Taliban sekarang berbeda dengan Taliban era 1990-an. Taliban yang sekarang mahir mengintegrasikan instrumen kekuatan militer dan non-militer dalam meluluskan tujuan politiknya, kata Benjamin Jensen, pakar hubungan internasional pada Scowcroft Center for Strategy and Security seperti dikutip Atlantic Council.
Pemerintah Afghanistan dikalahkan oleh sebuah organisasi militer yang lebih adaptif, selain karena korupsi yang akut. Taliban tak perlu teori-teori militer canggih dari pakar-pakar strategis seperti Carl von Clausewitz. Mereka hanya mengandalkan teori kemenangan menyeluruh yang dipandu oleh gabungan ofensif politik dan manuver militer.
Taliban pun berubah menjadi kelompok militer yang bisa merangsek segala lini. Mereka tak lagi mengandalkan penyergapan dan teror bom untuk melemahkan musuh, melainkan dengan mengelola 80.000 laskarnya yang piawai memanfaatkan media sosial sama terampilnya dengan mengokang AK-47.
Mereka menggabungkan operasi informasi, termasuk memanfaatkan seruan tetua-tetua suku dan rangkaian pesan teks serta Twitter, dengan perintah terdesentralisasi yang membuat komandan-komandan lapangan yang mengetahui medan dan politik di wilayahnya bisa mengidentifikasi peluang dari setiap inisiatif.
Begitu operasi militer berhasil, mereka menguatkan operasi militer itu dengan menggelarkan pasukan semacam komando untuk memacu tempo ofensif militer.
Implikasi Geopolitis

Aspek pragmatisme Taliban lain yang bisa disebut adalah mengawinkan sukses di medan perang dengan sukses di meja perundingan, paling tidak dengan mengelola waktu demi mencegah manuver militer dari musuh utama (Amerika Serikat) yang memang sudah ingin meninggalkan Afghanistan setelah menghabiskan 2 triliun dolar AS (Rp 28.794 triliun) selama 20 tahun bercokol di negeri ini.
Taliban mematuhi syarat-syarat AS di meja perundingan, tetapi di lapangan mereka melancarkan ofensif militer yang terukur. Ketidakhadiran pemerintah Afghanistan dalam meja perundingan yang diperantarai Qatar telah dimanfaatkan betul oleh Taliban untuk membuat pemerintah dan militer Afghanistan mengalami disorientasi sehingga selalu kehilangan momentum dalam menjawab aksi Taliban.
Menurut Jensen, strategi militer Taliban berpijak kepada empat hal, yakni:
Baca Juga: Janji Hormati Hak-hak Perempuan, Benarkah Taliban Bakal Berubah?
- Mengisolasi militer Afghanistan sehingga rantai komando mereka terputus tak bisa berkomunikasi.
- Memadukan ancaman dan seruan untuk memutus dukungan publik kepada pemerintah.
- Menerapkan bentuk baru teror dengan cara membunuh sasaran-sasaran penting seperti komandan-komandan militer dan para pilot pesawat tempur Afghanistan di rumahnya sehingga mesin-mesin perang tak bisa dioperasikan manakala pasukan darat Afghanistan membutuhkan dukungan udara.
- Bernegosiasi untuk mengulur-ulur waktu sembari terus melancarkan manuver militer tanpa melanggar komitmen tidak menyerang pasukan AS.
Metode ini menunjukkan Taliban beradaptasi baik dengan situasi yang berbeda dengan saat mereka pertama kali berkuasa pada 1996. Pragmatisme ini mencerminkan pemahaman Taliban bahwa mereka paham Afghanistan era ini tak bisa ditaklukkan dengan memakai cara-cara era 1990-an.