Suara.com - Jaringan teroris Jemaah Islamiyah alias JI di Indonesia ikut merayakan kemenangan kelompok Taliban, yang sukses kembali merebut kekuasaan di Afganistan.
Kebangkitan Taliban itu, menurut mantan teroris dan pengamat terorisme, telah menggelorakan euforia alias semangat bagi anggota JI.
Namun, kelompok JI disebut belum bergerak baik hijrah ke Afghanistan atau melakukan aksi teror di Indonesia karena masih menunggu dan melihat sikap Taliban, apakah terbuka bagi kelompok terorisme atau tidak.
Jemaah Islamiyah adalah kelompok yang berafiliasi dengan jaringan teroris al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden yang dekat dengan Taliban.
Baca Juga: Abdul Ghani Baradar, Pemimpin Taliban yang Dibebaskan Trump 3 Tahun Lalu
Pada era tahun 90-an, anggota JI Indonesia melakukan pelatihan militer di Afghanistan dan kemudian diyakini melancarkan serangkaian aksi teror di Indonesia - di antaranya bom Bali, bom Kedutaan Besar Australia hingga bom Hotel Marriot Jakarta - yang menewaskan ratusan orang.
Hubungan itu berakhir ketika al-Qaida ditumpas dan Taliban dilemahkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang menduduki Afghanistan pada 2001.
Walau dijungkalkan dari kekuasaan saat invasi AS itu, Taliban tidak dapat ditumpaskan ,bahkan mereka kembali bangkit pascapenarikan pasukan Barat setelah dua dekade di Afghanistan.
Kini, kelompok bersenjata Taliban telah menguasai mayoritas wilayah Afghanistan, seperti memegang kendali ibu kota Kabul.
Sementara, presiden dan wakil presiden Afghanistan telah meninggalkan negara itu.
Baca Juga: Presiden Joe Biden: Kembalinya Taliban adalah Kesalahan Pemimpin Afganistan
Pemerintah Indonesia berharap agar perdamaian bisa tercipta di Afghanistan agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok terorisme.
Pemerintah kini masih menyisakan tim esensial perwakilan diplomatiknya di Kabul untuk melakukan pemantauan situasi dan membangun komunikasi dengan pihak terkait.
'Euforia' JI di Indonesia
Kelompok Jemaah Islamiyah di Indonesia disebut mengalami euforia setelah Taliban dikabarkan menguasai Afghanistan.
"Saya dapat komunikasi dari kawan-kawan di media sosial, mereka, jihadi, sangat senang, bangga, ada yang sujud syukur, takbir, bergembira dengan kemenangan Taliban," kata mantan pimpinan Jamaah Islamiyah Nasir Abbas.
Walaupun merasa bahagia, menurut Nasir, anggota JI masih menunggu dan melihat sikap, apakah Taliban masih seperti dulu yang menerima kelompok terorisme atau tidak.
"Jika seperti dulu, kemungkinan besar akan banyak anggota JI yang ingin hijrah ke Afghanistan dan akan menjadi ancaman baru bagi dunia. Jadi apakah kebangkitan ini menjadi ancaman atau tidak, kita tunggu sikap Taliban," ujarnya.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, melihat 'euforia' JI membuktikan bahwa Taliban hingga kini masih dipandang sebagai bagian dari al-Qaeda.
Kelompok JI di Indonesia saat ini, kata Chaidar, tidak memiliki afiliasi dengan al-Qaeda maupun Taliban sehingga mereka akan melakukan tindakan untuk mendapat pengakuan dari keduanya untuk menunjukkan eksistensi mereka di Indonesia.
"Terlihat dari maraknya penangkapan JI di beberapa tempat, Jawa Tengah, Lampung, itu adalah sel yang sangat aktif dan besar, itu yang harus ditanggapi oleh pemerintah dari pergolakan ini," kata Chaidir.
Apakah berpengaruh ke ISIS dan afiliasinya di Indonesia?
Kebangkitan Taliban diprediksi tidak memiliki pengaruh langsung terhadap potensi meningkatnya gerakan dari kelompok ISIS dan afiliasinya di Indonesia.
Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) Taufik Andrie mengatakan, hal itu disebabkan terjadi kompetisi kekuasaan antara ISIS dan Taliban.
Contohnya, ujar Taufik, Gerakan ISIS di Asia Selatan tidak diterima oleh Taliban.
"Kelompok ISIS itu karena naluri kekuasaan dan ekspansi mereka dalam wilayah itu sama besarnya dengan Taliban jadi mereka malah kompetisi. Mereka secara kutub ideologis berseberangan," kata Taufik.
Untuk itu, Taufik melihat, hingga kini belum ada potensi ancaman teror di Indonesia akibat kebangkitan Taliban, terutama berasal dari JI.
Ditambah lagi, ujarnya, aparat keamanan melakukan penangkapan secara besar-besaran anggota JI yang melemahkan dan mereduksi ancaman mereka.
"Semua pemimpinnya ditangkap sepanjang tiga tahun terakhir, saat ini JI cukup lemah, jadi potensi atau kesempatan untuk melakukan serangan saya kira cukup kecil," tambahnya.
Walaupun demikian, menurut Kepala Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah, kebangkitan Taliban berpotensi memberikan inspirasi bagi jaringan radikal di Indonesia.
Hal ini berdasarkan pengalaman sebelumnya di mana gerakan terorisme di Indonesia mendapat dorongan dari luar, seperti jaringan al-Qaeda dan ISIS.
"Jadi, selalu mereka terpesona dengan Islam transnasional, atau kemudian fenomena yang terjadi di luar negeri yang juga mereka mengupayakan juga terjadi di Indonesia. Ini yang perlu kita antisipasi ke depan," kata Syauqillah.
Ia juga mengemukakan, aksi Taliban di Afghanistan tak bisa serta merta ditiru di Indonesia, karena "peredaran senjata itu tidak ada. Jadi tidak sebesar Taliban".
Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia?
Senada, Taufik meminta pemerintah untuk mengawasi glorifikasi kemenangan Taliban di Indonesia.
"Jangan sampai menjadi inspirasi, malah kelompok-kelompok di Indonesia melakukan konsolidasi, bahkan mencoba strategi perjuangan Taliban," ujarnya.
Untuk itu, seperti kata Nasir Abbas, aparat keamanan harus terus aktif melakukan antisipasi dengan cara menangkap anggota-anggota JI, ISIS dan afiliasinya.
"Dan perbanyak deradikalisasi agar kelompok jihadi bisa saling mengingatkan dan mencegah tidak terlibat konflik di luar," katanya.
Bagaimana hubungan JI, al-Qaeda dan Taliban terjalin?
Nasir Abbas adalah mantan anggota JI yang sempat mendapatkan pelatihan militer di Afghanistan dari tahun 1987-1993. Saat ia di sana, belum ada namanya Taliban.
Menurut Nasir, Taliban muncul sekitar tahun 1993/1994 akibat ketidakpuasan masyarakat lokal atas pemerintahan saat itu.
Dalam aksi awalnya, Taliban menyerang semua kelompok di luarnya, termasuk kelompok terorisme al-Qaeda, orang Arab, pemerintah dan warga asing lainnya.
"Mereka menyerang, menyita barang-barang, senjata, amunisi dan semuanya di kamp saya di Afganistan, termasuk Osama Bin Laden yang lari ke Sudan" kata Nasir.
Taliban menguasai pemerintah Afghanistan pada tahun 1996. Kemudian, Taliban melunak kepada kelompok teroris al-Qaeda karena Osama Bin Laden.
Afghanistan pun jadi 'surga' pelatihan militer kelompok al-Qaeda pada sekitar tahun 1997-1998, termasuk afiliasinya yaitu Jamaah Islamiyah dari Indonesia.
"Orang-orang ke Afghanistan bukan karena Taliban, tapi karena Osama Bin Laden," katanya.
Hubungan JI dengan Taliban tidak terjalin secara langsung, melainkan lewat proksi kelompok al-Qaeda.
Taliban menguasai pemerintahaan hingga tahun 2001 sebelum akhirnya dijatuhkan oleh Amerika Serikat dengan sekutu atas tuduhan melindungi Osama Bin Laden - yang terlibat dalam serangan Menara kembar WTC, New York pada 11 September 2001.
Kematian Osama Bin Laden dan jatuhnya Afghanistan ke tangan Barat, menyebabkan al-Qaeda dan Taliban terpukul serta hubungan pun terputus.
Namun, kejatuhan tersebut tak lantas menghilangkan JI. Hingga kini kelompok itu masih ada dan terus bergerak di Indonesia.
"Tidak ada korelasi (JI di Indonesia dengan Taliban), mereka bergerak sendiri. Ada Taliban, tidak ada Taliban, JI tetap ada," katanya.
Indonesia berharap perdamaian
Pemerintah Indonesia berharap agar perdamaian dan stabilitas segera terjalin di Afghanistan.
Salah satu tujuannya adalah untuk menutup kekhawatiran akan potensi munculnya dampak yang meluas, seperti meningkatnya gerakan terorisme di dunia, termasuk Indonesia.
"Dengan adanya stabilitas dan keamanan, anasir-anasir di masa lalu yang memanfaatkan ketidakstabilan, mudah-mudahan tidak ada satu kondisi yang bisa mereka manfaatkan (sekarang)," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah.
Dia menambahkan, hingga kini pemerintah Indonesia tetap membuka kantor perwakilan, KBRI di Kabul.
Tujuannya untuk menunjukan eksistensi atau kehadiran Indonesia sebagai negara sahabat Afghanistan.
Pada tahun 1998, saat terjadi konflik hebat di Afghanistan, KBRI di Kabul tetap beroperasi.
"Namun dengan jumlah yang terbatas, disebut tim esensial. Keperluan mereka untuk melakukan pemantauan situasi dan membangun komunikasi dengan pihak-oihak terkait di sana," kata Faizasyah.
Walaupun demikian, ujar Faizasyah, Indonesia tetap memprioritaskan rencana evakuasi bagi WNI dan staf KBRI di Kabul.
Aksi-aksi penangkapan jaringan JI
Sepekan kemarin, Tim Densus 88 Antiteror telah menangkap 48 tersangka terorisme di 11 provinsi.
Mayoritas dari mereka adalah anggota JI.
"Dari 48 tersangka yang diamankan, terbagi menjadi 2 jaringan kelompok yaitu jaringan Jamaah Islamiyah sebanyak 45 tersangka dan jaringan media sosial Jamaah Ansharut Daulah sebanyak 3 tersangka," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divis Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, Senin (16/8).
Penangkapan itu berlangsung dari 12-15 Agustus kemarin. Hingga kini, lima orang terduga teroris masih buron.
Juni lalu, polisi juga telah menangkap pemimpin JI bernama Para Wijayanto dan tiga pria kepercayannya di lokasi berbeda serta 13 anggota JI di Riau.
Polisi menyatakan Para Wijayanto yang menjadi buronan sejak 2008 silam merupakan pemimpin JI setelah kelompok itu dilarang keberadaannya pada 2007.
Di bawah kepemimpinan Para, JI disebut telah mengirim sejumlah pemuda berlatih militer ke Suriah.
Sebelumnya pada bulan Maret, polisi menangkap 22 tersangka terorisme jaringan JI Jawa Timur.
Pada 2007 Jamaah Islamiyah dibubarkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Organisasi yang didirikan oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar dinyatakan sebagai bagian jaringan teroris.
JI juga diyakini sebagai organisasi induk yang berada di balik kasus Bom Bali I dan II, dan Bom Kedutaan Besar Australia.