifa, tapi apa yang akan terjadi pada jutaan dan jutaan Zarifa di seluruh negeri? Apa jadinya mimpi mereka, apa jadinya kalau mereka tidak bisa lagi sekolah, ke universitas.”
"Bagaimana jika mereka tidak bisa hidup bebas sebagai manusia? hatiku sangat sakit," ujar wanita yang tak percaya dengan semua janji manis Taliban tentang hak-hak perempuan dan amnesti.
"Mereka bahkan tak tahu apa-apa tentang hak, hak asasi manusia, hak perempuan, hak internasional, hukum, aturan, kebijakan."
Penerima penghargaan International Woman of Courage dari Departemen Luar Negeri AS ini sempat menyebut keinginannya untuk kembali ke rumah yang dulu bisa memberinya sedikit rasa nyaman dan aman.
“Itu adalah rumah sewa, tapi itu masih rumah saya, saya bekerja untuk itu."
"Saya memiliki kamar tidur saya, barang-barang saya di sana, boneka beruang saya. Saya memiliki segalanya di sana. Saya tidak yakin apakah saya bisa kembali bahkan sekali”.