Suara.com - Rencana sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio untuk membantu penanggulangan wabah covid-19 di Sumatera Selatan, belakangan menjadi polemik.
Sebab, Heriyanti yang merupakan anak almarhum Akidi Tio diduga berbohong. Dugaan itu mencuat setelah Heriyanti tak kunjung memberikan dana itu kepada Polda Sumsel.
Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan isi rekening penyumbang "tidak sejalan dengan sumbangan yang dijanjikan".
Kasus ini masih diselidiki kepolisian Sumatera Selatan, dan belum ada informasi resmi mengenai motivasi dari penyumbang.
Baca Juga: Minta Maaf ke Publik, Kapolda Sumsel Akui Teledor soal Donasi Rp2 Triliun Akidi Tio
Sementara itu, peneliti hukum dari ICJR memperingatkan kepolisian untuk tidak mencari-cari pasal untuk menjerat si penyumbang karena tidak ada unsur "merugikan publik".
Dari insiden ini, peneliti dari LIPI menilai pejabat publik mudah termakan buaian klaim palsu karena punya tradisi mudah terpukau, dan kerap mendompleng ketenaran.
Isu ini sempat menimbulkan sejumlah tagar termasuk #PrankNasional (lelucon nasional) dengan berbagai cuitan di Twitter Rabu (04/08).
Berapa uang yang ada di rekening?
PPATK mengungkap isi rekening penyumbang "tidak sejalan dengan sumbangan yang dijanjikan".
"Di rekeningnya ada uang, tapi terlalu jauh untuk dibandingkan dengan uang yang Rp2 triliun. Ketika kemarin dicairkan dan ditolak, itu sudah pasti," kata Kepala PPATK, Dian Ediana Rae kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/08).
Baca Juga: Sumbangan Fiktif Rp 2 Triliun Akidi Tio, Kapolda Sumsel: Saya Mohon Maaf
Seperti diketahui, Heriyanty, anak pengusaha Akidi Tio memberikan sumbangan sebesar Rp2 triliun secara simbolis ke Kapolda Sumatera Selatan, Eko Indra Heri untuk bantuan penanganan pandemi Covid-19.
Seremoni donasi dengan nilai fantastis ini disaksikan langsung Gubernur Sumsel, Herman Deru dan diliput media massa pada 26 Juli 2021 lalu. Alhasil, seremonial ini viral.
Tapi uang dalam bentuk bilyet giro tersebut tak kunjung cair saat jatuh tempo awal pekan kemarin.
"Jadi kesimpulan kita, dari domestik analisis, secara murni, ini sudah mendekati bodong," tambah Dian.
PPATK saat ini sedang melakukan analisa terkait profiling dari Heryanti di dalamnya termasuk asal usul uang dalam rekening, dan usaha yang dijalankan. Hasil analisa ini akan diserahkan ke Kapolri, Listyo Sigit Prabowo.
"Kita akan selesaikan ke kepolisian, bukan cuma ke Kapolri, ini harus diketahui oleh Kapolda Sumatera Selatan untuk melihat, apa yang sesungguhnya," tambah Dian.
Apa motif keluarga Akidi Tio?
Sejauh ini Kepolisian Sumatera Selatan masih mendalami motif di balik sumbangan "mendekati bodong" Rp2 trilun.
Kepada media, Kabid Humas Polda Sumsel, Supriadi masih mendalami keterangan dari Heriyanty.
Sebelumnya, sempat terjadi simpang siur mengenai penetapan status Heriyanti. Direktur Intelkam (Dirkrimum) Polda Sumsel, Ratno Kuncoro menyatakan Heriyanti telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pengusaha asal Aceh Timur ini dijerat dengan Pasal 15 UU No.1/1945 tentang Peraturan Hukum Pidana mengenai penyebaran berita bohong dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Tapi belakangan, Supriadi meralatnya dengan mengatakan Heriyanty masih berstatus saksi dan masih dalam proses pemeriksaan.
"Belum, yang menetapkan tersangka adalah Pak Dirkrimum. Rekan-rekan tahu semua dalam proses penyidikan, Pak Dirkrimum yang punya kewenangan dan beliau menyampaikan ini masih dalam proses pemeriksaan," kata Supriyadi kepada media.
Peneliti hukum dari ICJR, Iftitah Sari memperingatkan agar kepolisian tidak mencari-cari pasal untuk menjerat penyumbang. Ia mengatakan, "Yang dirugikan dalam konteks ini abstrak, nggak ada kerugian yang jelas, materilnya seperti apa."
Ia juga meminta agar dalam masa-masa kritis seperti ini, semestinya selama proses pemeriksaan Heriyanty mendapat pendampingan hukum dan mengetahui hak-haknya.
"Orang-orang yang dipanggil polisi itu nggak bisa sembarangan polisi bisa memanggil, kemudian bisa menahan, dan segala macam... Harus benar-benar secara resmi, nggak hanya karena woro-woro di media, seharusnya ada surat-surat dan prosedur," kata Iftitah Sari kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/08).
Kenapa pejabat publik mudah terbuai janji sensasional?
Menyumbang sebesar Rp2 triliun dianggap situasi yang sensasional pada awalnya.
Tapi ketika ini mendapat persoalan, justru membuahkan tanya kenapa para pejabat publik mudah terbuai dengan hal-hal yang sensasional.
Peneliti dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI, Ibnu Nadzir menilai sudah menjadi tradisi bagi pejabat publik di Indonesia untuk mudah percaya, dan ingin "harum namanya ke publik, ketika dia berkaitan dengan temuan, atau katakan hal-hal yang sensasional."
"Segala yang sifatnya sensasional itu memang kemudian, menarik banyak orang, termasuk pejabat publik, yang merasa bahwa mereka ikut kecipratan nama baik, citra-citra baik yang sensasional, termasuk dalam hal ini kasusnya sumbangan," kata Ibnu.
Dalam kasus lainnya Ibnu mencontohkan pejabat-pejabat publik yang menempelkan fotonya dengan peraih medali emas Olimpiade ganda putri Greysia/Apriyani.
"Jadi mereka berupaya mengasosiasikan dengan sesuatu yang dianggap hebat, kuat dan seterusnya," katanya.
"Tradisi ini, yang saya kira para pejabat publik masih melakukan, ingin melakukan by pass situasi, pengen mendompleng sesuatu yang sensional," tambah Ibnu.
Bagaimana mestinya pejabat publik menyikapi donasi?
Donasi atau dana hibah yang masuk ke dalam rekening negara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Aturan mengenai hal ini termuat dalam banyak regulasi, misalnya PP No.2/2012, PP No.48/2018, dan lain sebagainya.
Namun pada prinsipnya, donasi yang diberikan dari masyarakat kepada negara harus melibatkan otoritas keuangan.
"Jadi, setiap ada uang yang masuk ke pada pemerintah, itu ditelusuri," kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/08).
"Satu dari PPATK, apakah uang ini adalah uang yang legal, hasil pencurian, hasil pencucian uang atau kejahatan transnasional antar negara, berkaitan terorisme dan lain-lain," lanjut Bjima.
Setelah itu, sumber uang juga perlu ditelusuri oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian, bisa juga diperiksa melalui bank bersangkutan.
"Itu sangat mudah, dalam hitungan menit, regulator atau pengawas keuangan di Indonesia itu bisa langsung telepon ke bank bersangkutan. Ini rekening korannya," kata Bhima.
Menurutnya, tahapan ini bisa mencegah persoalan di kemudian hari.
"Misal ada yang menyumbang, tapi terkait dana korupsi. Nanti pejabat penerima hibahnya bisa bermasalah dan bisa dituntut secara hukum juga, karena menerima dana korupsi," kata Bhima.
Namun, tahapan ini tidak dilakukan saat Kapolda Sumsel, Eko Indra Heri menerima sumbangan sebesar Rp2 triliun.
"Proses screening itu yang terlewati karena senang duluan dengan Rp2 triliun," jelas Bhima.
Bagaimana kasus ini menciptakan hoaks-hoaks baru?
Peneliti dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Juniarto menilai dalam penanganan kasus donasi Rp2 triliun ini, komunikasi publik dari kepolisian dilakukan secara "kurang baik".
Hal ini menyebabkan kepercayaan publik terhadap sumber berita menjadi berkurang.
"Jadi, gara-gara kesimpangsiuran ini malah melahirkan isu-isu baru, gosip-gosip baru, atau bahkan hoaks-hoaks baru lagi," kata Eko.
Hal yang ditemukan Mafindo sebagai lembaga pemeriksa berita bohong, terdapat sebaran dalam bentuk hasutan yang menargetkan keturunan yang bukan pribumi "bikin sumbangan yang tidak benar."
Lebih lanjut, ia meminta agar komunikasi dari pihak kepolisian diperbaiki.
Hoaks mulai terjadi sejak Presiden Soekarno
Insiden janji palsu yang melibatkan pejabat publik bukan pertama kali terjadi. Insiden seperti ini bahkan pernah terjadi sejak Indonesia merdeka.
Dalam sejumlah penelitian, disebutkan kasus semacam ini yang menjadi perhatian publik pertama kali dialami Presiden Soekarno.
Pada era 1950an, Soekarno sempat menjamu tamu yang mengklaim diri sebagai Raja Idrus dan Ratu Markonah dari Suku Anak Dalam di Lampung.
Mereka menjanjikan menyumbang harta untuk membantu pemerintah merebut Irian Barat dari Belanda. Tapi pasangan ini kemudian diselidiki sebagai penipu.
Lalu peristiwa anak yang bisa bicara dan mengaji dalam perut Cut Zahara Fona, perempuan asal Aceh pada 1970an.
Fenomena ini membuat wakil presiden saat itu Adam Malik, dan ibu negara, Tien Soeharto mengundangnya ke Istana Presiden. Belakangan, Cut Zahara Fona ketahuan memasang perekam di perutnya.
Pada 2002, menteri agama saat itu Said Agil Munawar meyakini adanya harta karun Prabu Siliwangi di Batu Tulis, Bogor.
Namun, Said menghentikan penggalian dan harta karun yang konon bisa melunasi utang negara itu tidak ditemukan.
Selain itu, kabar air menjadi bensin pada 2008 sempat membuat ramai masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memberikan bantuan Rp10 miliar untuk mendirikan pabrik blue energy tersebut di Cikeas.
Belakangan, penggagasnya, Joko Suprapto ditahan, dan meminta maaf karena tak bisa mengubah air menjadi bensin.