
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan mengatakan Jokowi tidak hanya mengapresiasi keluhuran nilai-nilai adat dan budaya suku Baduy, namun juga menangkal stigma negatif terhadap Suku Badui.
"Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan suku Badui," kata Abetnego Tarigan.
Pihak KSP pun menganggap bahwa langkah Jokowi untuk menggunakan pakaian adat dan mengangkat kebudayaan suku Badui dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebutan "Badui" sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.
Namun penyebutan Suku Badui cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda.
Para kolonial secara gegabah mengidentifikasi suku Badui layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.
Walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Badui kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.
"Istilah Badui dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah 'Badui' karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan," Ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Baca Juga: Komerntar Rasis Soal Baduy dan Jokowi, Pria Ini Dihujat Netizen