Suara.com - Perwakilan 75 Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam beralih status menjadi PNS, mengaku tak terkejut atas keputusan pimpinan lembaga antirasuah menolak rekomendasi Ombudsman atas temuan maladministrasi tes tersebut.
Hal itu diungkapkan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo yang mewakili 74 rekannya tersebut. Dia menilai apa yang disampaikan pimpinan KPK yang diwakili Nurul Ghufron sebagai bentuk sikap anti kritik.
"Kami tidak terkejut atas keputusan KPK. Sikap ini, kami lihat sebagai sikap anti-koreksi," ucapnya melalui keterangan tertulis pada Kamis (5\8\2021).
Menurut Yudi, sepatutnya KPK sebagai lembaga penegak hukum harus taat kepada hukum tanpa pilih-pilih aturan mana yang perlu ditaati.
Baca Juga: TWK Diduga Maladministrasi, KPK Tegaskan Tidak Mau Tunduk ke Lembaga Apa pun
Sebagai bentuk evaluasi atau bahan perbaikan KPK atas rekomendasi yang diberikan oleh Ombudsman RI.
"Bukan malah menyerang pemberi rekomendasi yang mencari solusi terhadap permasalahan status 75 pegawai KPK. Ini sama saja KPK memilih untuk kill the messenger bukannya mengapresiasi rekomendasi Ombudsman," katanya.
Menurut Yudi, sikap KPK tersebut juga menunjukan, dalih bahwa pimpinan KPK telah memperjuangkan hak dan nasib 75 orang pegawainya hanya retorika belaka.
"Padahal seharusnya pimpinan KPK menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar memperjelas status 75 pegawainya sesuai dengan Revisi UU KPK, Putusan MK, dan arahan Presiden. Sehingga 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia," imbuhnya
Kamis sore tadi, Nurul Ghufron menyampaikan, jika KPK menyatakan keberatan dan menolak rekomendasi atas temuan maladministrasi TWK oleh Ombudsman RI dalam alih status pegawai KPK menjadi PNS.
Baca Juga: 13 Poin Pimpinan KPK Tolak Temuan Maladministrasi TWK oleh Ombudsman RI
"Mengingat Tindakan Korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, oleh karena itu kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," ucap Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan
Setidaknya, kata Ghufron, ada sekitar 13 poin keberatan KPK atas temuan maladministrasi TWK oleh Ombudsman RI.
Salah satu poinnya, KPK menilai bahwa Ombudsman RI dianggap tidak memiliki kewenangan untuk menerima laporan dari para pegawai KPK yang tidak lulus TWK.
Lantaran, para pelapor dianggap bukan sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan publik oleh Ombudsman RI.
Seperti diketahui, Ombudsman RI menemukan adanya tiga fokus dugaan maladministrasi TWK.
Pertama, Pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
Kedua, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
Ketiga, dalam tahap penetapan hasil assessment wawancara kebangsaan.
"Tiga hal itu ditemukan potensi-potensi maladministrasi," kata Ketua Ombudsman RI dalam konferensi pers.
Maka itu, Ombudsman RI menyatakan, ada empat poin tindakan korektif yang harus dilakukan oleh pimpinan KPK dan Sekretaris Jenderal KPK.
Pertama, memberikan penjelasan konsekuensi TWK bagi pegawai KPK yang tidak lulus menjadi PNS.
Kedua, Hasil TWK tersebut sepatutnya menjadi bahan masukan langkah perbaikan. Bukan, malah menjadi dasar pemberhentian 51 pegawai KPK.
"Terhadap pegawai KPK yang TMS (tidak memenuhi syarat), diberikan kesempatan untuk perbaiki dengan asumsi mereka benar tidak lulus di TMS. Melalui pendidikan kedinasan," tegas Anggota Ombudsman RI Robert.
Terakhir, hakikat peralihan status menjadi ASN, dalam undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020.