Suara.com - Dunia pendidikan Indonesia, di tengah wabah Covid-19, mengalami dampak yang besar. Kegiatan belajar dan mengajar yang semula berlangsung secara tatap muka, kini berganti menjadi virtual. Buntutnya, pelajar dan mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengeyam pendidikan yang berkualitas. Sebab, kegiatan belajar dan mengajar yang berganti ruang menjadi virtual rupanya sangat tidak efektif dan membikin akses untuk menempuh pengetahuan menjadi terhambat.
Hingga kini, belum ada kepastian mengenai kapan bisa berlangsungnya kegiatan belajar dan mengajar secara tatap muka. Dalam konteks ini, Front Mahasiswa Nasional (FMN) melihat kondisi pendidikan saat ini sama seperti "putus sekolah atau kuliah".
"Tidak ada bedanya dengan 'putus kuliah'. Proses belajar hanya menjadi formalitas, menggugurkan tanggung jawab, memenuhi absensi," ungkap Ketua Umum PP FMN, Symphati Dimas Rafi'i kepada Suara.com, Rabu (4/7/2021).
Dimas menilai, sebagian besar fungsi pendidikan -- serta institusinya: sekolah dan kampus -- telah hilang. Sosialisasi sesama pelajar dan pengajar sudah berganti menjadi layar ponsel gengam atau laptop, kegiatan diskusi dan forum ilmiah kini sudah tiada, hingga pertemuan yang memungkinkan melahirkan gagasan sudah tidak terjadi lagi.
Baca Juga: Aniaya Mahasiswa, Tiga Petugas Keamanan GBK Diperiksa Polisi
Muara dari permasalahan itu adalah kegagalan pemerintah dalam melakukan penanganan terhadap Covid-19. Sehingga, pelajar dan mahasiswa yang menjadi korban dari hal-hal tersebut.
"Pemerintah gagal dalam menangani pandemi Covid-19, sehingga mahasiswa dan pelajar menjadi korbannya," sambungnya.
Pendidikan Terlantar
Pembelajaran secara online lebih banyak merugikan para pelajar dan mahasiswa. Misalnya, ada ongkos lebih yang harus dikeluarkan guna mengakses pendidikan di masa pandemi Covid-19. Pelajar dan mahasiswa kini diharuskan mempunyai barang wajib: ponsel genggam dan laptop atau komputer. Tidak sampai situ, ongkos lainnya adalah kuota internet sebagai bensin untuk menuju ruang kelas virtual.
FMN mencatat, mayoritas pelajar kesulitan untuk menjalani rutinitas tersebut. Jika dirata-rata, pelajar dan mahasiswa setidaknya harus mengocek saku sebesar Rp82 ribu untuk paket data dalam sebulan.
Baca Juga: Anggaran Laptop Untuk Pelajar Tembus Rp3,7 Triliun, Ini Penjelasan Kemendikbusristek
Tak hanya itu, masalah gangguan sinyal hingga kapasitas gawai rendah yang terkadang menghambat pelajar dan mahasiswa untuk menggunakan berbagai macam aplikasi. Beberapa waktu lalu, sempat muncul harapan bagi pelajar dan mahasiswa untuk bisa kembali mengeyam pendidikan secara tatap muka.
Namun, hal itu urung terjadi seiring penanganan Covid-19 yang carut marut. Bahkan, sejumlah kebijakan turut melegitimasi agar pelajar dan mahasiswa untuk belajar secara online, yakni PPKM -- yang bernama Darurat dan berubah menjadi Level 4.
"Seluruh sekolah dan universitas dipaksa untuk menerapkan pembelajaran online secara penuh," beber Dimas.
Di sisi lain, pemerintah justru melonggarkan sejumlah aktivitas seperti ekonomi dan bisnis. FMN pun menilai jika pemerintah menempatkan dunia pendidikan kita pada urusan yang paling belakang.
"Tidak ada satupun rencana untuk memfasilitasi universitas agar kembali dapat berkuliah secara langsung. Jika kaum buruh tetap dapat bekerja, maka mahasiswa seharusnya dapat tetap kuliah secara langsung," papar Dimas.
UKT Justru Memperparah Beban
Dunia pendidikan kita, kata Dimas, justru diperparah lantaran mahasiswa tetap diwajibkan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) meski kegiatan belajar dan mengajar masih berlangsung secara online. Jangankan digratiskan, diringankan saja tidak.
Padahal, mayoritas fasilitas di kampus maupun sekolah tidak digunakan. Akes bagi mahasiwa untuk menggunakan fasilitas tersebut ditutup dengan dalih Covid-19.
"Tetapi tetap diperas dengan biaya yang tinggi," ungkap Dimas.
Dimas memandang, pemerintah melalui kampus menggunakan periode pandemi ini untuk memperbesar komersialisasi pendidikan. Sementara itu, nasib mahasiswa dibiarkan untuk berjuang sendiri di rumah, tidak ada jaminan kehidupan, seperti pangan, gizi, dan kesehatan bagi mahasiswa.
Ibarat kata, dunia pendidikan di Tanah Air telah dimasukan ke keranjang sampah, bukan mendorong intensifikasi riset, kajian, dan penelitian untuk mempercepat penanganan Covid-19.
"Namun pemerintah justru puas dan bangga karena berhasil menjadi salah satu negara pembeli alat Kesehatan, obat-obatan dan vaksin. Ratusan juta dosis vaksin sedang bertahap masuk ke Indonesia yang semuanya bergantung dari perdagangan internasional dan sangat menguntungkan imperialis," imbuh Dimas.