Suara.com - Kelompok fundamentalis garis keras Taliban, berhasil mengambilaih kota penting di Afganistan, yakni Ghazni.
Ghazni adalah ibu kota provinsi kesepuluh yang jatuh ke tangan kelompok teroris tersebut dalam kurang dari satu pekan terakhir.
Ghazni terletak di jalan utama Kabul-Kandahar, yang menghubungkan markas-markas Taliban di selatan ibu kota Kabul.
Dengan mengambil alih Ghazni dapat meningkatkan peluang Taliban menguasasi Kabul.
Baca Juga: Gedor Setiap Pintu, Taliban Kumpulkan Gadis Belia untuk Dijadikan Budak Seks
Hampir sepertiga negara dari 34 provinsi telah berada di bawah kekuasaan Taliban.
Dengan banyaknya wilayah di utara negeri itu telah jatuh ke tangan Taliban, ribuan warga meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat aman di Ibu Kota Kabul.
Ketika sampai di sana, banyak dari para pengungsi ini berakhir di gudang-gudang kosong atau di jalanan. Mereka harus berjuang untuk mendapatkan makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya seperti obat-obatan dan barang-barang sanitasi.
Namun mereka merasa tidak punya banyak pilihan — pilihan mereka hanyalah hidup serba susah di Kabul, atau kemungkinan tewas di kampung halaman.
Sekarang, ribuan orang telah berkumpul di tempat-tempat penampungan darurat di pinggiran kota.
Baca Juga: Pemerintah Afghanistan di Ambang Runtuh, Taliban Bisa Rebut Ibu Kota Kabul Dalam 90 Hari
Asadullah, seorang pedagang kaki lima berusia 35 tahun dari provinsi Kunduz, tiba di ibu kota bersama istri dan dua anak perempuannya awal pekan ini setelah Taliban membakar rumahnya.
"Saya bekerja di jalanan, berjualan makanan dan rempah-rempah ... tapi ketika Taliban menyerang kami pergi ke Kabul," katanya kepada BBC.
"Sekarang kami tidak punya uang untuk membeli roti, atau membeli obat-obatan untuk anak saya."
Asadullah dan keluarga mudanya menghabiskan malam-malam mereka di jalanan.
"Seluruh rumah dan barang-barang kami terbakar, jadi kami pergi ke Kabul dan berdoa kepada Allah untuk menolong kami. Roket dan mortar menghantam rumah kami ... ada pertempuran hebat dalam tujuh hari terakhir, kami tidak punya roti untuk dimakan dan semua toko roti, toko, dan pasar tutup."
Seorang perempuan yang tidak menyebutkan namanya berkata kepada BBC bahwa dia mengungsi dari rumahnya di kota Pul-e-Khumri di utara bersama suami dan anak-anaknya. Sang suami, katanya, terluka dalam perang.
"Dulu kami hidup enak, tapi karena ledakan bom rumah kami hancur dan kami datang ke sini," katanya. "Kami meninggalkan rumah kami hanya dengan selembar pakaian dan tanpa uang."
Organisasi-organisasi kemanusiaan telah memperingatkan bahwa jumlah pengungsi internal di Afghanistan akan meningkat sejak pasukan yang dipimpin AS mulai ditarik dari negara itu pada awal tahun ini, setelah operasi militer selama 20 tahun.
Operasi itu dimulai pada tahun 2001 menyusul serangan 11 September di Amerika Serikat. Sekarang, sebagian besar pasukan asing sudah angkat kaki dari Afghanistan.
Sejak itu, bentrokan antara Taliban dan pasukan pemerintah meningkat. Taliban telah merebut setidaknya delapan dari 34 ibu kota provinsi negara itu, dan mengancam akan merebut lebih banyak lagi.
Beberapa pejabat AS yang tidak disebutkan namanya juga dikutip surat kabar Washington Post mengatakan bahwa bahkan Kabul bisa jatuh ke tangan Taliban dalam 90 hari ke depan, berdasarkan asesmen militer AS.
Situasi ini menyebabkan semakin banyak orang mengungsi ke ibu kota. Pada bulan Juli, PBB memperingatkan bahwa terdapat tambahan 270.000 orang pengungsi di Afghanistan setelah pasukan asing mulai pergi — jumlah ini diperkirakan meningkat tajam hanya dalam beberapa hari terakhir.
Di tengah semua ini lebih dari 1.000 warga sipil telah tewas, menurut PBB.
Beberapa LSM mengatakan bahwa pengungsian massal ini terutama akan sangat berdampak pada perempuan dan anak-anak.
"Kami melihat banyak peningkatan pelaporan seputar kebutuhan perlindungan kesehatan, kekerasan berbasis gender, eksploitasi seksual, serta pelecehan dan perdagangan manusia," kata Jared Rowell, Direktur Dewan Pengungsi Denmark di Afghanistan, kepada BBC.
"Pernikahan dini juga akan menjadi masalah yang lebih besar karena anak-anak perempuan dan gadis dijual demi mendapatkan uang tunai untuk menghidupi keluarga mereka. Masalah seperti itu, yang selalu ada, akan menjadi semakin parah."
Selain makanan, tempat tinggal, serta barang-barang kesehatan dan sanitasi, kata Rowell, para pengungsi di Kabul sangat membutuhkan uang tunai.
"Sangat penting orang-orang memiliki akses ke uang tunai," katanya. "Artinya lembaga seperti DRC dapat memberi mereka distribusi uang tunai yang bisa mereka gunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan sebaik-baiknya.
"Uang tunai juga sangat penting pada saat seperti ini, terutama ketika mereka pindah ke kota besar seperti Kabul dengan harga pangan yang tinggi dan pasar dengan harga yang naik-turun karena situasi yang tidak stabil."
Bagi Asadullah, harapan terbesarnya saat ini adalah supaya keluarganya suatu hari nanti dapat kembali ke kehidupan normal mereka di Kunduz.
"Kami ingin kembali dan melanjutkan hidup di sana," katanya. "Kami berharap suatu hari perdamaian akan datang ke Afghanistan, dan negara kami akan bebas."