Renggut 82 Nyawa, Indonesia Peringkat 5 Kasus Kekerasan Terhadap Pembela HAM

Kamis, 05 Agustus 2021 | 16:50 WIB
Renggut 82 Nyawa, Indonesia Peringkat 5 Kasus Kekerasan Terhadap Pembela HAM
Ilustrasi Hak Asasi Manusia (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) atau dengan istilah Human Right Defender (HRD) kerap mendapat intimidasi maupun kekerasan ketika sedang melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Teranyar, hal itu terjadi pada Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Ni Kadek Vany Primaliraing yang dilaporkan ke Polda Bali atas tuduhan dugaan makar karena memberikan bantuan hukum kepada mahasiswa Papua.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forum Asia, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang kerap terjadinya kasus kekerasan terhadap pembela HAM. Dalam hal ini, Indonesia berada di bawah India, Filipina, China, dan Vietnam.

"Indonesia berada di peringkat kelima terkait jumlah kasus pelanggaran terhadap pembela HAM di bawah India, Filipina, Cina, dan Vietnam," kata Senior Programme Officer Forum Asia, Benny Agus Prima dalam diskusi daring yang disiarkan akun Youtube KontraS, Kamis (5/8/2021).

Forum Asia melakukan riset sejak tahun 2019 hingga 2020 dan berhasil mendokumentasikan sebanyak 1.073 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM yang terjadi di 21 negara di Asia -- salah satunya terjadi di Tanah Air. Bahkan, pelanggaran atau kekerasan tersebut menyasar 3.046 pembela HAM termasuk anggota keluarganya dan organisasi atau komunitas masyarakat sipil lainnya.

Benny mengatakan, di Indonesia, selama dua tahun ke belakang, setidaknya terjadi 85 kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM. Hal itulah yang membikin Indonesia bercokol di peringkat lima terkait kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM.

"Di Indonesia, kasus yang berhasil kami monitoring atau dokumentasikan selama dua tahun belakangan ada 85 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM," jelas Benny.

Dalam riset tersebut, lanjut Benny, Forum Asia merujuk pada empat poin sebagai indikator terjadinya kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM. Pertama, informasi harus kredibel, artinya informasi harus bersumber dari pembela HAM secara langsung, media yang kredibel atau laporan yang diterbitkan oleh masyarakat sipil.

Indikator selanjutnya adalah status korban yang harus teridentifikasi sebagai pembela HAM -- termasuk gender dan latar belakang etnik. Selanjutnya, pola kekerasan harus benar-benar spesifik.

"Kami harus mengetahui bahwa ada memang bukti kejadian, tanggal, lokasi yang pasti, dan bentuk serangan dan terakhir ada juga koneksi pekerjaan yang dilakukan HRD dengan pelanggaran yang dialami si pembela HAM," jelas Benny.

Baca Juga: Dimediasi Polisi, Kasus Satpam GBK Pukuli Mahasiswa di Lokasi Vaksinasi Berujung Damai?

Dikatakan Benny, dari dokumentasi 1.073 kasus, separuhnya mencakup kasus judicial harassment -- pelanggaran dengan metode yudisial. Jumlah tersebut sudah mencakup penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dan proses hukum yang tidak semestinya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI