Kaligrafi Arab dalam Batik di Kota Tiongkok Kecil Lasem, Melawan Kepunahan

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Rabu, 18 Agustus 2021 | 14:30 WIB
Kaligrafi Arab dalam Batik di Kota Tiongkok Kecil Lasem, Melawan Kepunahan
Dalam selembar kain batik tulis peranakan itu tercermin simbol keberagaman Tionghoa, Arab, Jawa, hingga sekelumit doa bagi para pemakainya. [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anak muda di Lasem, Jawa Timur, yang berjuluk kota 'Tiongkok Kecil' berinovasi melestarikan batik tulis peranakan keluarganya, di tengah membanjirnya batik cetak alias printing yang jauh lebih murah di pasar.

Javier Hartono, 24, guru bahasa Arab, kini memegang tongkat estafet batik batik buatan kakeknya, Sigit Witjaksono, salah seorang yang disebut legenda batik Lasem.

Sigit meninggal dunia Juni 2021 lalu.

Dalam selembar katin batik tulis peranakan itu, tercermin simbol keberagaman Tionghoa, Jawa, hingga sekelumit doa dan pesan bagi mereka yang memakainya.

Baca Juga: Semen Gresik dan Dinkop UKM Jateng Dorong Pengembangan Bisnis Batik Lasem

'Legenda' batik Lasem

Setelah tersasar hampir setengah jam, saya akhirnya sampai di rumah keluarga Javier, yang letaknya terletak di desa wisata batik Babagan, Lasem, Jawa Tengah.

Bangunan itu tersembunyi di balik pagar tinggi khas Pecinan kota itu.

Dengan batik warna merah dan sarung ungu, Javier Hartono, menyambut saya di teras rumah keluarganya, bangunan tua berusia lebih dari 100 tahun.

Sejenak rumah itu terasa familiar.

Dari Javier, saya kemudian tahu bahwa rumah itu memang pernah menjadi lokasi syuting film besutan Nia Dinata, Ca-Bau-Kan, hampir dua dekade silam.

Baca Juga: 5 Kuliner Khas Lasem yang Legendaris dan Rasanya Unik

Di rumah itulah, Tinung, yang diperankan Lola Amaria, belajar menari cokek.

Saya dapat melihat sisi dalam rumah itu melalui pintu yang terbuka.

Terlihat di sana meja abu atau altar untuk sembayang leluhur (tokwi) yang tetap berdiri, meski kini sang pemilik rumah beragama Muslim.

"Bangunan ini usianya sudah 140 tahun ketika dibeli keluarga kami," ujar Javier seraya menunjukkan bagian-bagian rumah itu.

Dia mengajak saya berkeliling, seraya menunjukkan sebuah lubang di satu sisi tembok yang disebutnya sebagai "tempat perempuan bersembunyi dari pasukan Jepang".

Di rumah tua itulah perjalanan batik buatan kakeknya, Sigit Witjaksono, dirintis.

Pecinta batik dan budayawan menyebut Sigit sebagai salah seorang "legenda" batik di Lasem, kota yang disebut Tiongkok kecil.

Ada doa dalam selembar kain

Sigit Witjaksono, 92, hanya bisa berbaring di tempat tidurnya saat saya melihatnya, beberapa bulan sebelum ia meninggal dunia Juni 2021 lalu.

Meski begitu, usahanya tak tidur bersamanya.

Sejumlah pembatik sibuk bekerja di rumah itu, dengan teliti dan hening menggambar titik, lengkung, dan garis di kain berwarna putih.

Di sisi belakang rumah, sejumlah laki-laki muda melorot (melepaskan lilin dari batik) batik.

Di samping mereka, batik-batik yang baru jadi digantung.

Salah satunya memuat pepatah China.

"Ini yang paling khas, di dalam kain batiknya ada peribahasa atau kata-kata bijak confusius," kata Javier.

"Ini artinya, bila dua hati sedang membara, maka cinta kasih akan kekal abadi.

"Ada juga yang isinya doa-doa, seperti 'usianya setinggi gunung Himalaya, rezekinya seluas Samudera Pasifik."

Koleksi batik lainnya memuat doa "semua keluarga selamat" dan pepatah "di empat penjuru, semua manusia bersahabat".

Menurut peneliti budaya Tionghoa, Agni Malagina, Sigit adalah pelopor batik dengan motif sinografi China.

"Beliau adalah salah satu pionir penggunaan aksara Han atau sinografi yang ada di batik Lasem.

"Sebenernya sebelum beliau, saya mensinyalir terdapat penggunaan sinografi juga di batik Lasem tapi tidak masif, tidak terkenal. Setelah dibuat Pak Sigit jadi booming," katanya.

Putri ketiga Sigit, Safitri Rini, 47, yang juga ibu dari Javier, mengatakan motif itu ditemukan Sigit ketika usianya sudah di atas 60.

"Saat itu, usianya sudah nggak produktif lagi, tapi semangatnya masih ada. Papa menemukan tulisan (sinografi) itu sudah di atas usia 60-an," ujarnya.

Karya Sigit memperkaya batik peranakan Lasem, yang populer karena perpaduan motif Tionghoa dan motif Jawa.

Batik peranakan Lasem sendiri telah berkembang selama ratusan tahun, seiring kedatangan orang Tionghoa ke Lasem.

Kota itu telah mencatat produksi batik sejak masa pemerintahan Bhre Lasem I, penguasa Lasem. Saat itu, batik digunakan hanya oleh kaum bangsawan.

Menurut penelitian yang dilakukan Nazala Noor Maulany dan Noor Naelil Masruroh dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, momentum perkembangan batik Lasem adalah sekitar abad XIV.

Saat itu, salah seorang anak buah armada laut Cheng Ho, bernama Bi Nang Un, memutuskan menetap di Lasem. Ia membawa istrinya Na Li Ni dan dua anak mereka.

Istri dan putri Bi Nang Un belajar membatik dari penduduk setempat. Tak hanya belajar, ada juga proses bertukar ilmu.

Salah seorang dari anak Bi Nang Un itu juga mengajari perempuan Jawa membatik dengan motif yang lebih beragam.

Interaksi itu yang kemudian menciptakan batik ala Lasem, yang ikonik dengan gambar-gambar seperti burung, kupu-kupu, hingga naga.

Usaha batik Lasem mencapai kejayaan di awal 1900-an, bahkan sampai diekspor ke Singapura, dan terus berkembang hingga tahun 1970-an, sebelum sempat mundur di tahun 1980 hingga 2000-an.

Beda agama, beda budaya

Di tahun 1967, Sigit memulai usaha batiknya, yang dinamainya Batik Kencana, meneruskan usaha ayahnya yang juga pengusaha batik, dengan merek berbeda.

Usaha itu dirintis Sigit dengan istrinya Marpat Rochani, seorang Muslim, keturunan darah biru dari Jawa.

Safitri Rini, bercerita dulu ayahnya adalah seorang guru. Sementara, Marpat adalah perawat rumah sakit swasta, yang pernah merawat Sigit.

Keduanya kemudian menjalin hubungan, yang awalnya ditolak keluarga Marpat.

"Istilahnya, mereka [keluarga Marpat] adalah salah satu keluarga terpandang, darah biru... ketika dapat orang Tionghoa dianggap nggak pantes," ujar Javier mengulangi sejarah keluarganya.

Meski demikian, keduanya menikah dan hubungan itu bertahan kokoh hingga Sigit meninggal dunia.

Anak-anak mereka dibesarkan secara Katolik, lalu dibiarkan memilih agama masing-masing ketika besar.

Latar belakang Sigit dan istrinya, Tionghoa dan Jawa tercermin dalam kain-kain yang dibuat Sigit, misalnya dalam kain tokwi atau meja altar yang dominan dengan warna merah.

"Kain itu diisi motif naga dan 'sekar jagad'," kata Javier.

Dalam bahasa Jawa, sekar jagad artinya kembang sedunia, yang bermakna sebuah perjalanan kehidupan.

Warna merah "darah ayam" dari Sigit hingga generasi di atasnya, masih dipertahankan hingga kini.

"Pakem yang kita tetap pertahankan dari generasi ke generasi itu pewarnaan, terutama warna merahnya, warna biru Indigo.

"Kita boleh berkreasi, tapi dengan pakem warna yang mungkin berperan menjaga kekhasan klasik itu tadi," kata Javier.

Kini, Marpat, yang menurut Javier memegang "kunci penting batik Sigit", memastikan warisan resep pewarnaan itu diteruskan cucunya.

"Dari 70 pembatik Lasem, hitungan jari yang bisa menyerupai ciri khas warna oma. Memang itu harus dijaga," ujarnya.

Motif Muslim

Tak hanya itu, perpaduan agama, baik dalam keluarganya dan di Lasem secara keseluruhan, menginspirasi Sigit untuk memasukkan motif kaligrafi dalam kain yang dibuatnya, bahkan saat ia masih menganut agama Kong Hu Cu.

"Sebelum memeluk agama Islam beberapa tahun belakangan ini, dia bersahabat dengan satu pemuka agama Islam. Dia ingin buatkan salah satu kaligrafi, tapi ada di batiknya.

"Ketika mencucinya pun kalau ada yang lafadz Allahu akbar, kalau kain lain biasa dengan kaki, itu dengan tangan. Nggak boleh sampai jatuh ke bawah.

"Engkong saking menghormati agama lain, sampai begitu," ujarnya.

Motif-motif binatang yang digambarnya pun tak pernah menyerupai bentuk asli untuk menghormati ajaran Islam.

Motif kaligrafi ini juga sering dibuat oleh Javier, alumni Pondok Modern Darussalam, Gontor, Jawa Timur, itu.

"Batik itu tentang keberagaman. Semua yang menggunakan batik itu pantas.

"Di setiap kain ada warna-warna, spirit-spirit (semangat) dari semua etnis," ujarnya.

'Anak sekarang tak mau membatik'

Meski awalnya hanya untuk "bantu-bantu oma", Javier jatuh cinta pada batik ketika mempelajarinya selesai SMA.

"Ternyata setelah saya belajar batik kok ternyata menarik? Banyak hal yang menantang.

"Kalau kita liat secara kasat mata, prosesnya hanya produksi, jual, selesai. Ternyata nggak, ada nilai seni di situ.

"Kain yang diperlakukan sama, hasilnya bisa berbeda. Saya tertarik dengan seninya," ujar Javier.

Meski semangat menjalankan bisnis itu, tak dipungkiri Javier menghadapi sejumlah tantangan.

Salah satunya, jumlah pembatik berkualitas yang semakin sedikit.

Suparmi, salah satu pembatik di tempat itu, mengiyakan soal langkanya penerus.

"Sulit anak-anak sekarang itu. Nggak banyak yang mau membatik karena mereka kuliah, bekerja.

"Nenek-nenek ini yang masih membatik. Anak saya menjadi guru dan perangkat desa," kata Suparmi seraya tertawa.

Menanggapi masalah itu, Javier berupaya untuk mengadakan sejumlah pelatihan untuk para pembatik muda.

Ia juga berupaya memberi insentif layak agar makin banyak anak muda yang mau membatik.

"Karena masalah langkanya pembatik disebabkan karena rendahnya penghasilan sebagai seorang pembatik," ujarnya.

Bagaimana bisa bersaing?

Tantangan lain yang dihadapinya adalah persaingan dengan batik cetak atau printing, yang biasanya dijual dengan sangat murah.

Batik Javier yang berukuran 240x115cm, misalnya, dihargai sekitar Rp3 juta.

Batik ukuran sama yang diproduksi dengan cetakan atau printing, harganya jauh lebih murah, yakni sekitar Rp 150.000.

Namun, Javier percaya diri mereka yang mengerti nilai batik tulis akan setia membeli batik itu.

"Ada perbedaan mendasar dari batik printing dan batik tulis, nilai artistik batik tulis sangat tinggi," katanya.

Selain itu, dia pun merangkul inovasi-inovasi yang ada demi membuat bisnisnya berkelanjutan.

Salah satunya terkait teknologi baru pengolahan kain.

Dengan teknologi tekstil baru, ujarnya, pengolahan kain bisa lebih efisien, sehingga "dapat menekan harga jual secara signfikan".

Dengan harga terjangkau itu, ia berharap banyak orang akan membeli batiknya, terutama anak-anak muda, pasar yang diincarnya melalui pemasaran di media sosial.

Tak hanya Javier, neneknya Marpat, juga menginspirasinya untuk tetap berinovasi dari sisi motif.

"Bahkan oma tetap berinovasi. Saya juga tetap berinovasi," ujarnya.

Ia misalnya, mengembangkan motif monokrom yang kini digemari anak muda.

Dengan melakukan itu, Javier mengatakan yakin batik tulis peranakan yang diwariskan leluhurnya tak akan punah.

"Kita sedang tidak hanya mencari pundi-pundi ekonomi. Yang kita lestarikan, yang kita usahakan itu, adalah sesuatu usaha yang mulia, mempertahankan budaya sendiri.

"Jangan kita terus berkecil hati, berpikir negatif suatu saat batik itu akan punah. Tetap berinovasi," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI