Di Rengasdengklok, Bung Karno dan keluarga dipindah ke rumah milik etnis Tionghoa patriotik yang sudah lansia, I Siong.
dalam rumah itulah para pemuda menjelaskan detail untung-rugi kalau Bung Hatta dan Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu janji Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta memahami keinginan para pemuda. Tapi pada pagi itu, keduanya belum menyetujui keinginan pemuda agar hari itu juga memproklamasikan kemerdekaan.
Pertemuan Kamis, 16 Agustus 1945 pagi itu berujung buntu. Sorenya, sekitar pukul 16.00 WIB, kembali diadakan pertemuan.
Setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendengar penjelasan detail tentang para pemuda yang sudah menyiapkan gerakan revolusi, keduanya bersepakat memproklamasikan kemerdekaan RI pada Kamis malam.
Penerimaan usulan itu penting, karena menunjukkan Republik Indonesia nantinya adalah negara berdaulat, bukan hadiah dari Jepang. Selanjutnya, kedua tokoh bangsa itu dibawa kembali oleh pemuda ke Jakarta.
Meski waktunya meleset, Bung Karno dan Bung Hatta tetap menyegerakan membacakan teks proklamasi kemerdekaan, yakni Jumat tanggal 17 Agustus 1945.
Torehan kiprah DN Aidit yang tertulis dalam buku Sidik Kertapati itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sejarawan sekaligus Indonesianis Ben Anderson, dalam bukunya berjudul “Revoloesi Pemoeda” halaman 70 menuliskan, “Pada umumnya, uraian Sidik mengenai gerakan bawah tanah itu adalah paling lengkap dan memuaskan di antara buku-buku yang berbahasa Indonesia.”
Baca Juga: Bobby Nasution Izinkan Lomba 17 Agustus, Ingatkan Prokes
Ilham Aidit, putra DN Aidit, kepada Suara.com dalam wawancara dua tahun silam, mengetahui kiprah papanya seputar detik-detik proklamasi dari sejarawan Asvi Warman Adam.