Dibutuhkan Tekanan Publik untuk Pengembalian Wilayah Adat ke Masyarakat

Siswanto Suara.Com
Selasa, 10 Agustus 2021 | 11:19 WIB
Dibutuhkan Tekanan Publik untuk Pengembalian Wilayah Adat ke Masyarakat
Ilustrasi masyarakat Dayak Meratus menyiapkan sajian saat aruh (ritual) Bawanang (pesta panen padi) di Balai Adat Dusun Bayawana, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Sabtu (17/7/2021) malam. [antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dibutuhkan tekanan publik dalam usaha memperjuangkan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat, kata Deputi II Sekretaris Jenderal Bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara  Erasmus Cahyadi, hari ini.

"Ini bukan persoalan administrasi semata, ini persoalan ekonomi politik yang sangat memerlukan tekanan publik yang kuat," kata Erasmus di Jakarta.

Dia mencontohkan keberhasilan tekanan publik terjadi saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan dan mengembalikan wilayah masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, di awal tahun 2021 yang semula bersinggungan dengan konsesi PT. Toba Pulp Lestari.

Dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada tanggal 9 Agustus kemarin, Erasmus menyoroti pengembalian wilayah adat baik melalui nomenklatur, skema, maupun regulasi saat ini.

Baca Juga: Masyarakat Adat Terancam, Virus Covid-19 Mulai Masuk ke Pedalaman Akibat Investasi

Ia menilai pengembalian wilayah adat bukan prosedur yang mudah bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Hal itu, kata dia, terdapat ketentuan dari pemerintah yang meminta usulan wilayah adat harus memenuhi prinsip clean and clear atau tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan dan izin.

Prinsip clear menurutnya masih memungkinkan untuk dipenuhi melalui peraturan daerah  di tingkat Kabupaten.

Akan tetapi, prinsip clean yang terkait dengan penguasaan pihak ketiga, yakni izin kepemilikan oleh perusahaan atau kepemilikan pemerintah, seperti hutan konservasi, membuat upaya memperjuangkan wilayah masyarakat adat kerap menemui hambatan.

"Secara normatif dikatakan bahwa jika ada penguasaan pihak ketiga di atas wilayah tersebut, maka harus ada negosiasi dengan pemegang izin baru bisa dikembalikan ke penguasaan negara sebelum ditetapkan sebagai hutan adat," ujarnya.

Baca Juga: Pangdam Ancam Bubarkan FPI, Kodam Jaya Dipenuhi Bunga Ucapan Terimakasih

Selain itu, AMAN juga masih berada dalam posisi yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah mengenai Perhutanan Sosial.

Menurut Erasmus, ide kebijakan Perhutanan Sosial dibangun di atas asumsi bahwa wilayah hutan adat dikuasai oleh Negara.

Sementara itu, ide hutan adat merupakan pengakuan dan pengembalian dari penguasaan negara atas hutan yang sudah dimiliki masyarakat adat secara turun-temurun, bukan hak yang diberikan oleh Negara.

"Jadi beda, Perhutanan Sosial tergolong izin, sementara hutan adat adalah pengakuan hak masyarakat adat," katanya.

Bagi AMAN, kebijakan Perhutanan Sosial justru tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat yang secara sederhana ingin menyampaikan bahwa penguasaan negara atas hutan di wilayah adat bertentangan dengan konstitusi.

"Karena bertentangan, harus dikembalikan, jadi bukan diberikan oleh Negara," kata Erasmus. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI