Suara.com - Anggota DPR Fraksi PKS Mardani Ali Sera menyatakan, etika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertaruhkan seiring keberadaan Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas.
Menurut Mardani, KPK tidak ada habisnya membuat kebijakan kontroversi, setelah sebelumnya berpolemik menyoal tes wawasan kebangsaan (TWK). Sementara, terkait peraturan perjalanan dinas, Mardani menilai aturan tersebut tanpa mempedulikan sejarah pembentukan KPK.
"Aturan yang seolah-olah dibuat tanpa mempedulikan aspirasi sejarah pembentukan KPK. Aturan yang ketat terhadap jajaran KPK termasuk perjalanan dinas, merupakan upaya untuk menjaga integritas dan independensi lembaga ini. Etika KPK dipertaruhkan," kata Mardani kepada wartawan, Selasa (10/8/2021).
Dia mengatakan, aturan perjalanan dinas berpotensi ditafsirkan secara luas oleh jajaran KPK. Apalagi dalam aturan itu kata Maradani sampai pengundang dari pihak swasta untuk mendapatkan atau memberikan fasilitas-fasilitas tidak wajar.
Baca Juga: Potensi Korupsi di KPK Diungkap Mantan Jubir KPK
"Menabrak nilai-nilai integritas dari kode etik dan perilaku KPK. Karena prinsip penting integritas dari kode etik dan perilaku adalah dengan tidak menerima honorarium atau imbalan dalam bentuk apa pun dari pihak lain," ujarnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai perubahan peraturan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang perjalanan dinas insan KPK yang dibiayai penyelenggara semakin mendegradasi nilai-nilai integritas yang selama ini dibangun.
"Dengan keluarnya Perpim-KPK ini juga kian menambah daftar panjang regulasi internal kelembagaan yang penuh dengan kontroversi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Senin (9/8/2021).
Kurnia menyebut peraturan pimpinan KPK nomor 6 tahun 2021 tentang perjalanan dinas ini sangat membuka peluang terjadinya praktik gratifikasi dan juga berpotensi konflik kepentingan.
"Betapa tidak, pihak yang menjadi pengundang KPK nantinya dapat menyajikan berbagai fasilitas, mulai dari penerbangan atau penginapan mewah tanpa ada pengecualian apa pun," ujar Kurnia.
Baca Juga: Usai Pemeriksaan, KPK Meninggalkan Lokasi dengan Membawa Dua Koper Hitam
ICW pun mempertanyakan keterangan dari Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri. Ia, menyebutkan bahwa perjalanan dinas yang dibiayai oleh pihak lain tidak berlaku bagi pegawai bidang penindakan dan untuk pengundang dari pihak swasta.
Namun, kata Kurnia, setelah dicermati lebih lanjut, pengecualian-pengecualian yang disampaikan oleh Ali Fikri tidak tertuang dalam Perpim-KPK 6/2021.
"Jadi, bagi ICW aturan ini dapat dengan mudah ditafsirkan luas oleh pegawai, Dewan Pengawas ataupun pimpinan KPK serta pihak pengundang dari kalangan swasta untuk memperoleh dan memberikan fasilitas-fasilitas tidak wajar," tuturnya.
"Hal semacam ini memang tidak bisa dihindari akan terjadi selama Pimpinan KPK masih diisi oleh orang-orang bermasalah," Kurnia menambahkan.
Apalagi, kata Kurnia, berkaitan dengan unsur ekonomi, pimpinan KPK yang dikomandoi Firli Bahuri, sedari awal terlihat sangat tidak memiliki integritas.
Seperti contoh, sebelum isu perjalanan dinas, terdapat wacana kenaikan gaji Pimpinan dan pembelian mobil dinas mewah di tengah masa pandemi Covid-19.
"Maka dari itu, melihat situasi terkini, masyarakat sebaiknya menurunkan ekspektasi dan tidak lagi menaruh harapan lebih kepada KPK," tutur Kurnia.
Bantah Gratifikasi
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan dalam aturan baru di Perkom nomor 6 tahun 2021, bahwa setiap kegiatan dinas KPK dapat ditanggung oleh panitia penyelenggara acara. Ali pun menyebut hal itu tidak dapat dikatakan sebagai penerimaan gratifikasi.
"Dalam Perpim dimaksud, disebutkan antara lain perjalanan dinas dalam rangka untuk mengikuti rapat, seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara," ucap Ali dikonfirmasi, Senin.
"Biaya perjalanan dinas merupakan biaya operasional kegiatan bukan gratifikasi apalagi suap," tambah Ali.
Dalam aturan itu pun, kata Ali, biaya operasional perjalanan dinas ini terkait dengan kegiatan dalam ruang lingkup Kementerian maupun lembaga negara. Dia menegaskan aturan itu tak berlaku bagi pegawai KPK dengan pihak swasta.
"Peraturan ini tidak berlaku untuk kerjasama dengan pihak swasta," katanya.