TII Soroti Luputnya Permasalahan Kebebasan Berekspresi dari Pidato Jokowi

Selasa, 17 Agustus 2021 | 14:23 WIB
TII Soroti Luputnya Permasalahan Kebebasan Berekspresi dari Pidato Jokowi
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kiri) berjalan menuju ruang sidang Gedung Nusantara saat menghadiri Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). ANTARA FOTO
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Arfianto Purbolaksono menyoroti luputnya permasalahan tentang jaminan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama serta berkeyakinan dalam pidato Presiden Jokowi saat Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8).

Padahal, kata Arfianto, kedua permasalahan tersebut penting untuk ditegaskan Jokowi lewat pidatonya. Mengingat permasalahan jaminan kebebasan berekspresi dan berkeyakinan semakin membuat resah.

Pertama, terkait kebebasan berekspresi. Memang, pada akhir pidato Presiden menyampaikan bahwa kritik membangun itu adalah hal yang penting.

Namun permasalahannya, kadang respons terhadap kritik dari kelompok masyarakat yang ditujukan kepada pemerintah sering kali berujung pada pemanggilan oleh aparat penegak hukum.

Baca Juga: Aktivis 98 Ingatkan Pemerintah yang Masih Mengandalkan Utang untuk Belanja Negara

Arfianto mengatakan, respons pemerintah terhadap kritik seperti itu yang kemudian membuat resah kelompok masyarakat yang menjaga demokrasi.  Contoh terakhir, misalnya kasus mural.

"Seharusnya hal tersebut tidak lantas diancam dengan proses hukum," kata nya dalam keterangannya, Selasa (17/8/2021).

Padahal kebebasan ekspresi dan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM). Arfianto mengatakan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sementara itu di Indonesia, hal tersebut termaktub dalam Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu lanjut Arfianto Indonesia juga meratifikasi Covenant on Civil and Political Rights melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005.

Selain itu, persoalan kebebasan berekspresi adalah masalah implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baca Juga: Jokowi Kenakan Pakaian Adat Baduy, Politisi Demokrat: Angkat Spirit Nasionalisme

Dia menyampaikan berdasarkan studi yang dilakukan TII tentang Mempromosikan dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia (2021), sejatinya UU ITE merupakan bagian dari komitmen negara dalam melindungi warga negara di ruang digital.

"Namun dalam praktiknya, UU ini malah menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi terutama di ruang digital," ujarnya.

Catatan kedua yang penting bagi TII adalah permasalahan jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan.

"Jika melihat studi dari Wahid Foundation dan Setara Institute, terlihat bahwa kondisi kebebasan beragama dan kepercayaan di negeri masih perlu dibenahi. Masih banyak tindakan intoleransi dan diskriminasi yang menimpa pemeluk agama dan kepercayaan yang minoritas, walaupun mereka berdarah dan bertanah air Indonesia. Padahal di Pasal 28 E ayat 1 dan 2 kebebasan beragama dan kepercayaan dijamin oleh UUD 1945," katanya.

Dia mengemukakan, pada Kemerdekaan ke-76 tahun RI maka sudah saatnya kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan kepercayaan dijamin dan ditegakkan.

"Jaminan terhadap kebebasan berekspresi, beragama dan berkeyakinan jangan lagi sekedar retorika belaka. Negara harus dapat memberikan jaminan terhadap kebebasan tersebut sesuai konstitusi," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI