Suara.com - Nasib pengungsi asing di Indonesia semakin tak keruan di tengah pandemi covid-19. Bahkan, mereka mengakui tidak mendapat vaksin kala wabah.
Epidemiolog dan ahli kesehatan masyarakat mendesak pemerintah membuat langkah antisipatif pencegahan covid-19 di antara kelompok pengungsi.
Sebab, risiko keterpaparan mereka juga sama dengan warga Indonesia. Kalau terus diabaikan, maka berpotensi membahayakan.
Sementara Kementerian Kesehatan mengaku belum bisa memprioritaskan vaksinasi untuk pengungsi sebab masih fokus memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia.
Baca Juga: Gara-Gara Hoaks, Penyandang Disabilitas di Sleman Takut Vaksinasi Covid-19
Data Kementerian Luar Negeri per Maret 2021 mencatat ada lebih 13 ribu pengungsi luar negeri tersebar di beberapa wilayah Indonesia.
Harapan salah seorang pengungsi luar negeri di Indonesia untuk mendapatkan suntikan vaksinasi Covid-19, pupus.
Hari itu di salah satu rumah sakit di Cisarua, Bogor, Jawa Barat sedang berlangsung vaksinasi virus corona.
Menyaksikan warga berbondong menjalani vaksinasi, pengungsi yang meminta namanya tak disebut itu pun ikut serta.
Berbekal kartu identitas pengungsi, ia mendatangi layanan vaksinasi yang terletak di dekat pasar.
Baca Juga: Epidemiolog Sebut Kapasitas Testing Belum Terpenuhi Selama PPKM Sebulan Terakhir
"Tetapi ketika saya menunjukkan kartu saya ke mereka, mereka menolak saya dan mengatakan bahwa vaksin itu hanya untuk orang Indonesia, bukan orang asing," kata pengungsi tersebut kepada wartawan JN Joniad yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Tak hanya ditolak vaksinasi, menurut dia, kelompok pengungsi juga dikecualikan dari pelayanan medis oleh pemerintah Indonesia.
Pengakuan lain diceritakan seorang pengungsi dari Afghanistan, Javet Ali. Laki-laki usia 24 tahun ini terinfeksi Covid-19 pada 22 Juni lalu, tapi terpaksa mengurus semuanya sendiri.
"Saya menderita bukan hanya karena corona, tapi juga karena tidak ada obat [tersedia] untuk saya," ungkap dia.
"Saya juga tidak punya cukup makanan dan minuman selama berhari-hari. Akhirnya saya membuat obat rumahan dari campuran jahe, bawang dan teh," sambung Javet Ali.
Setelah hasil tes usapnya menunjukkan positif Covid-19, ia menghubungi sejumlah pihak termasuk lembaga pengungsi PBB (UNHCR). Tapi ia mengklaim tak satupun menawarkan bantuan berarti.
Javet Ali diminta untuk menjalani isolasi mandiri selama 14 hari.
"Tapi kan saya tidak punya uang, akhirnya saya meminjam uang Rp2 juta ke teman saya, tapi tak seorang pun membantu saya membawakan makanan. Untungnya saya selamat," keluh Javet lagi.
'Teman-teman terinfeksi karena saya, sekarang tidak ada yang membantu mereka'
Namun begitu kemudian, beberapa kawan pengungsi yang membantunya selama isolasi, enam orang di antaranya terpapar Covid-19.
"Teman-teman terinfeksi karena saya. Sekarang, tidak ada yang membantu mereka. Kami mencoba mencari bantuan ke pihak berwenang setempat, UNHCR, CWS, JRS dan CRS, semuanya menolak," ungkap dia.
Para pengungsi itu, menurut Javet, terpaksa bertahan tanpa pengobatan. Beberapa di antaranya sudah sembuh. Tapi jumlah pengungsi yang terinfeksi Covid-19 dan bagaimana perawatan terhadap mereka pun tak jelas.
Sebab sebagian dari mereka tak mendapatkan akses layanan kesehatan gratis. Sementara untuk membayar tes usap mandiri, mereka tak mampu.
Perwakilan pengungsi dari Afghanistan di Jakarta, Mehdi Ali Zada memperkirakan hampir 20 persen dari populasi pengungsi di ibu kota, terinfeksi Covid-19. Sedangkan belum ada kepastian jaminan perlindungan dari lembaga pengungsi maupun pemerintah setempat.
Church World Service (CWS) — salah satu organisasi yang fokus pada masalah pengungsi — menurut Mehdi telah memberikan bantuan pengobatan tapi terbatas pada pasien darurat.
Ia menuturkan, beban pengungsi kian berlipat-lipat di tengah pandemi. Bila sebelumnya mereka masih mendapatkan dukungan dari keluarga atau kerabat, kini sebagian besar terhenti akibat peningkatan kasus Covid-19. Aktivitas pengungsi pun dihentikan.
"Mereka terkurung di kamar. Mereka menderita secara mental," tambah Mehdi.
Ia kecewa dan sakit hati karena tidak ada yang peduli pada kelompok pengungsi.
"Jika pemerintah Indonesia tidak mau membantu kami para pengungsi, CWS dan UNHCR yang harus memastikan vaksinasi, tapi mereka tidak melakukan itu. Mereka seharusnya memberikan vaksin untuk kami," Mehdi berharap.
Bagaimana respons pemerintah Indonesia?
Kementerian Luar Negeri mengutip data UNHCR per Maret 2021 mencatat ada 13.497 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah mengatakan pelaksanaan vaksinasi pengungsi luar negeri bukan tanggung jawab kementeriannya melainkan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri di bawah Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
"Kemenlu bermitra dengan UNHCR. Namun untuk pengungsi yang di dalam negeri ditangani satgas yang unsurnya lintas kementerian dan lembaga," tutur Teuku Faizasyah melalui pesan singkat.
Sementara Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan untuk sementara ini belum memasukkan kelompok pengungsi luar negeri sebagai salah satu target vaksinasi Indonesia.
"Kalau sekarang belum ya, karena mengingat kebutuhan vaksin lebih ke WNI," terang Nadia kepada BBC News Indonesia.
Hanya saja, Nadia mengakui ada beberapa pemerintah daerah yang sudah melakukan vaksinasi ke pengungsi luar negeri. Hal tersebut bergantung pada penilaian risiko di masing-masing wilayah.
Jika kelompok pengungsi di lokasi tertentu dinilai masuk dalam kategori rentan dan berisiko tinggi penularan, maka pemerintah daerah bisa melakukan vaksinasi.
Pencapaian vaksinasi Indonesia hingga Selasa (03/08) untuk dosis pertama belum menyentuh 25 persen dari total populasi penduduk.
Data Kemenkes menunjukkan dari total 208.265.720 warga yang menjadi sasaran vaksinasi, ada 48.106.208 orang (23,10 %) yang sudah menerima dosis pertama dan sebanyak 21.436.908 orang (10,29 %) telah menerima dua dosis.
UNHCR: Sekitar 600 pengungsi menerima vaksinasi
Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) menyatakan masih terus melakukan advokasi dengan Kementerian Kesehatan, Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kemenko Polhukam dan pemerintah daerah lokasi pengungsi tinggal untuk memastikan pemenuhan akses vaksinasi.
Akan tetapi Communication Associate UNHCR Indonesia, Dwi Prafitria mengungkapkan keterbatasan vaksin memang menjadi salah satu hambatan. Karena itu ia mengatakan bisa dimengerti jika pengungsi luar negeri belum menjadi kelompok prioritas vaksinasi pemerintah Indonesia.
"Secara umum ketersediaan vaksin Covid-19 di Indonesia masih terbatas. Sangat dimengerti di tengah angka kasus yang tinggi dan jumlah rakyat yang sudah divaksin masih sangat jauh dari target jika pemerintah memprioritaskan rakyat Indonesia terlebih dahulu," kata Prafitria kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/08).
"Tetapi kami tetap melakukan advokasi dan diskusi dengan pihak instansi terkait agar akses vaksinasi bagi pengungsi bisa secepatnya terpenuhi," sambung dia lagi.
Sampai saat ini, menurut Prafitria, ada sekitar 600 pengungsi di Pekanbaru, Aceh Timur, Lhoksumawe, dan Kupang yang telah menerima vaksinasi Covid-19. Tapi ia tak merinci apakah vaksinasi itu baru dosis pertama atau sudah lengkap.
Sementara terkait jaminan perlindungan kesehatan bagi pengungsi luar negeri di Indonesia di tengah pandemi ini, Prafitria tak menjelaskan prosedur khusus. Ia menjawab secara normatif mekanisme penanganan tak berbeda dengan sebelum wabah berjangkit.
"Sejak sebelum pandemi, para pengungsi dapat memeriksakan diri ke puskesmas apabila ada keluhan atau sakit," kata dia.
"Begitu pun pada saat pandemi ini, para pengungsi yang memang memiliki gejala Covid-19 kami anjurkan untuk memeriksakan diri ke puskesmas, dan jika memerlukan perawatan lebih lanjut akan ditangani sesuai dengan rekomendasi dokter yang memeriksa," pungkas Prafitria.
Adapun Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyatakan tengah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap 7.512 pengungsi di seluruh Indonesia sepanjang Covid-19.
National Media and Communications Officer IOM, Ariani Hasanah Soejoeti menjelaskan pengungsi di bawah penanganan organisasinya yang terpapar Covid-19 bakal dirujuk sesuai rekomendasi puskesmas. Baik itu harus menjalani rawat inap maupun isolasi mandiri.
"IOM memiliki tim medis yang mapan di setiap lokasi, di mana tim ini memberikan bantuan yang disesuaikan untuk kasus-kasus individual termasuk rujukan yang sesuai bila diperlukan," tutur Ariani menjawab pertanyaan soal keluhan pengungsi yang mengaku tidak mendapat penanganan baik.
Selain itu IOM, menurutnya, juga membekali mereka dengan perlengkapan perlindungan kesehatan seperti masker, handsanitizer, beberapa obat-obatan dan vitamin.
"Layanan kesehatan mental IOM tetap tersedia untuk semua pengungsi selama pandemi, termasuk mereka yang diisolasi melalui hotline khusus di mana konseling dapat diberikan, atau rujukan dilakukan ke spesialis jika diperlukan," kata dia kepada BBC News Indonesia.
Namun begitu Ariani tak menjelaskan ihwal upaya pemenuhan vaksinasi ke para pengungsi. Ia hanya menjelaskan bahwa sejak awal pandemi organisasinya telah bekerja sama dengan dinas kesehatan dan rumah sakit untuk memastikan penanganan terkait Covid-19.
Kerja sama itu termasuk memfasilitasi "pengujian Covid-19, pelacakan kontak, manajemen kasus, dan langkah-langkah kesiapsiagaan lebih lanjut untuk isolasi dan karantina".
"IOM mendukung gagasan bahwa tidak seorang pun boleh tertinggal dalam hal akses ke vaksin; semua kelompok rentan, termasuk pengungsi, harus memiliki akses ke sana," Ariani menjelaskan.
"Dengan berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia, dan pemangku kepentingan lainnya, IOM bekerja untuk mewujudkannya. Di beberapa wilayah, beberapa tempat pengungsian telah divaksinasi, bersama dengan masyarakat setempat, di tempat lain belum, tetapi semua upaya dilakukan untuk mempercepat proses ini," urai dia.
Bukan berbasis pada status melainkan risiko penularan
Sementara ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Hermawan Saputra menilai meski memahami bahwa jumlah vaksin terbatas sehingga belum bisa memprioritaskan pengungsi asing, tapi mestinya itu tak lantas membuat kelompok pengungsi diabaikan.
Pasalnya, ia mengingatkan bahwa setiap orang memiliki risiko tertular maupun menularkan virus corona yang sama.
"Jadi siapapun yang ada dalam populasi, apakah dia residen, citizen, pengungsi atau bukan, sebenarnya mereka punya kesempatan yang sama untuk tertular atau menularkan," kata Hermawan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Maka seharusnya mereka punya kesempatan yang sama untuk divaksinasi," lanjut dia lagi.
Dengan keterbatasan vaksin tersebut, menurut Hermawan, penting bagi tiap-tiap komunitas terkecil untuk melakukan penilaian risiko penularan Covid-19. Jika dalam sebuah populasi ditemukan kelompok pengungsi termasuk kategori yang rentan maka bisa saja dimasukkan ke prioritas vaksinasi.
"Asal benar-benar dikaji risiko di dalam populasi atau komunitasnya. Yang penting itu dikoordinir, terdata, dan dilaporkan," tutur Hermawan yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut.
Pemetaan risiko di setiap komunitas termasuk kelompok pengungsi akan memudahkan proses pencegahan penyebaran virus corona.
Tak ada yang beda, menurut Hermawan, saat ditemukan ada pengungsi yang terpapar Covid-19 maka pemerintah setempat tetap harus melakukan tracing, testing hingga isolasi terhadap pasien tersebut.
"Kalau ada satu atau dua orang yang terpapar, ya harus ditelusur 20 orang di sekitarnya. Jadi fungsi itu harus dilakukan, tidak ada pembedaan antara warga atau pengungsi," tukas dia.
"Jadi pemerintah setempat tetap harus memperhatikan risiko di dalam pengungsi karena pada umumnya nanti masyarakat luas juga kan yang akan berisiko," kata Hermawan lagi.
Sementara, Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman berpendapat pemerintah Indonesia tetap harus bertanggung jawab terhadap nasib pengungsi luar negeri di tengah pandemi Covid-19 ini. Ia menyarankan Indonesia menjalin kerja sama dengan lembaga internasional dalam penanganannya.
"Karena ini kan bicara kemanusiaan, dan ini bisa melibatkan UNHCR, lembaga pengungsi PBB dan lembaga internasional lah untuk membantu. Dan jumlah mereka kan juga tidak banyak kalau bicara yang berisiko tingginya," tutur Dicky kepada BBC News Indonesia.
Pemerintah perlu memetakan kelompok pengungsi yang termasuk rawan terinfeksi lantas memastikan vaksinasi untuk mereka, kata Dicky.
"Dan mereka ini tetap bisa [menulari atau ditulari], karena aktivitas dan kontak dengan penduduk setempat juga ada dan cukup tinggi kan. Nah itu akhirnya yang akan membahayakan," ucap Dicky mengingatkan.
JN Joniad, wartawan Rohingya yang kini berada di Indonesia, berkontribusi untuk artikel ini.