Suara.com - Balqis Eghnia, berusia 31 tahun, menyayangkan Kementerian Kesehatan RI terlambat merilis petunjuk teknis vaksinasi covid-19 untuk ibu hamil seperti dirinya. Kemenkes baru merilis juknis itu Senin 2 Agustus 2021.
Bagi dirinya yang sedang mengandung anak keduanya pada minggu ke-32, peraturan itu terbilang terlambat.
Pengalaman tak diinginkan itu terjadi di pertengahan Juli. Balqis yang sempat merawat suami dan anak pertamanya yang berusia satu tahun karena terkena Covid-19, akhirnya terkena virus itu juga.
"Saya baru tes antigen dan dinyatakan positif. Yang saya khawatirkan, mencari rumah sakit untuk melahirkan akan sulit," ujar Balqis, Selasa (03/08). Ini, sebut dia, sangat disesalkan.
Baca Juga: Langgar Prokes Covid-19, Hajatan di Kabupaten Enrekang Digeruduk Polisi
"Ibu hamil seharusnya diutamakan. Kenapa saat kasus mulai melonjak seperti ini baru dikeluarkan [petunjuk teknisnya]?" katanya.
Sebelum terpapar, Balqis sempat ditolak lima rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan ketika hendak vaksin. Alasan yang diberikan kepadanya waktu itu, Kemenkes belum merilis petunjuk.
Hingga pekan lalu, Kemenkes hanya mengizinkan ibu menyusui untuk divaksin, menyebabkan banyak ibu hamil berisiko tinggi di tengah gelombang kedua Covid-19 di Indonesia.
Balqis kini mengalami gejala Covid-19: batuk, badan ngilu, hingga anosmia.
Di usia kehamilannya yang tua, Balqis sadar akan risiko yang bakal dia alami jika terpapar.
Baca Juga: Bertemu Pasien di Selter Tegalrejo, Luhut Curhat Anak hingga Cucu Positif Covid-19
"Saya ingin divaksin karena bisa meringankan gejala," katanya.
Pada akhir Juni, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) telah mengirimkan surat rekomendasi vaksinasi ibu hamil kepada ke Kemenkes. Tapi, butuh waktu setidaknya tiga minggu untuk pemerintah mengesahkannya menjadi sebuah regulasi.
"Itu cukup terlambat untuk saya, apalagi banyak informasi yang simpang siur soal akses vaksin," katanya.
Risiko terpapar varian Delta
Ibu hamil yang belum divaksin berisiko lebih tinggi untuk mengalami gejala berat, terutama jika terpapar varian Delta.
Data POGI menunjukkan ada 536 ibu hamil yang positif Covid sejak April 2020 hingga April 2021, di mana setengahnya tak bergejala. Angka kematian mencapai 3% dengan tingkat kebutuhan ICU 7%.
Meski demikian, data tersebut dikumpulkan sebelum varian Delta ditemukan di Indonesia.
"Sebelumnya kami optimistis ibu hamil dengan hormon estrogen dan progesteron yang tinggi, dia memiliki ketahanan yang cukup baik. Tapi varian Delta mengubah semuanya. Ini concern kami mengapa vaksinasi betul-betul kami dorong," ujar Sekretaris Jenderal POGI Budi Wiweko, pada Selasa (3/08).
Kini, rasio positivity di Jakarta pada ibu hamil lebih dari 40%. "Dari 3.000 ibu hamil yang dilakukan screening, sekitar 1.300 positif," katanya.
Sementara itu, di Surabaya, 15-20% dari 120 ibu hamil yang kemungkinan terinfeksi varian Delta meninggal dunia pada Juli 2021.
Menurut Wiweko, varian Delta mengubah peta situasi risiko dan gejala yang dialami oleh ibu hamil.
'Saya bernafas lega karena selang oksigen'
Seperti Balqis, ibu hamil Elia Madya, 32 tahun, tak sempat divaksin dan terlanjur terpapar Covid-19. Kondisinya memburuk hingga memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
"Sayangnya, sebelum terpapar Covid-19, saya punya jadwal vaksin Mei 2021 tapi pemerintah belum menganjurkan untuk ibu hamil," kata perempuan yang akrab disapa Dea ini, Senin (02/08).
Dea terkonfirmasi positif pada 10 Juli lalu. Selang sehari, ia sesak nafas. Saturasi oksigen sempat turun hingga angka 88% dari batas normal 95%. Ia segera dilarikan ke IGD sebuah rumah sakit swasta di Bekasi.
"Saat itu nafas saya sudah mulai tersengal-sengal. Tiap nafas panjang selalu batuk. Saya bisa bernafas agak lega dan batuk reda karena pakai [selang] oksigen," ujarnya.
Karena kondisinya yang buruk, dokter menyarankan untuk rontgen paru-paru. Paparan radiasi yang berbahaya untuk janinnya di usia kehamilan 29 minggu ini membuat Dea was-was.
Dengan pilihan serba sulit, rontgen pun dilakukan melalui berbagai upaya agar janin di kandungannya seminimal mungkin terpapar radiasi. "Terpaksa saya rontgen, karena kondisi saya gawat darurat," ucapnya.
Selamatkan ibu atau janin
Kegelisahan tidak berhenti sampai di situ. Untuk pemulihan Covid-19, Dea disarankan mengonsumsi antivirus yang kuat dan bisa berdampak buruk pada janin. Pilihannya: menyelamatkan sang ibu atau janin.
"Nyawa anak dan ibu penting. Saat itu keputusan yang sangat berat. Tapi saya dan suami saya memutuskan, ya sudah, nyawa yang harus didahulukan adalah nyawa ibu," katanya.
Suaminya meneken surat kesediaan pemberian antivirus sewaktu-waktu Dea membutuhkan dan kondisinya fatal. Risiko yang mesti ditanggung yakni kelahiran prematur sang bayi melalui operasi sesar.
Studi pada ibu hamil yang terpapar Covid-19 di 18 negara termasuk Indonesia menunjukkan adanya kemungkinan bayi terlahir prematur meningkat dua kali lipat.
"Risiko ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 menunjukkan persalinan preterm, bisa karena Covid-19 atau terminasinya akibat kami mau menangani yang lebih baik pada ibu hamil, juga terutama resusitasi dan oksigenasi untuk bayi yang sudah dilahirkan," kata Wiweko.
Studi tersebut juga menunjukkan kemungkinan sang bayi terpapar Covid-19 meningkat dua kali lipat pada kelahiran sesar.
Sekitar sembilan hari Dea dirawat di rumah sakit, selama itu pula pikirannya berkecamuk: si jabang bayi, dirinya, dan ayahnya yang baru saja meninggal akibat Covid-19.
Namun, keinginan yang tinggi untuk sembuh dan dukungan keluarga, membuat kondisinya membaik. "Lima hari saya pakai oksigen. Setelah itu tidak. Operasi sesar pun juga tidak perlu. Janin saya sehat dan detak jantungnya bagus," ujar Dea.
'Belum terlambat'
Dengan risiko mengalami gejala berat hingga kematian, vaksinasi ibu hamil dianggap penting menjadi prioritas sejumlah negara, termasuk Inggris dan Amerika. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengizinkan penggunaan Sinovac untuk ibu hamil sejak 24 Mei 2021 lalu.
"WHO merekomendasikan penggunaan vaksin Sinovac untuk ibu hamil ketika manfaatnya lebih besar daripada risiko yang akan dialami," seperti dikutip dari laman WHO.
Tiga bulan sebelumnya, rekomendasi serupa untuk vaksin pada ibu hamil menggunakan AstraZeneca dirilis oleh WHO.
Keluhan mengenai lambatnya pemerintah dalam menentukan kebijakan untuk memvaksin ibu hamil, terlebih saat varian Delta mulai merebak di berbagai wilayah di Indonesia pada Juli lalu, dianggap bukan masalah.
"Menurut saya ini belum terlambat karena kami harus memikirkan konsekuensi dan mempertimbangkan keamanan. Ini belum terlambat karena masih ada 100 juta orang yang harus divaksin," kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi BBC, Selasa (03/08).
Nadia menjelaskan Kemenkes harus berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan POGI untuk mengeluarkan surat edaran dan petunjuk pelaksanaan.
"Kami menunggu rekomendasi dari POGI. Kami tidak melakukan kajian [risiko] ibu hamil sebelumnya. Sebulan atau 1,5 bulan yang lalu belum ada rekomendasi dari POGI," ujarnya.
Setelah rekomendasi tersebut diberikan pada akhir Juni 2021, pihak Kemenkes baru bergerak untuk melakukan kajian literatur dan studi observasi sekitar satu bulan.
Kemenkes membutuhkan waktu yang lama untuk membuat formulir skrining vaksinasi ibu hamil "karena kami mempertimbangkan dua nyawa di sini" dan "tidak ada uji klinis untuk ibu hamil."
Pun, pihak Kemenkes tidak mengumpulkan data ibu hamil yang terkena Covid-19 dan berapa yang meninggal.
"Kami hanya mengumpulkan kasus positif dan negatif, tidak mengumpulkan data kondisi pasien termasuk apakah dia hamil atau tidak," katanya.
Kondisi aman untuk divaksin
Dalam formulir skrining, sejumlah kondisi mesti dipenuhi oleh ibu hamil jika akan divaksin.
Pertama, usia kandungan mesti di antara 4 hingga 33 minggu, atau kehamilan di trimester kedua dan ketiga.
Alasannya, pada trimester pertama terjadi pembentukan organ pada janin atau organogenesis dan rentan timbul masalah.
"Keluhan pada tiga bulan pertama masih mual dan muntah, jadi kami [POGI] tidak ingin itu dikaitkan dengan tindakan vaksinasi," kata Wiweko.
Mereka yang tengah berada di minggu ke-33, bisa divaksin dosis pertama. Tetapi dosis kedua harus diberikan setelah melahirkan.
Idealnya, vaksinasi dua dosis diberikan saat hamil karena bisa melindungi ibu hamil dan bisa memberikan antibodi alami secara pasif untuk bayi ketika sudah dilahirkan.
Kondisi kedua yakni tekanan darah normal. Ibu hamil yang memiliki riwayat tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg tidak dapat divaksin dan mesti dirujuk ke rumah sakit.
Tekanan darah merupakan salah satu gejala dari kondisi preeklamsia. Risiko ibu hamil yang memiliki riwayat preeklamsia akan berbahaya jika terpapar Covid-19.
"Kalau sudah ada preeklamsia, akan semakin berat keluhannya dan cenderung mengalami komplikasi dan perburukan atau jatuh kepada kondisi eklamsia," kata Wiweko.
Bagi ibu hamil seperti Dea dan Balqis yang sudah terlanjur terpapar Covid-19, keduanya harus menunggu tiga bulan hingga bisa divaksin.
"Ibu hamil penyintas Covid-19 harus menunggu tiga bulan karena tubuhnya sudah memiliki antibodi dan kemungkinan sudah terlindungi," kata Nadia.