Suara.com - SUKMA dengan mantap membelokkan kemudi bajaj berbahan bakar gas memasuki bengkel ban mobil yang terletak di Jalan Raya Salemba, Jakarta Pusat. Sesampai di halaman bengkel, bajaj biru berhenti dan seorang perempuan yang tadi menumpang, turun.
Sukma seorang perempuan berusia 40 tahun merupakan satu dari sedikit pengemudi bajaj perempuan di Jakarta Pusat. Bajaj, kendaraan beroda tiga yang selama ini dikenal dioperasikan oleh kaum lelaki. Sukma menjadi sopir bajaj karena desakan kebutuhan.
“Betul (bajaj selama ini lebih banyak dioperasikan lelaki). Sebenarnya saya bawa bajaj karena terpaksa, karena tuntutan perut. Saya sudah pernah kerja jadi tukang kopi keliling, nanem kangkung, cuci gosok, tapi tetap nggak bisa penuhi kebutuhan sehari-hari. Makanya itu, sekarang narik bajaj,” kata Sukma.
Sukma merupakan nama pengganti. Sengaja dibuat anonim demi melindungi privasi. Dia nanti akan menceritakan sejumlah informasi sensitif menyangkut masalah keluarganya, juga rahasia pengemudi bajaj.
Baca Juga: Kisah Penjaga Makam: Menjawab Apa Saja yang Terjadi di Kuburan
Ibu ini menjadi pengemudi kendaraan roda tiga setelah berpisah dengan suami pertama. Pekerjaan itu dia jalani untuk mencari sesuap nasi.
Sukma seorang ibu dari lima anak. Empat anak lahir dari suami yang pertama: satu anak meninggal dunia. Setelah cerai, Sukma dinikahi seorang pengemudi bajaj dan dari suami kedua dia dikaruniai seorang anak perempuan.
Dia tinggal di salah satu daerah di Jakarta Pusat bersama suami kedua dan anak perempuan semata wayang. Sedangkan tiga anak lelakinya tinggal bersama suami yang pertama, mereka menetap di kawasan Jakarta Utara.
Walaupun Sukma sudah tidak tinggal bersama ketiga anak dari suami pertama, dia tetap bertanggungjawab untuk memberikan nafkah kepada mereka. Nanti dia akan bercerita bagaimana itu bisa terjadi.
Bahaya di jalanan
Baca Juga: Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik
Mengemudikan bajaj di Ibu Kota Jakarta mempunyai banyak tantangan, terutama bagi perempuan seperti Sukma. Salah satunya tantangannya berupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh sebagian penumpang lelaki.
Sukma mengaku pernah berulangkali mengangkut penumpang lelaki yang disebutnya genit.
Mulai dari meminta nomor telepon dan belakangan untuk mengajaknya janjian bertemu di suatu tempat dengan dalih ingin makan bersama.
Beberapa penumpang lagi ada yang berlaku lebih kurang ajar. Memuji-muji rambut Sukma. Kemudian dari belakang, memegang-megang pundak atau leher Sukma yang tengah konsentrasi mengemudikan bajaj.
Di antara mereka, ada yang kemudian berani mengajak Sukma untuk check in di hotel. “Ada yang bilang, saya mau dibayar berapa,” kata Sukma.
Dalam wawancara, Sukma menyebut ciri-ciri penumpang yang biasanya bersikap ganjen padanya. Saya sengaja tidak menyebutnya dalam tulisan ini untuk menghindari rasisme.
Terhadap penumpang yang sudah bersikap keterlaluan, Sukma tidak peduli siapa orangnya, dia akan langsung menghentikan laju bajaj dan mengusir penumpang kegatelan.
“Bapak punya otak nggak, lebih baik bapak turun dari bajaj. Niat elu udah nggak bener. Sampai pintu saya tendang, dia lalu turun. Situ sopan, sini segan. Saya cari duit pak, bukan jual diri. Saya sih nggak ganjen sama orang, saya sudah punya laki,” kata Sukma.
“Kalau bapak sopan saya segan pak. Saya anterin bapak kemana saja, tapi jangan ngraba-raba gitu. Kalau bapak mau cari yang gitu-gituan, noh cari di Gunung Antang,” dia menambahkan.
Ketika menceritakan pelecehan demi pelecehan yang pernah dialami, terdengar suaranya penuh amarah. Saya tak berani meneruskan pembahasan lebih jauh menyangkut peristiwa menyakitkan yang pernah dialami Sukma.
Tantangan lain di jalanan adalah melayani penumpang yang kata Sukma,“kalau bayar tuh semau-maunya sendiri.”
Suatu kali, dia pernah mengantarkan penumpang dari daerah Kramatpulo ke Jalan Garuda (Kemayoran). Lalu, penumpang minta diantarkan lagi ke Pasar Tanah Abang. Ketika itu, Sukma sudah dengan nada sopan mengatakan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Tanah Abang karena faktor mesin bajaj yang kurang mendukung.
Tapi penumpang tersebut tetap memaksa untuk diantar. Sesampai di tempat tujuan, Sukma cuma diberi uang Rp20 ribu, jauh dari tarif normal. “Saya kan kesel. Kramatpulo, Garuda, Tanah Abang, dikasih Rp20 ribu. Lalu dia kabur begitu saja. Ya udah deh saya ikhlasin.”
Sebelum pandemi Covid-19, Sukma biasanya mangkal di kawasan Pasar Tanah Abang. Tapi setelah pemerintah menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat di pusat grosir tekstil itu, dia memutuskan menjelajahi kawasan lain.
Sukma masih ingat acapkali mendapatkan pengalaman menyebalkan ketika melayani penumpang yang disebutnya “sok-sok gila” sehabis mereka belanja barang. Belanjaannya banyak. Penampilannya meyakinkan. Tapi di tengah jalan, tiba-tiba penumpang minta turun dan menyuruh Sukma menunggu dulu dengan alasan ingin mengambil uang di ATM.
Pada awalnya, dengan pikiran positif, Sukma bersedia menunggu di tepi jalanan yang panas. Tapi lama kelamaan dia tersadar ada yang tidak beres dengan kejadian barusan: kenapa kalau cuma ke ATM semua barang belanjaan harus dibawa semua.
“Eh tahunya dia nggak balik-balik. Kan kalau bayaran Rp30 ribu atau Rp40 ribu sangat berharga buat saya. Eh tahunya nggak bayar, ngabur. Mau nuntut sama siapa, udah ngabur. Sering saya ditipu gitu,” kata Sukma.
Tapi sekarang Sukma sudah lebih hati-hati terhadap berbagai modus pendusta. Dia tahu cara menghindari penumpang yang hendak menipu. Kalau penumpang mendadak minta diturunkan di tengah jalan, misalnya dengan alasan ingin ambil uang di ATM, Sukma akan berkata, “Saya trauma bu, lebih baik ibu bayar dulu.”
Tapi Sukma mengakui dibandingkan yang jahat, masih lebih banyak penumpang berkelakuan baik di Jakarta. Misalnya, mereka sering memberikan uang lebih untuknya, meski Sukma berulangkali berkata, “maaf bu atau pak, ini kelebihan uangnya.”
“Kalau lagi ada yang baik-baik, kalau lagi ada yang jahat ya jahat,” dia menambahkan.
Tak sedikit pula penumpang yang mendukung Sukma menjadi pengemudi bajaj. Sejumlah penumpang perempuan bahkan terinspirasi oleh keuletannya, serta takjub dengan kelihaiannya dalam mengemudikan bajaj.
Mereka berkata ingin sekali bisa seperti Sukma, berani mengemudikan bajaj untuk menyokong keuangan keluarga. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara berlatih dan bagaimana memulainya.
Dari cerita penumpang yang disampaikan kepada Sukma, terungkap banyak dari mereka yang sesungguhnya mendambakan adanya pengemudi bajaj di Jakarta berkelakuan seperti Sukma.
Mereka membanding-bandingkan perilaku Sukma ketika mengemudi dengan perilaku tukang bajaj lelaki. Cara Sukma membawa bajaj mereka bilang “lembut dan pintar,” sementara (sebagian) pengemudi lelaki cenderung suka-suka mereka, misalnya mengerem dengan cara yang kasar sampai ada kepala penumpang membentur besi.
Kepada penumpang yang memujinya, Sukma hanya berkata, “Yang penting mah waktunya ngerem ya ngerem, waktunya kenceng ya kenceng.”
Cerita-cerita positif yang disampaikan penumpang tentu saja memberikan semangat kepada Sukma.
Menciptakan dan menjaga ketertiban lalu lintas di Jakarta bukanlah perkara mudah. Sampai di zaman modern seperti sekarang, masih banyak pengendara, baik roda dua, roda tiga, dan roda empat, berperilaku seenaknya atau melanggar aturan.
Keadaan tersebut tentu saja sangat membahayakan keselamatan pengendara lain yang mencoba untuk tertib di jalan, seperti Sukma.
Suatu hari pernah kejadian di Jalan Pramuka, seorang lelaki pengendara sepeda motor melaju di jalur sepeda dan rodanya menabrak batu. Sepeda motor oleng, lantas menghajar bajaj yang sedang dikemudikan Sukma.
Karena kasihan melihat pengendara motor tersungkur dan berdarah-darah karena kukunya copot, Sukma pun menghentikan bajaj dan turun untuk untuk menolongnya.
“Saya waktu itu sampai buka baju buat nutupin lukanya. Tinggal BH aja di badan,” kata Sukma.
Dengan niat tulus menolong, Sukma mengantarkan pengendara motor tadi ke rumah sakit terdekat agar luka-luka yang dialami segera mendapatkan penanganan dokter.
“Tapi saya kemudian disalahin, disangkanya saya yang nabrak. Saya diem aja. Dia nuntut saya ganti rugi Rp600 ribu, ya saya bayarin, uangnya pinjem dari bos bajaj yang kemudian saya kembalikan dengan menyicil cepek-cepek,” kata Sukma.
Anggota polisi yang merupakan kerabat lelaki pengendara sepeda motor ketika bertemu dengan Sukma, juga mengatakan sebenarnya yang salah adalah pengendara motor karena melewati jalur sepeda. Tapi, si pengendara motor tetap ngotot bahwa Sukma yang salah.
“Kenapa dia minta dibayarin saya, padahal bukan kesalahan saya. Tapi nggak apa-apalah, saya ikhlasin nggak apa-apa. Allah kan nggak tidur,” kata Sukma.
Menolong orang
Pengemudi bajaj seringkali terjebak di tengah demonstrasi massa yang berlangsung di Ibu Kota Negara.
Dia menyebut salah satu demonstrasi yang terjadi pada tahun 2012 di Jakarta Pusat. Demo itu belakangan menjadi gelombang politik yang begitu kuat dan mengubah peta perpolitikan.
Karena tidak bisa kemana-mana karena jalan-jalan diblokir, Sukma menjadi penonton aksi. Suatu hari, ketika terjadi unjuk rasa, Sukma menyaksikan sejumlah orang di luar barisan demonstran memanfaatkan situasi untuk mencari benefit pribadi.
“Saya lihat orang pada nyopotin-nyopotin lampu, malingin besi segala macam. Saya lagi di Tanah Abang waktu itu.”
Di lain waktu, dia pernah terjebak di tengah demonstrasi mahasiswa. Unjuk rasa berlangsung chaos, mahasiswa melemparkan benda-benda keras ke arah aparat dan dibalas dengan tembakan gas air mata untuk memaksa mereka mundur.
Ketika aparat keamanan membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata, Sukma ikut merasakan gas yang membuat matanya terasa sangat pedih. Pengalaman lain yang tak terlupakan, dia menyaksikan sejumlah demonstran jatuh ke jalan dan pingsan.
“Pas hamil waktu itu. Saya bela-belain itu. Saya lihat orang pakai odol. Saya ikut-ikutan pakai odol. Ditembak-tembakin gas air mata. Saya mundur karena disuruh orang. Saya ngelihatin saja demo sampai kelar,” kata dia.
Tetapi, terkadang demonstrasi membawa berkah bagi Sukma. Acapkali dia mendapat makanan gratis yang dibagikan peserta unjuk rasa.
Sudah tak terhitung berapakali Sukma menolong demonstran di akhir unjuk rasa dengan cara mengangkut mereka yang kelelahan.
Dia tidak menolak mereka menjadi penumpang, meski sebenarnya terkadang takut menjadi korban kerusuhan. Sebab banyak kasus kerusuhan terjadi usai aksi massa. Dia juga tidak memasang tarif, semuanya dia serahkan pada kerelaan mereka.
Sukma barangkali menjadi salah satu pengemudi bajaj yang lain daripada yang lain. Dia seringkali mendapatkan penumpang yang tidak cukup uang untuk membayar sesuai tarif normal. Tapi dia berprinsip, selama penumpang bersikap baik, dia tidak akan memaksa mereka untuk membayar semua ongkos.
Pernah suatu ketika seorang nenek menghentikan bajajnya di tengah jalan. Nenek minta diantarkan ke Bendungan Jago, tetapi dia hanya sanggup membayar Rp15 ribu, jauh dari ongkos yang semestinya.
Sukma tidak menolak. Belakangan dia tahu, nenek tersebut seorang pengemis yang biasa mangkal di bawah jembatan penyeberangan ITC.
Sering pula dia menolong penumpang yang sama sekali tidak punya uang.
Berteman dengan siapa saja
Rasa tidak aman merupakan salah satu isu di kalangan pengemudi bajaj di Jakarta.
Tapi Sukma mengaku tidak pernah takut dengan siapapun selama posisinya benar. Selain karena punya bekal beladiri, rasa percaya diri itu terbentuk oleh dorongan menjadi sopir bajaj demi menghidupi anak-anaknya.
“Saya lillahi taala aja. Dulu saya guru taekwondo. Saya bisa lawan orang. Bukannya kita mau nyombong. Saya tidak ada takutnya sama orang. Ya aman-aman aja. Ibaratnya, kalau situ hormati saya, ya saya hormati situ, situ jual saya beli, gitu,” katanya.
Menjadi pengemudi bajaj perempuan kadang-kadang menguntungkan Sukma dalam sejumlah urusan. Misalnya, ketika dia berhadapan dengan para preman, terutama di tempat-tempat biasa dia memarkirkan bajaj.
Mereka tidak pernah bersikap keras kepada Sukma. Sebaliknya, Sukma bersahabat dengan mereka.
“Malah saya yang suka minta duitnya. Bang minta duitnya dong buat beli es. Bukan dia yang minta ke saya. Karena sudah saling kenal,” kata Sukma.
“Kalau di Tanah Abang kan kalau dapat penumpang kita bayar Rp2.000 (ke preman). kalau nggak dapat penumpang saya minta ke dia. Minta goceng ya dikasih. Kan kita kenal bertahun-tahun. Jadi dia nggak berani macam-macam juga sama kita,” Sukma menambahkan.
Sukma seorang perempuan yang bermental kuat. Dia mengaku tidak pernah mau diperas orang di jalanan. Sejak dulu dia memiliki prinsip, “Kalau saya digalakin orang, saya lebih galak. Kalau saya dibaikin, saya lebih baik.”
Sukma juga bersahabat dengan banyak sopir bajaj lelaki. Mereka tidak mengganggu Sukma. Dia juga tidak mau ambil hati ketika beberapa dari mereka tidak mendukungnya membawa bajaj dan mengatakan bahwa perempuan mestinya berada di rumah saja untuk mengurus anak-anak.
“Waktunya gaul ya gaul. Kalau dengan bapak-bapak ya sopan. Kadang-kadang ada sopir bajaj yang iseng. Cewek narik bajaj, laki maunya tidur. Saya diemin aja, bodo amatan,” katanya.
Masalah membelitnya
Siang hari ketika saya bertemu dengan Sukma di depan bengkel ban mobil, dia mengajak seorang anak perempuan kira-kira berusia tiga tahun. Anak inilah hasil dari pernikahannya yang kedua.
Bocah kecil itu baru bangun tidur, kepalanya menyender ke dada ibunya yang tengah berada di ruang kemudi bajaj. Anak perempuan ini selalu diajak Sukma ikut mencari uang di jalanan Jakarta yang panas.
Sukma memulai pekerjaan menjadi pengemudi bajaj beberapa tahun yang lalu. Dia belajar mengendalikan bajaj dari lelaki yang kelak dikemudian hari menjadi suami keduanya.
“Karena memang tuntutan hidup, buat ngasih anak saya, ngasih buat anak-anak dari suami pertama (tiga anak), buat ngasih makan mereka, nyetokin sembako, uang jajan, dan lain-lain,” kata Sukma.
Sukma seorang ibu yang bertanggungjawab. Karena tidak dapat mengandalkan mantan suami untuk mengurus ketiga anak, dia turun tangan ikut mengurus mereka.
Ketika mengatakan hal itu, dia menekankan tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan mantan suami.
Sukma banting tulang mencari nafkah untuk menyokong kebutuhan anak-anaknya.
“Saya harus tetap bantuin ngasih makan mereka, jajan, dan lain-lain. Dua hari sekali saya ketemu anak dari suami pertama, buat ngasih sembako, ngasih uang jajan, gitu.”
“Saya kasihan sekali sama anak-anak saya itu.”
Ketiga anak Sukma dari suami pertama tinggal di Jakarta Utara, sedangkan Sukma sendiri bersama suami baru menetap di sebuah rumah kontrakan yang terletak di Jakarta Pusat.
Faktor jarak fisik dengan ketiga anaknya terkadang membuat dia bersedih. Sebenarnya, Sukma ingin sekali ketiga anak itu tinggal bersamanya di Jakarta Pusat sehingga dia menjadi lebih mudah untuk mengurus mereka.
“Maunya saya, anak-anak saya saya tarik (ikut saya), tapi anak-anak kasihan sama bapaknya, karena akan tinggal sendiri.”
Akhirnya, tiap dua hari atau tiga hari sekali, Sukma pergi menemui ketiga anaknya di Jakarta Utara.
Anak yang pertama putus sekolah di tingkat STM karena ketiadaan biaya. Dia pernah ikut sekolah paket, tetapi tidak dilanjutkan lagi. Kemudian bekerja di MOI sampai kontraknya selesai. Pindah kerja ke MAG Kelapa Gading, tetapi tahun lalu dirumahkan akibat pandemi Covid-19. Saat ini, dia dapat pekerjaan di Kemayoran dengan honor Rp70 ribu sehari.
Sedangkan dua anak yang lain, masing-masing duduk di SD kelas tiga dan lima.
Sukma menangis ketika bercerita tentang kedua putranya yang masih di bangku SD, terutama mengenai proses belajar yang sekarang dilakukan secara online.
Awalnya, mereka tidak memiliki telepon seluler. Padahal benda ini harus ada untuk bisa mengikuti pelajaran secara daring. Sukma harus berusaha keras untuk dapat membelikan ponsel sampai akhirnya terbeli satu unit untuk dipakai berdua. Masalah ternyata tak berhenti sampai di situ.
“Saya tulalit pak. Anak saya juga gitu pak,” katanya. Barangkali maksudnya gagap teknologi sehingga anak-anak Sukma sulit mengikut proses belajar yang dilakukan secara daring.
Guru sekolah sering menyampaikan perkembangan pendidikan anak-anak ke Sukma. Mereka mengeluh. Menurut penilaian guru, kemampuan anak Sukma tergolong rendah.
“Katanya nilainya nggak ada, nilainya kurang,” kata Sukma.
“Saya mau bagaimana bu, saya sudah berusaha mengajari anak. Sekarang terserah ibu saja, gimana. Saya sudah lapang dada. Saya juga nggak ngerti,” kata Sukma menirukan ucapannya kepada guru ketika itu.
Sukma tidak bisa mengandalkan mantan suaminya. Sementara Sukma sendiri tidak bisa benar-benar fokus mengurus mereka.
Sukma benar-benar merasa bersalah. Dia merasa tidak bisa sunguh-sungguh menjadi ibu yang dibutuhkan anak-anaknya, tidak bisa fokus mendidik mereka yang tinggal di Jakarta Utara karena setiap hari harus mengemudikan bajaj, “Saya mesti nyari duit, nyari makan untuk anak-anak.”
Tetapi di dalam hati Sukma, selalu ada doa. Doanya, supaya kedua anaknya yang tinggal di Jakarta Utara berhasil menyelesaikan sekolah dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari orangtua.
“Kasihan dua anak ini. Yang satu gagal (anak pertama), mudah-mudahan yang dua anak ini berhasil.”
Penghasilan turun akibat pandemi
Sebelum mendapatkan suami yang kedua, Sukma numpang tinggal di bengkel bajaj daerah Jakarta Pusat. Di sana, dia tidak perlu membayar sewa tempat, melainkan hanya ikut urunan iuran token listrik.
Di situ pula dia mengenal lelaki yang kemudian menikahinya.
“Saya nikah di situ. Saya dinikahin sama ustaz di situ. Lahiran juga di situ. Sampai orang nggak seneng,” katanya.
Dua tahun lamanya Sukma menetap di bengkel bajaj. Banyak orang rupanya kurang senang karena sudah menikah, tapi masih tinggal di bengkel, mereka pun kemudian mengontrak di Kramatpulo sampai sekarang.
Penghasilan suami kedua dari mengemudikan bajaj dirasa tak mencukupi kebutuhan hidup yang terus bertambah, terutama untuk membantu anak-anak Sukma dari suami pertama. Itu sebabnya, dia tetap menjadi pengemudi bajaj.
“Saya bela-belain, sampai dari bajaj, itu demi perut anak-anak saya.”
Sebelum datang pagebluk, penghasilan pengemudi bajaj seperti yang diceritakan Sukma terbilang besar. Sehari rata-rata bisa mengantongi pendapatan Rp200 ribu sampai Rp500 ribu.
Tapi setelah datang pandemi Covid-19, pendapatan menurun drastis akibat beberapa hal. Misalnya, banyak pelanggan yang dirumahkan oleh perusahaan dan kemudian mereka pulang kampung, banyak pusat-pusat perbelanjaan yang tutup akibat kebijakan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat, belum lagi akibat persaingan ketat dengan layanan ojek online.
“Sekarang mah boro-boro, pagi ketemu pagi belum tentu dapat Rp200 ribu,” kata Sukma.
Ketika saya melakukan wawancara yang kedua, sekitar pukul 21.00 WIB, dia mengaku baru mendapat uang Rp150 ribu.
Uang tersebut belum dipotong untuk biaya sewa bajaj. Biaya sewa bajaj bervariasi, misalnya sistem kalong atau dibawa pulang, biayanya Rp50 ribu. Sedangkan kalau bajaj diantarkan ke bengkel selepas dipakai untuk narik, biayanya Rp40 ribu.
Sukma biasanya menggunakan sistem kalong. Dia membawa pulang bajaj dengan pertimbangan sewaktu-waktu bisa dipakai untuk membawa anaknya ke dokter jika sakit.
Penghasilan masih dipotong untuk diberikan kepada mekanik di bengkel sebesar Rp10 ribu atau istilahnya memberi uang rokok. Uang rokok sudah menjadi semacam kewajiban tak tertulis. Dengan uang rokok, mekanik akan gampang memberikan perhatian kepada kondisi bajaj, misalnya menambah oli atau menambah minyak rem jika kurang.
“Kita nggak enak kalau nggak ngasih rokok. Kita kalau pelit, dia nggak mau nangani bajaj kita. Kita harus royal sama dia,” kata Sukma.
Sukma mengatakan dengan keadaan seperti sekarang, pulang ke rumah, paling-paling hanya bisa membawa uang Rp30 ribu atau Rp50 ribu.
Beberapa waktu yang lalu, bajaj yang biasa dikemudikan Sukma mengalami kerusakan sehingga mogok. Bos bajaj tidak bersedia memperbaikinya dengan alasan keuangan, dia justru menyuruh Sukma untuk membetulkan sendiri, padahal ketika itu Sukma juga sedang tidak pegang uang.
Selama beberapa hari bajaj mogok, Sukma mencari alternatif lain untuk mencari nafkah. Dia terinspirasi dari sejumlah orang. Dia mengamen dengan cara menjadi badut di jalanan. Badut dia sewa seharga Rp30 ribu setiap hari.
“Saya ngondel-ondel. Kalau ngarepin dia (bos), anak saya nggak makan. Ada yang nyaranin ke saya kaki tidak sakit, pakai obat saja. Tapi saya nggak mau pakai gituan,” kata Sukma.
Selama beberapa hari menjadi badut, Sukma tetap membawa putrinya. Tapi Sukma tidak mau berlama-lama membadut karena tidak kuat jalan kaki terlalu lama. Dia tetap cinta pada bajaj. Itu sebabnya, sementara bajaj yang lama ditinggal di bengkel, dia mendapatkan jalan keluar dengan menyewa bajaj yang lain untuk kembali melayani penumpang.
Sukma tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia juga tidak mau semua-muanya bergantung pada suami.
Bawa bajaj sambil mengajak anak
Tidak ada data pasti mengenai jumlah pengemudi bajaj di Jakarta yang mengajak anak-anak kecil ikut mencari uang.
Tapi menurut informasi yang disampaikan Sukma, tidak sedikit pengemudi bajaj lelaki yang mengajak anak atau cucu mereka ke jalan. Sukma meyakini, tujuan mereka membawa anak untuk memunculkan rasa kasihan dari penumpang.
“Dia sengaja bawa anak, kadang gede, kadang kecil. Buat manfaatin biar (penumpang) ngasih uang banyak.”
Sedangkan Sukma mengatakan membawa anak perempuannya sama sekali bukan untuk memanfaatkannya agar orang lain menaruh rasa belas kasihan. “Kalau ada yang momong, saya akan tinggal anak saya untuk cari uang,” kata Sukma.
Anak tersebut kalau sedang tidur akan Sukma tutupi dengan selimut agar tidak menjadi perhatian orang sekitar.
“Saya narik bajaj bawa-bawa anak, bukan kemauan saya, ini memang karena keadaan yang menuntut saya bawa anak.”
Anak perempuan Sukma sudah terbiasa ikut narik bajaj, bahkan semenjak masih dalam kandungan.
“Waktu di kandungan, lehernya pernah kecekik tali puser. Jadi hari itu juga dioperasi sesar. Makanya sampai sekarang dia tahu diri. Dia diajak ngebajaj dia tahu. Dia nggak rewel. Sampai ada penumpang saya yang bilang anak saya pinter ya, nggak rewel.”
“Kalau dia rewel, saya gendong sembari nyetir. Kalau nggak bisa ditangani, saya tetekin sambil berhenti dulu.”
Di tengah pandemi Covid-19, sebenarnya Sukma memiliki kekhawatiran akan terpapar virus. Tiap hari dia bertemu dengan penumpang yang kadangkala tidak menerapkan protokol kesehatan. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain tetap bekerja melayani mereka.
“Niat saya baik, bismillah. Saya lillahi taala saja. Abis gimana.”
Untuk mencegah tertular Covid-19, Sukma biasanya selalu menutupi hidung anaknya dengan kain. Tapi itu bukan pekerjaan mudah karena setiap kali anak bangun tidur, dia pasti menarik dan melepaskan kain.
Masker yang dipakai Sukma pun sering putus karena ditarik-tarik anaknya yang takut ibunya memakai masker.
Tapi dia bersyukur sekali sampai tahun kedua pandemi Covid-19, dia dan anaknya tidak pernah tertular virus.
Hanya saja sampai sekarang, Sukma tidak berani ikut vaksinasi karena menurut informasi yang dulu dia dapatkan dari orang sekitar, ibu menyusui tidak boleh divaksinasi karena bisa mempengaruhi perkembangan anak. Tapi kabar terbaru dari Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, vaksin Covid-19 sudah bisa diberikan kepada ibu hamil dan ibu menyusui.
“Saya sih mau saja divaksin. Kenapa belum mau vaksin, saya takut anak saya kena efeknya. Kata orang begitu. Jadi saya tidak berani maksain, kemarin RT nyuruh sampai ngasih beras supaya mau vaksin. Saya bilang karena takut anak saya kenapa-kenapa,” kata dia.
Suami kedua sebenarnya sudah melarang anak dibawa-bawa ke jalanan. Tapi yang menjadi masalah, anak tersebut selalu menangis kalau Sukma pergi.
Sementara kalau Sukma hanya di rumah saja untuk menjaga anak, dia akan merasa berdosa kepada anak-anak, terutama anak dari hasil perkawinan pertama yang masih membutuhkan banyak sokongan dana.
“Saya kan punya tanggungan, punya utang sama orang. Kalau kita ngandelin satu orang nggak cukup, nggak dapat.”
“Saya kalau sehari nggak nyari duit, tidak bisa apa-apa. Saya bersyukur, Allah ngasih saya tangan, kaki, dan kesehatan.”
Itulah sebabnya, dia dengan tetap hati mengemudikan si roda tiga bersaing dengan berbagai alat transportasi berbasis aplikasi online yang menjamur di Ibu Kota. Dan Sukma meyakini, pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakoni lelaki, pasti bisa dikerjakan perempuan.