Suara.com - Amnesty International Indonesia menemukan adanya sebanyak 21.424 tenaga kesehatan di 21 provinsi pernah mengalami penundaan atau pemotongan pembayaran insentif dalam periode Juni 2020 hingga Juli 2021. Dari temuan tersebut, Amnesty juga mengungkap beragam penyebabnya.
Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri menjelaskan penyebab-penyebab insentif dipotong atau ditunda itu karena inkonsistensi data dan hambatan demokratis.
Semisal yang pertama, ialah tidak adanya kesesuaian data milik nakes. Hal tersebut yang menyebabkan adanya penundaan.
"Jadi mereka yang datanya ini tidak sesuai dengan kenyataan atau dokumen A dan B itu tidak sama," kata Nurina saat memaparkan pada acara konferensi pers Pembayaran Insentif Tenaga Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 yang disiarkan melalui kanal YouTube Amnesty International Indonesia, Jumat (6/8/2021).
Baca Juga: 21.424 Nakes Disebut Pernah Mengalami Penundaan hingga Pemotongan Pembayaran Insentif
Tetapi, kesesuain data milik nakes tersebut tidak bisa langsung selesai lantaran harus melewati upaya perbaikan di Kementerian Kesehatan. Sementara jumlah tenaga kesehatan yang berada di luar Jawa itu berjumlah 760 ribu orang.
"Jadi bisa dibayangkan bagaimana penundaan pembayaran insentif menjadi suatu hal yang tidak terelakan karena banyak sekali tenaga kesehatan yang bermukim di luar Jawa," ujarnya.
Lalu, alasan penundaan pembayaran insentif itu adalah pemotongan di fasilitas kesehatan karena pemerintah memprioritaskan pembayaran insentif untuk nakes yang bekerja di unit penanganan Covid-19.
Padahal menurut Nurina, semua tenaga kesehatan di rumah sakit misalnya, sebagian besar memang fokus menangani Covid-19 juga.
Kemudian ia juga mengungkapkan adanya upaya intimidasi terhadap tenaga kesehatan yang berusaha untuk hendak mengungkap adanya pemotongan atau penundaan pembayaran insentif. Nurina mengambil dua contoh yang terjadi di RSDC Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Baca Juga: Nasib Nakes Siak, Banyak Terpapar Corona di Tengah Isu Takut Dicovidkan RS
Para nakes di sana sempat akan melakukan konferensi pers terkait adanya pemotongan dan penundaan insentif pembayaran insentif. Tetapi pada akhirnya mereka malah diinterogasi dan mengalami intimidasi yang dilakukan aparat.
Lain lagi dengan di RSDC Wisma Atlet, ada seorang relawan yang melapor ke institusi pemerintah terkait hal serupa, namun yang diterimanya malah tindakan tidak menyenangkan.
"Ia justru mendapat ancaman untuk dilacak, justru bertentangan dengan hak yang seharusnya dia dapat ya sebagai tenaga kesehatan," ucapnya.
Apa yang dilakukan terhadap nakes tersebut jelas menurut Nurina telah masuk ke dalam kategori pelanggaran. Pertama ialah melanggar hak tenaga kesehatan atas kondisi kerja yang adil dan mendukung, karena sudah dilindungi oleh Pasal 7 Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, budaya.
Kemudian juga melanggar hak atas tenaga kesehatan atas kebebasan berbicara yang tercantum dalam hak atas kebebasan berekspresi dan dilindungi oleh Pasal 11 Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik.
Lanjut, apa yang dilakukan terhadap nakes di atas juga melanggar hak tenaga kesehatan untuk secara politik membela kepentingan bersama, yang dilindungi dengan hak atas kebebasan berserikat. Itu tertuang dalam Pasal 22 Kovenan Internasional terkait hak-hak sipil dan poltik dan Pasal 8 di Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.