Teliti Akses Kesehatan di 6 Daerah, Ini Masukan INFID untuk Pemerintah

Jum'at, 13 Agustus 2021 | 21:12 WIB
Teliti Akses Kesehatan di 6 Daerah, Ini Masukan INFID untuk Pemerintah
Ilustrasi covid-19. (Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Merujuk penelitian yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, masih banyak warga yang memperoleh informasi fasilitas kesehatan bukan dari situs resmi milik pemerintah.

Selain itu, penelitian yang menyasar 540 responden perempuan di enam wilayah ini juga menunjukkan bahwa informasi layanan kesehatan untuk perempuan tidak banyak diketahui warga.

Bahkan, ditemukan banyaknya masyarakat yang enggan megadu soal buruknya fasilitas kesehatan dan rendahnya minat akan testing Covid-19.

Adapun penelitian ini dilakukan di Semarang, Padang, Malang, Surabaya, Makassar, dan Kabupaten Tangerang. Penelitian dilakukan pada April 2021 lalu.

Baca Juga: Pemkab Situbondo Percepat Vaksinasi Bagi Ibu Hamil, Ini Alasannya

Senior Program Officer SDGs INFID, Bona Tua merekomendasikan agar enam pemerintah daerah yang menjadi lokasi penelitian untuk menguatkan sistem kesehatan daerah.

Misalnya, melalui layanan telemedicine untuk puskesmas, memastikan pencairan bulanan tunjangan tenaga kesehatan.

"Hingga melakukan penambahan nakes, dan alokasi dana 10 persen dari APBD untuk sektor kesehatan," kata Bona, Jumat (13/8/2021).

Selanjutnya, INFID juga merekomendasikan agar layanan kesehatan bagi perempuan di daerah untuk ditingkatkan. Misalnya dengan cara yang lebih mudah dan masif.

"Seperti konsultasi secara virtual dengan bidan atau nakes," sambung Bona.

Baca Juga: Zareen Khan Curhat Tak Fokus Kerja Sejak Ibu Terpapar Covid-19

Bona menambahkan, pihaknya juga mendorong agar terciptanya mekanisme pengaduan layanan kesehatan yang mudah, serta menghadirkan tindak lanjut laporan yang disertai dengan sistem perlindungan bagi pelapor.

Selain itu, INFID juga mengusulkan bagi pemerintah pusat dan Kementerian Kesehatan untuk menguatkan sistem kesehatan nasional. Misalnya rekrutmen 100 sampai 200 ribu tenaga selama tiga tahun ke depan secara nasional.

Tak hanya itu, aokasi dana tambahan 1 sampai 1.5 persen PDB untuk sektor kesehatan, penambahan tempat tidur dan alat kesehatan juga perlu untuk dilakukan.

Dalam hal ini, INFID juga mendorong agar penguatan kapasitas Kementerian Kesehatan melalui sistem akuntabilitas dan transparansi.

Tak hanya itu, memastikan kecepatan pencairan tunjangan tenaga kesehatan dan memastikan percepatan obat dan vaksin di luar Jawa. 

"Ketiga, akses testing menjadi kunci penanganan COVID-19. Pada tingkat minimum hal ini bisa dilakukan dengan penambahan infrastruktur dan tenaga testing," beber Bona.

Pada tingkatan maksimum, INFID juga meminta agar ada subsidi untuk biaya testing bagi masyarakat -- jika perlu dibebaskan. Bahkan, rencana standar satu kelas rawat inap BPJS Kesehatan hendaknya menggunakan standar kelas satu, 

"Sesuai dengan mayoritas keinginan responden di enam daerah," imbuh Bona.

Ihwal Survei

Dari total 540 responden perempuan, kata Alfindra, lebih banyak yang pernah mengurungkan niat untuk melakukan pengaduan dibandingkan responden yang melanjutkan melakukan pengaduan.

Sebab, mereka merasa pengaduan tidak berguna hingga takut dipermasalahkan oleh pihak yang menyelenggarakan fasilitas kesehatan.

"Hal ini menunjukkan penting untuk dilakukan peningkatan pengetahuan akan hak warga dalam mendapatkan layanan kesehatan yang layak, dan teknik proseduralnya," jelas Peneliti Lembaga Demografi FEB UI, Alfindra Primaldhi.

Menurut Alfindra, rasa aman juga sangat diperlukan agar warga bisa mengadu soal fasilitas kesehatan di era pandemi Covid-19 tersebut.

Alfindra mengatakan, hasil penelitian pun menunjukkan jika warga sejauh ini mendapatkan informasi akses dan layanan kesehatan tidak dari sumber resmi pemerintah.

Dalam konteks ini, para responden mendapat sumber informasi melalui warga sekitar dan sosial media.

"Walaupun mayoritas responden mengetahui status ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di daerahnya, sumber informasi utama mereka adalah dari warga sekitar, atau melalui saluran komunikasi informal seperti sosial media," jelasnya.

Dengan demikian, hal itu menunjukkan jika sosialisasi informasi layanan dan fasilitas kesehatan melalui kanal formal pemerintah belum berjalan maksimal. Selain itu, terdapat kendala dalam penyampaiannya.

Penelitian itu juga menemukan fakta jika informasi layanan kesehatan untuk perempuan tidak banyak diketahui warga. Alfindra menyebut, masih banyak responden yang tidak mendapatkan informasi terkait layanan kesehatan khusus perempuan di daerahnya. 

"Mayoritas responden tidak tahu apakah fasilitas kesehatan di daerah mereka memberikan layanan kesehatan preventif maupun kuratif khusus perempuan atau tidak," beber dia.

Alfindra melanjutkan, masih banyak pula responden yang melaporkan tidak adanya layanan kesehatan khusus perempuan di daerahnya. Sebab, partisipasi warga dalam kegiatan sosialisasi pengarusutamaan layanan kesehatan untuk perempuan masih rendah.

"Maka sosialisasi pengarusutamaan layanan kesehatan pada perempuan di fasilitas kesehatan perlu ditingkatkan, serta untuk memotivasi warga untuk bepartisipasi dalam kegiatan sosialisasi tersebut," imbuh Alfindra.

Hasil penelitian juga menunjukan jika mayoritas responden mengaku tidak melakukan testing selama wabah berlangsung. Adapun sejumlah alasan mengapa para responden di enam lokasi tersebut ogah melakukan testing selama pandemi Covid-19 berlangsung. Misalnya, tidak pernah merasakan gejala klins,ketersediaan lokasi tes, hingga terbentur biaya.

"Hal ini diperkuat dengan alasan mengaku tidak pernah merasakan gejala klinis atau merasa terpapar Covid-19. Indikasi lainnya bisa disebabkan akses testing, yakni ketersediaan lokasi dan biaya," jelas Alfindra.

Disebutkan Alfindra jika mayoritas masyarakat biasa menggunakan metode rapid tes yang notabennya murah. Padahal, tingkat akurasi pemeriksaan menggunakan metode tersebut di bawah 20 persen alias paling rendah.

"Padahal diketahui bahwa meskipun harganya paling terjangkau, namun rapid test antibodi merupakan pemeriksaan dengan tingkat akurasi paling rendah, yaitu di bawah 20 persen," imbuh dia.

Diketahui, penelitian ini menyasar sebanyak 540 responden dan dibagi 90 responden di setiap lokasi penelitian. Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara tatap muka dan berlangsung pada April 2021 lalu.

Dalam hal ini, para responden adalah perempuan berusia 30 sampai 49 tahun. Kebanyakan, para responden adalah ibu rumah tangga yang tidak mempunyai penghasilan sendiri. Sedangkan, responden yang memiliki penghasilan sendiri, angkanya berkisar antara Rp. 1 juta hingga Rp. 2,5 juta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI