Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap upaya kriminalisasi terhadap pembela HAM di masa pandemi Covid-19. Berdasarkan temuan KontraS, bentuk kriminalisasi terhadap pembela HAM di antaranya ditangkap oleh aparat lantaran dianggap melanggar protokol kesehatan (prokes) hingga dicovidkan.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, setidaknya, dalam lima bulan pertama di tahun 2021, terdapat 43 kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM.
"Berupa pembubaran paksa, intimidasi, penganiayaan dan juga tidak hanya terjadi di Jakarta -- walau dominan terjadi di Ibu Kota -- tapi beberapa terjadi di daerah," kata Fatia dalam diskusi daring bertajuk 'Menuntut Komitmen Negara Terhadap Perlindungan Pembela HAM' yang disiarkan akun Youtube KontraS, Kamis (5/8/2021).
Dia menyebut, mayoritas kekerasan dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan dalih pandemi Covid-19 serta protokol kesehatan. Bahkan, sebagian dari mereka mendapat label terjangkit positif Covid-19 meski tidak melakukan tes swab antigen maupun PCR.
Baca Juga: Disebut Kriminalisasi Aktivis, Tim Hukum Moeldoko: Tak Berdasar, Hanya Pengalihan Isu
"Kadang ada juga orang yang ditangkap atau kriminalisasi dan juga dianggap positif Covid-19. Padahal tidak terbukti atau tidak pernah menjalani tes antigen dan PCR," imbuh dia.
Tak cuma penangkapan, beragam ancaman juga menyasar kepada pembela HAM secara daring. Misalnya saja perikaku peretasan, doxing, hingga pelabelan atau memberi stigma buruk terhadap para pembela HAM di dunia digital.
Tak hanya itu, terdapat pula ancaman tidak langsung dan justru menyasar ke anggota keluarga atau orang terdekat si pembela HAM. Di dunia digital, banyak kasus yang kemudian bertujuan untuk mempermalukan seperti memberi framming buruk sang pembela HAM terhadap publik.
Fatia menyebut, para pembela HAM seringkali menjadi korban berupa pembongkaran data pribadi dan riwayat hidupnya dibuka ke publik. Pada ujungnya, tindakan semacam itu melanggar ranah privasi para pembela HAM.
"Itu yang paling sering ditemui yang akhirnya menimbulkan rasa takut dan teror bagi pembela HAM," ujar dia.
Baca Juga: Pria Difabel yang Kepalanya Diinjak Dikasih TV hingga Babi, TNI Disebut Rendahkan Korban
Berkaca dari angka tersebut, jika dibandingkan dengan masa lalu yakni sebelum era reformasi, Fatia menyebut bahwa pola-pola kekerasan masih sama. Hanya saja, saat ini cenderung dilakukan lebih adaktif dan berbeda dengan perkembangan teknologi.
"Namun tetap memelihara kekerasan tersebut," sambung Fatia.
Fatia mengatakan, pola kekerasan terhadap pembela HAM di era Orde Baru alias rezim Tangan Besi Presiden Soeharto, pola-pola kekerasan cenderung berbentuk penculikan dan penghilangan. Namun, di zaman kiwari, banyak kasus yang kemudian menggunakan cara teror atau intimidasi yang pada akhirnya membungkam dan memberikan rasa takut atau trauma terhadap seseorang.
"Jadi menimbulkan penyiksaan secara psikis," ujar dia.
Indonesia Urutan Lima
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forum Asia, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang kerap terjadinya kasus kekerasan terhadap pembela HAM. Dalam hal ini, Indonesia berada di bawah India, Filipina, China, dan Vietnam.
Forum Asia melakukan riset sejak tahun 2019 hingga 2020 dan berhasil mendokumentasikan sebanyak 1.073 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM yang terjadi di 21 negara di Asia -- salah satunya terjadi di Tanah Air.
Bahkan, pelanggaran atau kekerasan tersebut menyasar 3.046 pembela HAM termasuk anggota keluarganya dan organisasi atau komunitas masyarakat sipil lainnya.
"Indonesia berada di peringkat kelima terkait jumlah kasus pelanggaran terhadap pembela HAM di bawah India, Filipina, Cina, dan Vietnam," kata Senior Programme Officer Forum Asia, Benny Agus Prima.