Masygul Tenaga Kesehatan di Tengah Hawar: Kami seperti Belum Merdeka

Selasa, 17 Agustus 2021 | 19:17 WIB
Masygul Tenaga Kesehatan di Tengah Hawar: Kami seperti Belum Merdeka
Kolase tenaga kesehatan. [Foto Stephanus Aranditio/Aldi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kaum dokter berperan penting menyuntikkan rasa kebangsaan dan membuka jalan kemerdekaan Indonesia. Kaum yang sama juga tengah berjuang agar warga bebas dari wabah covid-19. Tapi kini mereka masygul.

KETIKA mayoritas warga merayakan hari kemerdekaan, Selasa 17 Agustus 2021, tercatat sudah 640 dokter dan 624 perawat yang gugur dalam peperangan melawan hawar covid-19.

Dr dr Tri Maharani MSi SpEM menilai, ini merupakan bukti nyata gagalnya negara dalam melindungi tenaga kesehatan atau nakes pada masa pandemi.

Belum lagi ditambah masifnya stigmatisasi terhadap nakes, “Sehingga Indonesia menjadi negara dengan angka kematian nakes akibat covid-19 nomor satu di dunia,” kata dr Maha.

Baca Juga: Waspada, Dokter Bilang COVID-19 Bisa Bikin Otak Lemot Loh!

Tak banyak yang mengetahui, gaya hidup dokter sebenarnya banyak yang tak berkesesuaian dengan pesan-pesan mereka kepada pasien.

Dokter selalu meminta pasien untuk hidup sehat, tapi nakes sendiri sangat susah menerapkannya untuk diri sendiri.

Tenaga kesehatan, kata dokter Maha, seringkali bekerja di bawah tekanan sampai tak sempat memikirkan kesehatan diri sendiri.

"Ini masalah habbit atau lifestyle dari para dokter atau seluruh nakes termasuk perawat, tentang kesehatan diri mereka. Ada kalanya mereka dipaksa kerja terlalu keras sehingga mereka tidak mengingat kapan olahraga, kapan bersenang-senang, karena itu seharusnya ada," kata dokter Maha kepada Suara.com, Jumat (14/8/2021).

Gaya hidup ini, bukan dibentuk sendiri oleh dokter, melainkan sistem kerja di Tanah Air yang sangat tidak manusiawi sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus menjalaninya untuk bertahan hidup.

Baca Juga: Update COVID-19 Jakarta 17 Agustus: Positif 655, Sembuh 920, Meninggal 24

"Tidak ada standar gaji di Indonesia, sehingga nakes harus bekerja sangat keras untuk mendapatkan sebuah hidup yang layak, apalagi kalau dihitung ongkos sekolah mereka ya tidak sebanding," ucapnya.

Satu-satunya dokter spesialis toksikologi ular berbisa di Indonesia ini mengatakan, selain gaya hidup nakes, sistem ketahanan kesehatan berimbas buruk pada medikus.

Ia menjelaskan, sistem ketahanan kesehatan tidak pernah diperbaiki agar siap menghadapi bencana seperti wabah covid-19. Padahal bencana bukan hal yang asing bagi negara cincin api ini.

Dokter Maha bercerita, ketika bertugas membantu korban bencana Badai Seroja di Maumere, Nusa Tenggara Timur beberapa bulan lalu, semua fasilitas kesehatan tidak siap, masih sama seperti 10 tahun lalu ketika Yogyakarta dihujani abu erupsi Gunung Merapi.

"Tidak ada perubahan yang bermakna untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan dalam menghadapi bencana. Kita belajar tok, tapi tak dilakukan, ya podo wae, ini harus dibenahi oleh stakeholder dan goverment," tegasnya.

Dalam pandemi covid-19 saat ini, menurutnya pemerintah tidak pernah memberikan alat pelindung diri yang terbaik bagi para nakes, sehingga mereka masih bisa tertular dan meninggal dunia.

"Karena APD-nya donasi sak-welase, kalau yang donasi itu pabrik besar bagus dapatnya. Tapi kalau yang donasi itu pabrik-pabrik kecil atau persoarangan, ya APD 50 ribuan. Akhirnya ketika mereka pakai, tidak selamat, dan itu rumah sakit, PERSI, Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan menurut saya masih kurang perhatian di sana," ungkap dokter Maha.

Faktor ketiga dan yang paling menyakitkan bagi para nakes adalah adanya penolakan dari masyarakat kaum anti-sains, penganut teori konspirasi, hingga orang yang lebih percaya politisi ketimbang dokter.

"Dengan musuh dan problem begitu banyak, nakes kita itu kayak tikus yang terjepit terus penyet. Kalau mereka lolos dari semua ini dan tidak gila, tetap waras, berarti imannya terhadap Tuhan dan Tuhan yang tolong dia."

RS Khusus Nakes, bukan DPR

SEJAK awal pandemi, nakes selalu diminta berlapang dada melihat tingkat para pejabat negara yang melontarkan pernyataan tanpa empati ke publik.

Salah satunya, Wakil Sekretaris Jenderal PAN Rosaline Irine Rumaseuw yang meminta pemerintah menyediakan rumah sakit khusus untuk pejabat saat nakes tengah berjuang hidup mati melawan lonjakan covid-19 akibat varian delta, Juli.

Dokter Maha yang pernah bertugas sebagai Kepala IGD Rumah Sakit Daha Husada, Kediri itu mengaku sakit hati mendengar pernyataan pejabat seperti ini, dia mengusulkan rumah sakit khusus untuk nakes terpapar covid-19.

"DPR minta rumah sakit, aku pikir ini orang-orang edan, nakes saja tidak dapat rumah sakit, jadi di tengah kondisi kayak ini ya memang akhirnya membuat kita berevolusi kayak teori Darwin tentang jerapah berleher panjang dan jerapah berleher pendek, akhirnya kita kayak evolusi seperti itu," tuturnya.

Insentif Disunat

DOKTER Maha menegaskan, tidak ada satu pun dokter yang berharap mencari cuan dari pandemi ini.

Pada kenyataannya dokter juga menjadi korban, insentif mereka dipotong, bekerja di atas normal, dan stres berat.

Dia bercerita, salah satu rekan sejawat dokternya harus kehilangan istri dan mertua akibat covid-19, anaknya juga sakit.

"Betapa kesedihan yang harus ditanggung, tapi rumah sakit tidak peduli, ketika negatif ya langsung disuruh kerja," sambungnya.

Insentif dokter spesialis yang seharusnya Rp 15 juta entah kenapa jadi Rp 4 juta, dokter umum yang harusnya Rp 10 juta juga cuma dikasih Rp 1 juta.

"Mereka pikir enak ya nakes dapat duit segitu. Tapi mereka tidak berpikir kalau kita bertaruh nyawa. Kalau dibandikan dengan uang yang diterima ya tidak sebanding, taruhannya nyawa," tegas dokter Maha.

Bertahan demi kemanusiaan

SATU-satunya hal yang mampu membuat nakes bertahan di tengah tekanan atas-bawah-kiri-kanan ini adalah nilai kemanusiaan dan kesabaran.

"Yang mendorong kami untuk tetap bertahan cuma satu, para nakes ini percaya, ketika mereka diizinkan jadi nakes kita semua itu adalah sebuah jalan hidup yang digariskan Tuhan, jadi kita ini bukan berhadapan dengan manusia yang menggencet kita gak karuan itu, tapi kita berhadapan dengan Tuhan, ketika saya melakukan itu saya bersyukur saya masih sehat sampai hari ini," ucap dokter Maha.

Pemerintah dan masyarakat seharusnya bersyukur masih mempunyai tanaga kesehatan yang masih mau bekerja dalam kondisi seperti ini.

"Dokter di luar negeri itu tidak ada duit ya gak mau. Nakes Iindonesia itu apik-apike (sebagus-bagusnya) nakes di dunia, orangnya dibayar murah mau, taruhan nyawa mau, gak dibayar ya mau, gaji disunat ya mau, kami ini orang yang banyak bersyukur," tuturnya.

Belum merdeka

DOKTER Maha yang kini bertugas di Litbangkes Kemenkes RI pun menegaskan, nakes belum merdeka.

Sebab, mereka belum terlindungi oleh negara, dan diperparah oleh stigma dari masyarakat yang menekan mereka.

"Nakes ini belum merdeka, kita butuh kemerdekaan itu, ingat kemerdekaan Indonesia itu dicetuskan oleh dokter-dokter, Budi Utomo itu dokter. Nakes bukannya mau jadi warga eksklusif, tapi kami butuh perlindungan nakes."

"Biarlah kemerdekaan tahun ini memberi arti kepada kami nakes ini merdeka untuk hidup berkarier dan selamat di negara ini dalam kondisi saat ini, harapan nakes ini sederhana, tidak ada yang pengen gaji Rp 100 juta, kami hanya ingin melayani, selamat, dan juga sehat," kata dokter Maha jelang HUT Ke-76 Republik Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI