Suara.com - Polisi mendapat kritik dari aktivis perempuan, pejuang HAM, hingga pakar hukum setelah menjerat selebritas Dinar Candy memakai pasal pornografi lantaran berbikini saat menggelar aksi protes kebijakan pemerintaah menanggulangi covid-19 yang membingungkan.
Menurut mereka, polisi melakukan diskriminasi bersifat seksis serta patriarkis karena Dinar Candy adalah perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin bahkan mengatakan, perkara itu tak mungkin ada apabila yang melakukan aksi adalah laki-laki.
Penilaian Mariana itu bukan pepesan kosong atau tuduhan tanpa bukti.
Baca Juga: Jadi Tersangka Pornografi, Dinar Candy Stres dan Sesak Napas
Seperti diberitakan Suarariau.id misalnya, polisi tidak melanjutkan perkara empat pemuda yang mengendarai sepeda motor hanya menggunakan celana dalam.
Tidak seperti aksi protes Dinar Candy terhadap pemerintah, aksi keempat pemuda berinisial HR (17), RE (17), MR (18) dan RRS (15) yang standing di atas sepeda motor terbilang membahayakan publik.
Oleh polisi, keempat pemuda itu diminta meminta maaf dan dikembalikan kepada orang tua masing-masing untuk dibina.
Ketua YLBHI Asfinawati menunjukkan sistem hukum di Indonesia masih mendiskriminasi perempuan atau yang dia sebut 'sangat patriarkal baik dari sudut norma maupun penegakan hukumnya'.
Aksi Dinar Candy, pemengaruh yang juga disc jokey (DJ) berbikini sambil menenteng papan protes atas kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat berbuntut jerat pidana.
Baca Juga: Dinar Candy Stres hingga Sesak Napas karena Kasus Pornografi
"Saya stres karena PPKM diperpanjang," demikian yang ditulis perempuan bernama asli Dinar Miswari tersebut.
Protes itu yang dilakukan pada Rabu (4/8) di jalanan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Sehari setelahnya atau pada Kamis (5/8) kepolisian mengumumkan penetapan Dinar sebagai tersangka dugaan tindak pidana pornografi.
Ia disangkakan melanggar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin menilai penerapan pasal itu tidak tepat karena aksi Dinar dilakukan sebagai bentuk protes.
Itu sebabnya dia mengingatkan aparat untuk objektif dan teliti dalam menilai sebuah kasus.
"Seandainya bukan Dinar Candy yang di situ, atau mungkin seandainya dia adalah seorang laki-laki, saya kira mungkin orang hanya akan melihat isi protesnya soal PPKM," kata Mariana kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (6/8).
Yang terjadi kemudian alih-alih fokus pada esensi protes, menurut Mariana yang dipermasalahkan justru ketelanjangan Dinar sebagai perempuan. "Persoalannya karena dia menunjukkan tubuhnya, pendapatnya malah tidak diperhatikan, lebih ke penampilannya," kata dia.
"Sementara ibu-ibu di Bali, atau mama-mama Papua yang bertelanjang dada dan protes kan tidak masalah. Atau berdiri saja begitu di tengah kebun, bertelanjang dada, kan tidak masalah. Jadinya kan bias," imbuh dia.
Seharusnya masalah pokok yang membuat seorang perempuan melakukan aksi protes tersebut lah yang mestinya jadi fokus.
Dalam kondisi tertekan, menurut Mariana, beberapa perempuan acap kali mengekspresikan keresahan maupun perlawanannya dengan pelbagai cara. Boleh jadi, kata dia, itu pula yang terjadi dalam kasus Dinar Candy.
Aksi protes tersebut ditempuh karena hanya itu cara yang Dinar tahu agar pendapatnya didengar.
"Kalau kita belajar psikologi perempuan, dalam kondisi histeris atau histeria, itu banyak sekali contoh yang kemudian, misalnya ibu-ibu terutama yang membuka baju. Stres," ucap dia.
"Saya melihat dari awal Dinar itu stres juga, kalau kita cek wawancara dia soal PSBB dan setelahnya PPKM, karena dia kehilangan mata pencaharian kan. Dan karena dia tahunya cuma itu, maka dia melakukan itu," kata Mariana lagi.
Kalaupun berkeras dipermasalahkan, terlalu berlebihan jika direspons dengan pendekatan pidana.
Apalagi mengingat rekam jejak penggunaan UU Pornografi, menurut Mariana, kerap mendiskriminasi perempuan dan seringkali tak tepat diterapkan.
Ia mengatakan, "memang dari awal UU Pornografi akan cenderung menghukum perempuan, terutama tubuhnya."
Padahal dalam beberapa kasus, seringkali justru perempuan yang dijerat Undang-undang Pornografi ini adalah korban. Misalnya, dia mencontohkan, pada kasus perdagangan perempuan.
"Ada penari striptis yang disewa banyak orang, waktu itu di Jepara kasusnya. Ternyata mereka juga korban perdagangan orang dan segala macam, tapi mereka dikenakan sebagai pekerja seks," urai Mariana.
"Harusnya hukum mengerti bahwa posisi perempuan itu subordinat, ada di bawah sistem yang patriarkis. Yaitu apabila dia menunjukkan ketelanjangannya apapun alasannya pasti orang akan menghakimi dia, tanpa orang mau tahu kenapa," ungkapnya.
Aksi telanjang dada di daerah
Aksi bertelanjang dada sebetulnya juga pernah dilakukan kelompok perempuan lain di berbagai daerah sebagai bentuk perlawanan.
Dirangkum dari pemberitaan sejumlah media massa, protes seperti itu pernah berlangsung di antaranya di Medan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada 2007 silam di Medan, Sumatera Utara, puluhan buruh di antaranya perempuan menggelar protes bertelanjang dada sebagai simbol menunjukkan pemerintah yang disebut tidak malu karena abai terhadap nasib buruh. Protes ini buntut PHK dan kasus hukum yang menimpa buruh salah satu perusahaan properti.
Pada 2019, kelompok ibu-ibu masyakat adat di Kabupaten Toba Samosir bertelanjang dada dan mengadang aparat—yang membawa alat berat untuk pembersihan areal, memasuki kebun mereka.
Pada 2020, di Nusa Tenggara Timur, perempuan Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan pun melakukan perlawanan serupa karena menolak lahan mereka digusur. Aksi tersebut saat itu sempat diwarnai penangkapan oleh aparat.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengungkapkan aksi-aksi semacam itu menjadi salah satu bentuk perlawanan. Dan tak seharusnya disikapi dengan pemidanaan.
"Itu kan karena sudah tidak didengar sejak lama kemudian jadi itu aksinya. Jadi harusnya kemudian yang dilihat isinya [isi protesnya]," kata Asfin.
Bagaimana agar hukum tak diskriminatif terhadap perempuan?
Pendekatan pidana yang digunakan polisi untuk merespons protes perempuan menurut Asfin, menunjukkan sistem hukum di Indonesia masih mendiskriminasi perempuan. Bukan saja dari segi aturan normatif melainkan juga perspektif penegak hukum.
"Hukum di Indonesia memang sangat patriarkal baik dari sudut normanya maupun penerapannya, penegakan hukumnya," terang dia.
Aksi Dinar Candy juga mengundang perbedaan pendapat di kalangan warganet. Sebagian mengkritik proses hukum polisi tapi beberapa lainnya mencuitkan dukungan.
Akun @erasmus70 misalnya, menyebut proses hukum terhadap Dinar Candy diskriminatif.
Sedangkan akun lain @FerdinandHaean3 mendukung langkah polisi yang memakai UU Pornografi.
Tapi cuitan lain dari akun @RustamIbrahim juga punya pendapat lain. Alih-alih memproses hukum kasus Dinar, pemilik akun Rustam Ibrahim menyarankan polisi cukup menasihati dan menyelesaikan kasus lain yang lebih penting.
Kembali ke Asfinawati, dia mengingatkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang sejak 1984 ikut meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Karena itu sudah saatnya pemerintah membenahi pelbagai kebijakan. Jika sulit memperbaiki secara menyeluruh, paling tidak kata Asfin, hal yang bisa dilakukan adalah melakukan harmonisasi peraturan sehingga tidak mendiskriminasi perempuan.
"Ini sudah hampir 40 tahun [ratifikasi], itu kan gila banget. Masalahnya CEDAW ini konvensi yang unik. Kalau konvensi yang lain itu rata-rata menyasar hukum saja, tapi CEDAW tidak," terang Asfin.
"Karena diskriminasi terhadap perempuan itu akarnya salah satunya kultural, juga praktik maka konvensi ini memandatkan negara pihak yang meratifikasi termasuk Indonesia untuk membenahi kebiasaan dan praktik budaya itu," kata dia lagi menguraikan.
Dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan sesuai konvensi CEDAW maka ia percaya diskriminasi dalam hukum Indonesia juga akan banyak berubah.
"Termasuk Undang-undang Pornografi, itu mestinya nggak bisa ada, karena nggak sesuai dengan CEDAW."
Selain soal penegakan hukum yang diskriminatif, UU Pornografi yang dipakai untuk menjerat Dinar Candy menurut Asfin juga sarat masalah. Salah satunya ihwal definisi pornografi.
Karena itu sejak lama lembaganya bersama koalisi masyarakat sipil menolak undang-undang tersebut.
"Kalau kita lihat kan Undang-Undang Pornografi ini aneh, pornografi tidak dipidana untuk kepentingan kesehatan, pendidikan, olahraga, lah itu kan memang bukan pornografi," kata Asfin menjelaskan poin yang problematik dalam perundangan itu.
"Jadi selama undang-undang pornografinya masih seperti itu, akan jatuh korban terus. Bahkan korban dalam kasus kekerasan seksual itu juga ada yang kena juga UU Pornografi sebagai pelaku, itu kan jadi korban dua kali," imbuh dia.