Dua tahun lamanya Sukma menetap di bengkel bajaj. Banyak orang rupanya kurang senang karena sudah menikah, tapi masih tinggal di bengkel, mereka pun kemudian mengontrak di Kramatpulo sampai sekarang.
Penghasilan suami kedua dari mengemudikan bajaj dirasa tak mencukupi kebutuhan hidup yang terus bertambah, terutama untuk membantu anak-anak Sukma dari suami pertama. Itu sebabnya, dia tetap menjadi pengemudi bajaj.
“Saya bela-belain, sampai dari bajaj, itu demi perut anak-anak saya.”
Sebelum datang pagebluk, penghasilan pengemudi bajaj seperti yang diceritakan Sukma terbilang besar. Sehari rata-rata bisa mengantongi pendapatan Rp200 ribu sampai Rp500 ribu.
Tapi setelah datang pandemi Covid-19, pendapatan menurun drastis akibat beberapa hal. Misalnya, banyak pelanggan yang dirumahkan oleh perusahaan dan kemudian mereka pulang kampung, banyak pusat-pusat perbelanjaan yang tutup akibat kebijakan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat, belum lagi akibat persaingan ketat dengan layanan ojek online.
“Sekarang mah boro-boro, pagi ketemu pagi belum tentu dapat Rp200 ribu,” kata Sukma.
Ketika saya melakukan wawancara yang kedua, sekitar pukul 21.00 WIB, dia mengaku baru mendapat uang Rp150 ribu.
Uang tersebut belum dipotong untuk biaya sewa bajaj. Biaya sewa bajaj bervariasi, misalnya sistem kalong atau dibawa pulang, biayanya Rp50 ribu. Sedangkan kalau bajaj diantarkan ke bengkel selepas dipakai untuk narik, biayanya Rp40 ribu.
Sukma biasanya menggunakan sistem kalong. Dia membawa pulang bajaj dengan pertimbangan sewaktu-waktu bisa dipakai untuk membawa anaknya ke dokter jika sakit.
Baca Juga: Kisah Penjaga Makam: Menjawab Apa Saja yang Terjadi di Kuburan
Penghasilan masih dipotong untuk diberikan kepada mekanik di bengkel sebesar Rp10 ribu atau istilahnya memberi uang rokok. Uang rokok sudah menjadi semacam kewajiban tak tertulis. Dengan uang rokok, mekanik akan gampang memberikan perhatian kepada kondisi bajaj, misalnya menambah oli atau menambah minyak rem jika kurang.