Sertifikat Vaksin Syarat Akses Fasilitas Publik, Wujud Ketidakadilan Sosial

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Rabu, 11 Agustus 2021 | 14:00 WIB
Sertifikat Vaksin Syarat Akses Fasilitas Publik, Wujud Ketidakadilan Sosial
Ilustrasi sertifikat vaksin. [Ist]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sertifikat vaksin covid-19 yang ada di Indonesia, kekinian menjelma bak 'kartu sakti' karena dijadikan persyaratan bagi warga untuk mengakses layanan publik seperti transportasi umum hingga mal alias pusat perbelanjaan.

Tapi, epidemiolog menilai kebijakan pemerintah tersebut adalah bentuk nyata ketidakadilan sosial karena tak berpihak kepada mereka yang tak dapat divaksinasi lantaran penyakit penyerta alias komorbid maupun kehabisan stok vaksin.

LaporCovid 19 misalnya, meminta pemerintah berfokus menyediakan stok vaksin covid-19 dan mendistribusikan secara tepat serta cepat ke daerah-daerah, alih-alih menggembar-gemborkan kartu vaksin.

Pemerintah pusat mengklaim, kebijakan ini telah mengakomodir berbagai masukan dari banyak pihak dan pakar, dan mereka yang memiliki komorbid tetap dapat beraktivitas dengan melampirkan surat keterangan dokter.

Baca Juga: Sertifikat Vaksin COVID-19 Belum Jadi Syarat Aktivitas bagi Warga Depok

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kartu vaksin akan menjadi syarat bagi masyarakat untuk dapat mengakses tempat umum.

Kebijakan kartu vaksin itu diujicobakan mulai 10 hingga 16 Agustus 2021 di empat kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Kota Bandung, Surabaya, dan Semarang.

Penderita penyakit penyerta, 'semakin sulit ketemu orang tua'

Endang Isnanik yang tinggal di Bali termasuk yang belum divaksinasi karena mengidap penyakit penyerta autoimun radang sendi rheumatoid arthritis.

"Kalau boleh, saya mau divaksin, tapi dilarang pemerintah karena penyakit bawaan saya dan efek buruk yang ditimbulkan," kata Endang saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (10/9/2021).

Dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, terdapat 15 kondisi orang tidak menerima vaksin.

Baca Juga: Mall di Kota Semarang Sudah Buka, Pengunjung Wajib Tunjukan Sertifikat Vaksin atau PCR

Di antaranya adalah menderita penyakit jantung, autoimun sistemik, penyakit ginjal kronis, saluran pencernaan kronis, kanker dan lainnya.

Endang pun tidak memiliki kartu vaksin, padahal pemerintah tengah menyiapkan sertifikat itu sebagai syarat untuk mengakses layanan publik.

"Saya dengar penyeberangan dari Bali ke Banyuwangi mewajibkan kartu vaksin. Saya sedih dan tidak setuju dengan itu karena akan menghalangi saya bertemu orang tua dan keluarga di Jawa.

"Terus untuk ketemu keluarga, dengan cara apa? Saya bingung kalau begini, jadi agak menyusahkan," kata Endang.

Semenjak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Endang belum pernah lagi bertemu ibunya yang kini berusia lebih 70 tahun.

Kartu vaksin 'terlalu memaksakan'

Kebijakan itu juga mendapatkan penolakan dari warga Kota Bandung, Jawa Barat, Vinnie Nuryasari yang tidak kunjung mendapatkan vaksin.

"Kalau kayak ke mal terlalu (memaksakan) sih kalau harus ada kartu vaksin," tutur perempuan 34 tahun ini kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan kepada BBC News Indonesia di Bandung, Selasa (10/08).

Vinnie juga merasa keberatan dengan kebijakan tersebut karena menghambat aktivitas dia yang sering bepergian ke luar kota.

"Memaksa semua orang agar divaksin supaya punya kartunya, tapi untuk dapat vaksin sulit sekali," ungkap Vinnie.

Vinnie sempat berencana mengikuti vaksinasi yang digelar puskesmas setempat, tapi peserta membludak, bahkan sempat terjadi keributan.

Ia pun mengurungkan niatnya dan mulai mencari tempat vaksinasi di luar tempat tinggalnya.

Kartu vaksin seperti "angin segar"

Pusat perbelanjaan, Trans Studio Mall (TSM) Bandung, Jawa Barat menyambut baik penerapan kartu vaksin sebagai akses masuk pengunjuk ke mal, setelah sebulan lebih tutup.

Kebijakan itu diharapkan bisa kembali memutar roda ekonomi para pengusaha mal.

"Ini angin segar sekali, (kami) menyambut baik," ujar Putri Pratiwi, Marketing Communication TSM Bandung.

Sejak diberlakukannya PPKM pada 3 Juli 2021, Putri menyebutkan, pendapatan TSM Bandung secara keseluruhan turun drastis. Pasalnya, hanya tenant tertentu yang buka.

Di Kota Bandung sendiri terdapat 23 mal yang akan menerapkan kebijakan itu.

Kebijakan tersebut telah diterapkan di Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 966 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 Covid-19 yang disahkan pada 3 Agustus 2021 di mana setiap orang yang akan melakukan aktivitas di tempat publik harus sudah divaksinasi minimal dosis pertama.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan kebijakan itu tidak adil dan belum akan melaksanakannya.

Epidemiolog: kartu 'sakti' vaksin bentuk ketidakadilan sosial

Epidemiolog yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra tidak setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut dan menyebut kartu vaksin akan menimbulkan ketidakadilan sosial di masyarakat.

"Ada dua kondisi sekarang, yaitu sekelompok orang yang tidak bisa mengakses vaksin karena komorbid dan kelompok lain yang tidak divaksin karena stok tidak tersedia," kata Hermawan.

"Dan mereka tidak divaksinasi bukan karena tidak mau, sementara kartu itu jadi persyaratan, menjadi kartu sakti dalam mengakses layanan publik, itu kan ketidakadilan namanya," ujarnya.

Faktor lain mengapa ia menolak rencana itu adalah karena efikasi vaksin hanya sekitar 50 persen dan juga jumlah masyarakat yang mendapatkan vaksin masih rendah.

Hingga Senin kemarin (09/08), menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah masyarakat yang sudah divaksinasi dosis kedua baru 11,63 persen atau 24.212.024 orang dari target 208 juta orang yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19.

Sementara jumlah masyarakat yang disuntik vaksin Covid-19 dosis pertama yakni sebanyak 50.630.315 orang atau 24,31 persen.

Dari 20 juta orang itu, kata Hermawan, hanya sekitar 10 juta yang memberikan respon imunitas.

"Itu kan sama dengan tidak ada gunanya. Kalau belum ada stok vaksin yang cukup dan tidak mampu melakukan vaksin secara besar, ya jangan dijadikan persyaratan. Lebih baik melaksanakan protokol kesehatan yang tegas dan melakukan vaksin 100 persen jika ingin relaksasi aktivitas masyarakat, tidak perlu kartu vaksin," kata Hermawan.

Senada dengan itu, tim advokasi dari LaporCovid-19, Agus Sarwono meminta pemerintah untuk menarik rencana tersebut.

"Jangan pemerintah menggembar-gemborkan kartu vaksin dapat digunakan untuk akses layanan publik, seperti ke mal dan sebagainya. Tapi yang prioritas dilupakan, yaitu memastikan stok vaksin tersedia, dan distribusi hingga ke pelosok-pelosok terkecil. Kasihan kan masyarakat," kata Agus.

Dalam berita BBC News Indonesia sebelumnya, beberapa daerah saat ini mengeluhkan kekurangan stok vaksin dari pusat, di antaranya di Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

Hingga Jumat lalu (06/08), Indonesia telah mendatangkan sekitar 180 juta dosis vaksin. Lebih dari setengahnya telah terdistribusi ke daerah dan sisanya dalam proses pengolahan.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pada Senin (02/08) mengatakan, stok vaksin akan bertambah sebesar 331 juta hingga Desember mendatang.

Kartu vaksin, proses relaksasi bertahap

Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan kebijakan wajib vaksinasi untuk pengunjung pusat perbelanjaan dan fasilitas publik lainnya telah mengakomodasi berbagai masukan dari banyak pihak dan pakar.

"Dan hal ini juga menjadi masukan tanpa menutup mata dari kondisi yang ada di lapangan … Pada prinsipnya pemerintah mengambil kebijakan dengan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan masyarakat," kata Wiku.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan rencana penggunaan kartu vaksin sebagai syarat aktivitas di ruang publik adalah bagian dari pembukaan secara bertahap di daerah yang masih melaksanakan PPKM level 4.

"Jadi memang tujuannya adalah untuk melindungi warga terhadap risiko penularan," ujarnya.

Nadia juga menegaskan, warga yang memiliki komorbid dan tidak bisa divaksin masih bisa melakukan aktivitas di ruang publik hingga menggunakan transportasi umum.

"Tentunya kendalikan penyakit penyertanya sehingga bisa diberikan vaksin tapi kalau memang tidak bisa sementara ini mendapatkan vaksin, bisa mendapatkan surat keterangan dari dokter yang merawatnya," ujar Nadia.

Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Jawa Barat Arifin Soedjayana mengatakan bagi warga yang tidak bisa divaksin karena alasan kesehatan dan belum cukup umur, bisa menunjukkan hasil tes antigen atau PCR jika hendak masuk ke mal atau fasilitas publik lainnya.

"Di (panduan) situ ada poin bahwa kalau yang tidak bisa divaksin atau belum divaksin, mereka bisa antigen dengan jangka waktu 1x24 jam atau PCR 2x24 jam," ujar Arifin sambil menegaskan tes Covid-19 harus di laboratorium yang terdaftar di pedulilindungi.id.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI