Pemilihan Busana Bundo Kanduang Sarat Makna Politik antara Puan Maharani dan Sumbar

Selasa, 17 Agustus 2021 | 15:58 WIB
Pemilihan Busana Bundo Kanduang Sarat Makna Politik antara Puan Maharani dan Sumbar
Ketua DPR Puan Maharani mengenakan baju adat khas Minangkabau Bundo Kanduang saat Upacara peringatan HUT ke 76 Republik Indonesia. [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemilihan baju Bundo Kanduang oleh Ketua DPR Puan Maharani pada Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Istana Negara dimaknai sebagai simbol politik.

Busana tradisional asal Lintau, Tanah Datar, Sumatra Barat yang dikenakan Puan, suka tidak suka, bakal dikaitkan dengan kontroversi yang pernah dilakukan Ketua DPP PDIP terhadap Sumbar.

Sebagaimana diketahui, pada Pilkada Sumbar 2020 lalu, Puan sempat menuai kontroversi usai ucapannya menyorot Sumbar.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, pemilihan busana baju Bundo Kanduang merupakan upaya Puan memulihkan rasa kecewa masyarakat Sumbar terhadap kontroversi yang pernah mencuat.

Baca Juga: Makna Busana Bundo Kanduang yang Dikenakan Puan Maharani Saat Membaca Teks Proklamasi

Puan ingin membayar kekecewaan masyarakat Sumbar melalui pakaian tradisional yang ia kenakan.

"Mungkin Puan ingin mengobati rasa kekecewaan masyarakat Sumbar. Biasanya jika ada masalah itu terbayang-bayang terus, rekaman jejak kontroversi tersebut sepertinya ingin dibayar lunas dengan mengenakan pakaian adat Sumbar tersebut. Itu simbolik tapi punya makna," kata Ujang dihubungi, Selasa (17/8/2021).

Bukan cuma mengobati rasa kecewa, Ujang menganggap ada kemungkinan, Puan juga ingin menarik simpati masyarakat Sumbar melalui momen hari kemerdekaan.

Hal itu tentu tidak terlepas dari politik 2024, di mana Puan digadang-gadang ikut bursa pencalonan presiden.

"Mau tidak mau suka tak suka. Jika ingin maju nyapres ya mesti dapat dukungan dari masyarakat Sumbar. Kita lihat saja ke depan. Jika Puan turun bersilaturahmi ke tokoh-tokoh Sumbar dan masyarakat Sumbar itu artinya ada itikad untuk selesaikan persoalan dan ada keinginan untuk dapatkan suara masyarakat Sumbar," ujar Ujang.

Baca Juga: Puan Maharani Baca Teks Proklamasi, 76 Tahun Lalu Dibacakan Kakeknya, Soekarno

Diketahui sebelumnya, Puan mengenakan busana Bundo Kanduang bernuansa krem, merah dan emas saat membacakan teks Proklamasi dalam Upacara Kemerdekaan di Istana Negara.

Mengutip keterangan tertulis Puan, busana adat yang dipakainya itu biasa disebut juga dengan Limpapeh Rumah Nan Gadang yang merupakan busana yang biasa dipakai oleh wanita Minang di Minangkabau, Sumatera Barat.

Busana Bundo Kanduang biasa dipakai oleh seorang wanita dewasa atau wanita yang telah menikah.

Buana itu dipadukan dengan memakai Tingkuluak Balenggek, penutup kepala yang berasal dari Lintau, Tanah Datar.

Oleh wanita Minang, busana Bundo Kanduang biasa dipakai pada acara adat seperti pernikahan, pengangkatan datuak, dan lainnya. Makna dari busana ini adalah merupakan simbol dari pentingnya peran seorang ibu dalam sebuah keluarga.

Megawati dan Puan Soroti Sumbar

Sebelumnya Ketua Umum PDI PDIP Megawati Soekarnoputri mendadak menyorot kondisi Sumbar. Jauh hari sebelum sang ibu, Puan pernah melakukan hal yang sama, yakni menyorot wilayah tersebut. Lantas ada apa gerangan?

Sorotan Megawati terhadap Sumbar terlontar saat memperingati HUT ke-119 Proklamator RI Mohammad Hatta. Dalam pidatonya Megawati mengatakan, Sumbar saat ini sudah tak seperti dulu. Di mana awalnya ia bercerita soal tokoh di Sumbar.

"Dulu saya tahu banyak sekali tokoh dari Sumbar. Kenapa menurut saya sekarang kok kayaknya tidak sepopuler dulu kah atau emang tidak ada produknya?" ucap Megawati dalam acara yang digelar oleh Badan Nasional Kebudayaan Pusat (BKNP) PDIP secara virtual, Kamis (12/8/2021).

"Setelah ke sini, saya mulai berpikir, saya sering diskusi karena di BPIP, saya sebagai ketua dewan pengarah. Saya suka bertanya ke Buya Syafii, mengapa Sumatera Barat yang dulu saya kenal sepertinya sudah mulai berbeda, lain," ujar dia lagi.

Buya Syafii, kata Megawati, justru menganggap dirinya terlalu memikirkan hal tersebut.

Megawati berkelakar kepada Buya Syafii bahwa seharusnya ikut memikirkan terkait adanya perubahan yang terjadi di Sumatera Barat. Pasalnya kata Megawati, Buya Syafii tokoh berasal dari Sumatera Barat

"Saya sering bicara dengan Buya Syafii. beliau ikut di BPIP katanya, 'Mega kamu suka mikir kepanjangan, sudahlah biar saja kenapa'. Buya kok enak amat kalau ngomong, kita selagi ada umur masih dizinkan Allah untuk berpikir, ya kita pikir dong. Buya kan orang sana. Kami suka ganggu menggangu. Nah itu ke mana ya? menurut saya kok penting ya," tutur Megawati.

Megawati menceritakan, jika dia dan putrinya Puan Maharani pernah menjadi korban perundungan saat berkunjung ke Sumatera Barat. Bahkan ia masih bingung alasan dirinya di-bully.

"Suatu waktu saya pernah sama mbak Puan di-bully. Saya masih bingung kenapa saya di-bully ya? Padahal dari yang saya mendapatkan sebuah pengertian, itu kan ada Bundo Kandung. Jadi itu yang maksud saya, apakah itu sudah tidak berjalan lagi," ucap Megawati.

"Jadi ke mana para cendikiawan yang dibilang candiak pandai? Mungkin dulu istilahnya Tungku Tigo Sajarangan alim ulama, cerdik pandai," sambungnya.

Tak hanya itu, Megawati menilai bahwa saat ini tak ada tokoh Sumatera Barat yang terkenal. Padahal kata Megawati di era kemerdekaan, banyak tokoh-tokoh asal Sumatera Barat.

Mereka diantaranya Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Agus Salim, Rasuna Said, Buya Hamka, Moh Natsir, Abdul Muis, Rohana Kudus, dan lainnya.

"Dulu saya tahu banyak sekali tokoh dari Sumbar. Kenapa menurut saya sekarang kok kayanya tidak sepopuler dulu kah atau emang tidak ada produknya?" tutur Megawati.

Bahkan kata Megawati, dahulu ia merasakan semangat gotong-royong yang sangat kental tradisi keislamannya di Sumatera Barat. Selain itu Megawati menuturkan Sumatera Barat juga dikenal menempatkan peran tokoh adat yang memiliki kepemimpinan khas masing-masing.

"Jadi dulu waktu saya kalau ke Sumbar saya melihat saya dapat merasakan sebuah apa ya, naluri kegotong-royongan gitu, karena tentu sangat kental tradisi keIslamannya. Tapi juga ada saat bersamaan juga menempatkan peran tokoh adat yang disebut ninik mamak, alim ulama, kaum cadiak pandai ke semuanya merupakan kepemimpinan yang khas yang disebut Minangkabau bukannya istilah tapi seperti panggilan," katanya.

Sumbar dan Negara Pancasila

Menarik waktu saat masa-masa Pilkada Sumbar 2020 lalu. Sang anak, Puan Maharani sempat menuai kontroversi usai ucapannya menyorot Sumbar.

Pada tanggal 2 September 2020, Puan secara resmi mengumumkan dukungan PDIP terhadap pasangan Mulyadi dan Ali Mukhni di Pilkada Sumbar 2020. Pasangan itu bukanlah kader PDIP, di mana Mulyadi adalah politikus Partai Demokrat sedangkan Ali Mukhni adalah Bupati Padang Pariaman.

Saat pengumuman resmi dukungan dari PDIP, Puan sempat menyinggung soal Sumbar dan negara Pancasila.

"Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," ucapnya.

Namun tak ada penjelasan lebih lanjut dari Puan terkait ucapannya soal Sumbar itu. Usai kejadian kejadian itu, Mulyadi mengembalikan dukungan dari PDIP. Selanjutnya, Pilgub Sumbar dimenangi oleh Mahyeldi calon dari PKS, yang berpasangan dengan Audy Joinaldy.

Usai ucapannya itu, Puan banyak menuai sorotan dan kritik, terutama dari tokoh Sumbar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI