Suara.com - Kaum buruh Indonesia menjadi salah satu pihak yang turut merasakan dampak besar ketika dunia dihajar wabah tak berkesudahan, wabah mematikan bernama Covid-19. Selain hantu bernama Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang bergentayangan, ada hantu lainnya yang berwujud virus Covid-19.
Roda perekonomian memang harus tetap berputar agar hajat hidup orang banyak bisa terus berjalan. Kaum buruh merupakan garda terdepan yang tetap harus bekerja selama wabah Covid-19 masih berlangsung.
Imbasnya, banyak dari mereka yang harus terpapar virus mematikan ini. Hal itu disebabkan karena mereka harus tetap bekerja secara tatap muka dan kebijakan pabrik yang kerap menghilangkan hak-hak para pekerja.
Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melalui sang Sekjen, Emelia Yanti Siahaan bercerita, banyak buruh yang terpapar Virus Covid-19 di tempat kerja. Pada tahun 2021 -- tahun kedua berlangsungnya Covid-19 -- banyak anggota GSBI yang dinyatakan positif setelah bersinggungan dengan banyak orang di tempat kerja.
Baca Juga: PHK Jadi 'Hantu' Para Buruh Kala Pandemi, GSBI: Hentikan PPKM!
Hal itu dikatakan Yanti seusai pihaknya melakukan investigasi dan merujuk pada laporan para anggota yang tersebar di berbagai tempat. Dia menyebut, ada satu pabrik di kawasan Karawang, Jawa Barat yang mejadi klaster penyebaran.
Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, sebanyak 111 buruh terpapar Covid setelah ada temuan satu buruh yang mengalami gejala. Temuan 111 pekerja yang positif itu terjadi seusai pemerintah setempat melakukan sidak dan menggelar tes swab secara massal.
"Kami data, dan memang hasilnya ya luar biasa. Mislanya kalau kaya di karawang, itu ada satu pabrik ketika ada satu orang buruh terindikasi positif covid, kemudian pemerintah setempat ada melakukan sidak, dan meminta perusahaan untuk melakukan swab massal. Nah ditemukan ada 111 buruh yang positif," ungkap Yanti kepada Suara.com, Kamis (5/8/2021).
Di pabrik lainnya yang juga berlokasi di Karawang, ada juga temuan sebanyak 29 buruh terjangkit virus Covid-19 dan satu diantaranya meninggal dunia. Satu buruh itu meninggal setelah mendapatkan perawatan secara intensif selama tiga hari di rumah sakit.
"Yang meninggal ini, sebelumnya dia positif, tadinya isoman tapi karena gejalanya berat dia dibawa ke rumah sakit. Setelah tiga hari dirawat, dia meninggal," papar dia.
Baca Juga: KSP: Kota Palu Butuh Penguatan Fasilitas Kesehatan, Tidak Punya Fasilitas Isolasi Mandiri
Yanti melanjutkan, temuan rekan-rekan buruh yang terpapar Covid-19 juga terjadi di salah satu pabrik yang berlokasi di Banten. Total ada 117 buruh dinyatakan positif dan harus menjalani isolasi mandiri di rumah.
"Kalau di Banten, ada sekitar 117 buruh positif, mereka isoman," sambung Yanti.
Isoman
Menjalani isolasi secara mandiri tentunya sangat memberatkan kaum buruh. Mereka harus mengeluarkan segelintir biaya untuk keperluan vitamin dan obat selama menjalani masa isolasi di rumah.
Di sisi lainnya, pabrik tidak memberikan upah lantaran si buruh tidak bekerja selama masa isolasi dan penyembuhan. Bahkan, untuk urusan kesehatan, banyak perusahaan yang ogah menanggung biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
"Buruh dengan upah yang tidak seberapa, mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk obat dan vitamin selama isoman. Mereka tidak dibayar upah bahkan ada yang harus mengeluarkan biaya sendiri saat isoman. Itu sama sekali tidak dicover oleh perusahaan," jelas Yanti.
Untuk itu, GSBI meminta agar pemerintah lebih mengoptimalkan peran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang berada di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Sehingga, ada kontrol atau pemantauan terhadap mereka yang sedang menjalani isolasi mandiri.
Yanti berpendapat, mungkin masih banyak buruh yang tidak melapor ke pihak perusahaan. Mereka lebih memilih berangkat kerja karena khawatir tidak akan mendapat upah jika tidak masuk dalam beberapa hari.
"Di luar itu masih bayak, cuma buruh gak lapor. Yang penting mereka mikir absensi kerja. Tidak mungkin buruh milih bolos kerja selama dua minggu, dia akan kehilangan upah. Asumsinya kan seperti itu. Mungkin ini subjetif ya," papar Yanti.
Oleh karena itu, GSBI mendorong baik kepada pemerintah maupun perusahaan untuk setidaknya bisa menyediakan rumah khusus bagi buruh untuk menjalani isolasi mandiri. Sebab, jika harus menjalani isolasi mandiri di rumah, sangat berisiko bagi keluarga si buruh yang terpapar Covid-19 tersebut.
"Pemerintah harus meminta perusahaan menyedikan rumah atau tempat tinggal khusus bagi buruh yang terpapar untuk melaksanakan isoman. Karena isolasi di rumah, emang rumah buruh besarnya semana sih? Kan ada keluarganya juga. Itu kan memungkinkan sekali menularkan keluarganya yang ada di rumah," tegas Yanti.
Hantu PHK
GSBI mencatat, sejak awal tahun 2021 hingga saat ini, lebih dari 11 ribu buruh terkena PHK -- data itu berdasarkan sebaran pabrik yang terdapat serikat buruh anggota GSBI. PHK menjalar tanpa hambatan, proses itu dilakukan tanpa jaminan upah, pangan, kesehatan, pendidikan, dan komunikasi bagi buruh dan keluarganya.
"Berdasarkan data GSBI, dari awal tahun 2021 hingga sekarang tercatat lebih dari 11 ribu
buruh di-PHK berdasarkan sebaran pabrik yang terdapat serikat buruh anggota GSBI," ungkap Yanti.
Pada tahun pertama berlangsungnya wabah Covid-19, yakni pada 2020 lalu, Yanti menyebutkan, pabrik kecil yang bergerak di sektor garmen, tekstil, dan sepatu benar-benar terdampak. Sebab, produksi pabrik tersebut baru bisa berjalan setelah adanya order atau pesanan.
"Contoh di kalau di garmen, di beberapa perusahaan skala kecil yang bergantung produksinya pada orderan atau mengambil dari pabrik besar, itu mulai banyak yang kolaps atau tutup di tahun pertama pandemi," sambungnya.
Menurut Yanti, pabrik besar yang telah mempunyai lisensi atau hak untuk melakukan produksi juga mengalami hal serupa. Perusahaan atau pabrik besar itu biasanya mendapat pesanan langsung dari buyer atau pemilik brand.
Namun, pada saat pertama kali pandemi Covid-19 menghajar Tanah Air, sejumlah jalur transportasi, baik laut maupun udara ditutup. Imbasnya, pabrik besar tersebut tidak bisa mengimpor bahan baku untuk melakukan produksi.
Semula, beberapa pabrik mengambil keputusan untuk merumahkan para karyawan. Ketika tidak bisa melakukan ekspor barang, baru lah hantu PHK bergentayangan di pabrik dan menyasar para buruh.
Salah satu contoh yang disebutkan Yanti adalah sebuah pabrik sepatu yang berada di kawasan Tangerang, Banten -- yang juga merupakan basis anggota GSBI. Pada awal bulan April sudah melakukan dua tahapan PHK.
Pertama, pabrik melakukan PHK terhadap 500 buruh yang masih menjalani masa percobaan selama tiga bulan. Pada tahap kedua, jumlahnya lebih gila, mencapai 4899 buruh yang terkena kebijakan PHK.
"Itu sekitar 500 pekerja, tapi sasaran yang di PHK itu buruh yang masih menjalani masa percobaan tiga bulan. Pada tahap kedua, sebanyak 4899 karyawan," ujar Yanti.
Gelombang PHK rupanya menyasar anggota GSBI lainnya yang tersebar di beberapa daerah. Yanti merinci, pabrik-pabrik tersebut berada di kawasan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Karawang, Sukabumi, Solo Raya hingga di DIY Yogyakarta.
"Iya dong, sebagian besar itu anggota GSBI. Tentu saja kami juga kena dampak pengurangan anggota dari phk perusahaan. Itu untuk yang sektor tekstil, garmen, dan sepatu. Kerena paling rentan di sektor itu," beber Yanti.
Hal serupa juga terjadi pada pabrik-pabrik yang bergerak di sektor makanan atau minuman. Meski tidak sebesar sektor tekstil dan garmen, gelombang PHK juga terjadi karena adanya penurunan penjualan.
"Di pabrik Coca-Cola, dia juga melakukan PHK karena ada pengurangan penjualan. Jadi ada pengurangan di bagian distributor. Kemudian di Big Cola. Itu di kawasan Bekasi," ungkap Yanti.
Sektor yang terkena imbas serupa adalah pabrik yang bergerak di ranah elektronik dan otomotif. Di kawasan industri Bekasi misalnya, meski tidak melakukan PHK, pabrik otomotif "merumahkan" para buruh yang bekerja karena produksi tidak bisa berjalan sepenuhnya.
"Kemudian di sektor otomotif, pabrik melakukan merumahkan karyawan karena produksi otomotif itu ada di Bekasi, yakni spare part mobil seperti Toyota, Mitshubisi mungkin karena pengaruh pandemi penjualan menurun, tapi tidak sampai PHK hanya meliburkan atau merumahkan karyawan karena produksi tidak bisa jalan sepenuhnya, hanya sebagian," ujar Yanti.
Atas fakta itu, Yanti menyebut, kebijakan pabrik terkait PHK atau merumahkan para buruh modelnya berbeda-beda. Ada pabrik yang membayar upah secara penuh selama buruh dirumahkan. Di sisi lain, ada pula pabrik yang hanya membayar separuh upah kerja.
"Itu tergantung pabrik termasuk serikat buruh yang kuat atau tidak untuk melakukan negosiasi.Di tigaraksa juga ada di bagian pewarnaan kain, sudah meliburkan sudah dari sebelum puasa, diliburkan selama tiga bulan dan itu ada kesepakatan dari serikat dan managemen pabrik hanya dibayar 50 persen upah saja," imbuh dia.