Suara.com - Perempuan asal Indonesia di Australia yang menjadi saintis, mampu menunjukkan kemampuan mereka pada sejumlah lembaga ternama.
Sumbangsih mereka di luar negeri, membuktikan nasionalisme tidak lagi diartikan secara sempit.
Seperti yang diceritakan Dina Yulia PhD, doktor lulusan School of Botany di University of Melbourne.
Dina yang sudah tertarik dengan pohon dan tanaman sejak kecil kini bekerja sebagai peneliti bioteknologi tanaman di lembaga CSIRO sejak tahun 2011.
Baca Juga: Sepasang Kekasih Terpergok Berhubungan Seks di Tebing Curam, Warganet Geli
CSIRO atau Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation merupakan lembaga riset sains nasional paling bergengsi di Australia.
Sebagai pakar dinding sel tanaman, Dina tergabung dalam tim riset yang berupaya menghasilkan kualitas kapas yang lebih baik.
"Kami sedang berusaha menghasilkan kualitas kapas yang lebih baik, misalnya yang lembut seperti sutra, atau yang bisa lentur seperti polyester," ujarnya kepada Farid M. Ibrahim dari ABC Indonesia di Melbourne.
"Dengan begini ke depannya kita mengurangi penggunaan fiber sintetik yang membahayakan lingkungan itu," paparnya.
Saat ditanya mengapa memilih berkiprah di Australia, Dina mengaku kesempatan yang dia dapatkan justru dari Australia.
Baca Juga: Varian Delta Jadi Biang Kerok Meningkatnya Kasus COVID-19 di Sydney
"Kesempatan yang sesuai dengan skill set yang saya punya dan bekerja pada institusi yang menjadi idola banyak lulusan bidang sains," kata Dina yang juga lulusan Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Bandung.
"Pada institusi ini kita bisa bekerja bersama world class scientists, mendapat gemblengan dan bimbingan dari mereka, baik dari sisi sains maupun etika kerja secara umum," tambah Dr Dina.
Ditanya soal nasionalismenya sebagai orang Indonesia, Dina mengatakan ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk.
"Bagi saya, tidak perlu dalam bentuk yang mewah. Memakai baju batik ke kantor saja sudah bisa dilihat sebagai bentuk nasionalisme sejati," kata Dr Dina.
Dina tertarik dengan tanaman karena ia mengatakan tanaman dan pepohonan adalah satu-satunya organisme besar di dunia yang memiliki klorofil.
"Mereka bisa "memasak" makanannya sendiri dari bahan-bahan mentah (mineral) yang ada di tanah dan udara," jelasnya.
"Bukan hanya itu, pohon dan tanaman juga satu-satunya organisme besar yang bisa menghasilkan oksigen yang kita semua butuhkan," kata Dr Dina.
Menghubungkan temuan sains kedua negara
Di tengah pandemi COVID-19, Ines Irene Caterina Atmosukarto atau yang lebih dikenal dengan Dr Ines Atmosukarto, banyak dimintai pendapatnya oleh media nasional dan internasional.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Ines bermukim di Australia, mendapat tantangan untuk mengelola dan membangun sebuah perusahaan start-up bernama Lipotek, yang mengembangkan teknologi platform untuk vaksin baru.
Jabatan Ines adalah Chief Scientific Officer sekaligus Managing Director untuk perusahaan tersebut.
Fokus Ines dari selama sepuluh tahun terakhir ini adalah membangun jembatan antara karya yang dibuatnya dengan Indonesia.
"Walaupun saya ada di luar Indonesia, pekerjaan saya banyak sekali ada kerja samanya dengan Indonesia, misalnya dengan PT Bio Farma, kami mengembangkan vaksin baru untuk Tuberculosis," ucap Ines.
Ines pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada tahun 1991 sebagai penerima beasiswa yang digagas oleh BJ Habibie.
Ia termasuk kurang dari 20 perempuan dari seribu penerima beasiswa saat itu.
"Saya memilih Biokimia, Biologi Molekuler, dan Genetika karena spesialisasi itu masih belum umum di Indonesia," ujar Ines, yang juga pernah bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepulangnya studi di tahun 2001.
Saat usianya menginjak 37 tahun, Ines sudah mendapat pengakuan internasional sebagai ilmuwan riset, termasuk mendapat Penghargaan Alumni Australia di tahun 2009 untuk upayanya menemukan pengobatan baru bagi kanker dan penyakit menular.
Pada tahun 2004 ia menjadi perempuan Indonesia pertama yang memenangkan Beasiswa L'Oreal UNESCO untuk Wanita Muda dalam Sains.
"Dan itu adalah masa-masa yang menyenangkan, karena setelah saya mendapat beasiswa Women in Science itu di Indonesia kami membuat juga program yang sama di level nasional yang sampai sekarang masih berlangsung," kata Ines, yang juga pernah mendapat penghargaan Femina di tahun 2007.
Ines lahir di Romania tahun 1972 dari ayah yang orang Indonesia dan ibu yang asli Romania.
Ia selalu merasa sebagai orang Indonesia, meski pernah tinggal di beberapa negara, seperti Australia dan Aljazair.
"Kalau ada orang nanya saya orang apa, pasti [jawabannya] Indonesia nomor satu, karena saya pikir itulah saya, dan ini lucu juga mengingat sampai umur 15 tahun saya enggak bisa berbahasa Indonesia," kata Ines.
Justru saat berada di luar Indonesia, Ines malah mengaku lebih tertarik dan memahami Indonesia.
"Mungkin karena saya datang tanpa mengetahui apa pun tentang Indonesia, sehingga saya harus mempelajari dan mengenalnya dari nol saat beranjak remaja, ada ketertarikan tersendiri pada aspek-apek tertentu tentang Indonesia."
Baginya, nasionalisme adalah soal sentimen kebanggaan terhadap asal-usul dirinya.
"Saya bangga dengan that part of me, 50 persen genetika-ku, sejarah Indonesia, kekayaan budayanya, keindahan alamnya, banyak hal lainnya."
Menyuarakan pemikirannya soal Indonesia adalah bentuk kontribusi Ines sekaligus dukungannya terhadap ilmuwan di Indonesia yang sering berhadapan dengan risiko.
Di awal pandemi, sejumlah ilmuwan merasa jika pendapat ilmiah mereka tidak didengar atau bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia.
"Kita harus mampu mengkritik diri kita sendiri. Kalau nasionalisme itu berarti kita tidak bisa mengkritik diri kita sendiri, menurut saya itu berbahaya."
Turut serta memajukan dosen dan peneliti di Indonesia
Sudah sejak tahun 2018, Profesor Rini Akmeliawati mengajar di University of Adelaide sebagai dosen di jurusan Teknik Mesin dan kepala program Mekatronika dan Robotik.
Namun hubungannya dengan Australia sudah dimulai sejak than 1990 saat ia mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar tingkat SMA di Maffra, sebuah kota kecil berjarak lebih dari 200 kilometer dari Melbourne
Rini pernah setahun kuliah di Teknik Elektro ITB dan mendapat beasiswa dari RMIT Melbourne jurusan Teknik Elektro.
Lulus sebagai mahasiswa terbaik, ia kemudian mendapat beasiswa S3 di University of Melbourne di bidang control system engineering (teknik sistem kendali) tanpa melalui jenjang S2.
"Riset saya berhubungan dengan desain sistem kendali otomatis untuk pesawat terbang," katanya.
Rini juga pernah mengajar di Monash University di Malaysia dan International Islamic University Malaysia.
"Saya mengajar di IIUM selama 10 tahun dan pada tahun 2012, saya dianugrahi titel Professor penuh di bidang Mekatronika dan Teknik Sistem Kendali ," kata Rini.
Hingga akhirnya ia kembali ke Australia.
"Alasan saya kembali ke Australia adalah karena anak saya sedang kuliah di Australia, jadi sekalian menemani dan juga alasan professional karena saya merasa lebih banyak kesempatan untuk riset di sini.
Meski sudah menghabiskan sebagaian besar kehidupan profesionalnya di luar Indonesia, Rini mengatakan ia tidak pernah mendapat pertanyaan soal nasionalisme.
"Mungkin ini pertama kali saya ditanya," katanya sambil tertawa.
"Walaupun saya tidak tinggal di Indonesia, bukan berarti saya putus hubungan dengan Indonesia."
"Saya masih bekerja sama dengan industri-industri dan peneliti-peneliti dari Indonesia juga memberikan pelatihan pada para dosen di salah satu universitas di Bandung, Padang dan Medan," kata Rini.
Meski ia mengatakan tidak tahu secara detil tentang seberapa jauh keterlibatan perempuan Indonesia di bidang sains, Rini mengatakan melihat adanya peningkatan.
"Sekarang lebih sering kita dengar bahwa para ahli di bidang STEM adalah perempuan, seperti teman-teman saya Dr. Sri Safitri dari Telkom Indonesia dan Profesor Eniya Dewi dari BPPT.
STEM adalah singkatan dari science, technology, engineering, and mathematics, atau bidang studi sains.
"Mereka sangat aktif dalam bidang-bidang yang mereka tekuni, yaitu keamanan siber dan teknik dan juga menjadi inspirasi bagi yang lain di Indonesia, terutama bagi siswa perempuan," kata Rini.
Rini belum pernah mengajar di universitas di Indonesia, tapi dari pengalamannya ia melihat persamaan dari dunia pendidikan di Malaysia dan Australia.
"Yang saya lebih suka di Australia [adalah] mahasiswa benar-benar diberikan support dalam menuntut ilmu."
"Kalau mereka menemui masalah, universitas-universitasnya siap dengan segala macam bantuan, termasuk bantuan finansial dan support dalam kesehatan mental.
"Kesehatan mental para sivitas akademia, seperti dosen-dosen, juga sangat diperhatikan, terutama dalam kondisi pandemi saat ini," katanya.