Suara.com - Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengungkapkan alasan membeli masker N95 yang lebih mahal di tahun 2020. Salah satunya karena masker yang sebelumnya dibeli mendapatkan keluhan baru dari pemakainya.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2020 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) awalnya Dinkes membeli masker dari PT IDS. Namun karena ada masalah bau, akhirnya pembelian selanjutnya dialihkan ke PT ALK.
"Adanya keluhan bau pada produk Respokare akibat adanya lapisan asam, maka PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) mencari alternatif produk lain," demikian bunyi laporan BPK.
Kepala Dinas Kesehatan Widyastuti membenarkan adanya keluhan tersebut. Pihaknya mencari perusahaan lain yang menyediakan masker serupa meski lebih mahal.
Baca Juga: BPK Temukan Pemborosan Anggaran Masker dan Rapid Test, Dinkes DKI: Tak Ada Kerugian Negara
"Spesifikasi sama, tetapi karena ada keluhan tertentu jadi kami sesuaikan dengan masukan dari user," ujar Widyastuti di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (6/8/2021).
Apalagi, kata Widyastuti, di tahun 2020 sulit untuk mencari pemasok masker N95 karena permintaan yang begitu tinggi. Akhirnya ia meneken kontrak yang lebih mahal hingga akhirnya dinilai BPK lebih boros Rp 5,8 miliar.
"Itu kan awal-awal dulu kan masker sulit sehingga banyak sekali jenis yang ada. Nah tentu kita sesuai dengan spek yang diminta dengan masukan dari user," tuturnya.
Kendati demikian, Widyastuti menjamin tidak ada kerugian negara yang terjadi karena pemborosan itu. Pihaknya juga sudah menggandeng berbagai pihak untuk mengaudit pembelian agar lebih terbuka dan transparan.
"Jadi sejak awal kami minta pendampingan, saya minta secara khusus kepada para pemeriksa, auditor bagaimana proses (pengaadaan barang) di DKI," pungkasnya.
Baca Juga: Temuan BPK: Bisa Lebih Murah, Pemprov DKI Boroskan Anggaran Rp 5,85 M Buat Beli Masker
Sebelumnya, Kepala BPK DKI Pemut Aryo Wibowo lewat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2020. Pemprov DKI melakukan pemborosan dalam pengadaan masker Respirator N95 hingga Rp5 miliar dari pos belanja tak terduga (BTT) APBD DKI tahun 2020.
Pemut menyebut membeli masker pada dua perusahaan berbeda, yakni PT IDS dan PT ALK. Harga yang didapatkan dari tiap perusahaan juga berbeda.
"Permasalahan di atas mengakibatkan pemborosan keuangan daerah senilai Rp5.850.000.000," ujar Pemut dalam laporannya, dikutip Kamis (5/8/2021).
Dalam laporan itu dijelaskan, Dinas Kesehatan DKI melakukan kontrak dengan PT IDS untuk pembelian masker sebanyak tiga kali dengan total 89 ribu masker. Berita acara ini disahkan pada tanggal 5 Agustus 2020, 28 September, dan 6 Oktober.
Pembelian pertama 39 ribu masker, harga yang ditetapkan adalah Rp 70 ribu. Selanjutnya pada pembelian kedua dan ketiga, harganya turun jadi Rp 60 ribu.
Sedangkan kontrak untuk pembelian respirator N95 dengan PT ALK diketahui dalam berita acara 30 November. Dinkes DKI memesan 195 ribu pcs masker dengan harga tiap satuannya mencapai Rp 90 ribu.
BPK lantas melakukan komunikasi dengan keduanya. Hasilnya, diketahui ternyata PT IDS sanggup jika melakukan pengadaan masker Respirator N95 sebanyak 200 ribu pcs karena stok barang tersedia.
Artinya, seharusnya Pemprov DKI bisa mendapatkan harga masker dengan jenis yang sama dengan harga yang lebih murah. Namun, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan pembelian kepada PT ALK yang lebih mahal sebanyak tiga kali pembelian.
Selain pemborosan anggaran karena beli masker kemahalan, temuan BPK lainnya juga seperti pembayaran gaji bagi pegawai yang sudah pensiun dan wafat, pemborosan uang beli alat rapid test, dan tahun lalu kelebihan bayar untuk subsidi TransJakarta.