Suara.com - Warga China ramai-ramai memuji penampilan ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu, yang sukses meraih medali emas di Olimpiade Tokyo, setelah mengalahkan duo negeri Tirai Bambu itu: Chen Qingchen - Jia Yi Fan.
Berdasarkan pemantauan BBC Chinese di platform Weibo, warganet Tiongkok menyebut Greysia/Apriyani memperlihatkan pertarungan dahsyat sehingga pantas menang.
Ada pula komentar warganet China menyoal fakta atlet mereka hanya mampu menyumbangkan dua medali emas dari lima laga final perebutan medali emas bulu tangkis.
Bahkan, pada kategori ganda putri di Olimpiade Rio 2016 lalu, pebulutangkis China sama sekali tak menyumbangkan medali.
Baca Juga: Alysha Newman, Atlet Olimpiade Tokyo yang Nekat Gabung Situs Dewasa
"Kita sedikit ketinggalan dalam olahraga badminton selama beberapa tahun terakhir," sebut seorang warganet China.
Menanggapi kekalahan Chen dan Jia, warganet China menyebut duo tersebut relatif muda dan Olimpiade Tokyo merupakan penampilan perdana mereka di pesta olahraga terakbar dunia.
"Melalui pihak lawan, kemampuan atlet kita diuji. Fan dan Chen punya hati yang besar. Mereka saling memuji dan mereka juga menyanjung lawan," kata seorang warganet China.
"Sampai ketemu di podium medali [Olimpiade] Paris," sebut seorang warganet lainnya seraya menambahkan dua emoji menangis.
Akan tetapi respons tersebut tidak berlaku bagi atlet-atlet lain yang gagal meraih medali emas.
Baca Juga: Semprot Parpol Ucapkan Selamat ke Greycia dan Apriani, Ferdinand: Karakter Mereka Buruk
Tekanan terhadap atlet China untuk menjadi juara di Olimpiade begitu tinggi. Atlet yang meraih medali apapun selain medali emas dipandang sebagai atlet yang tidak patriotik bagi warga ultra-nasionalis China di dunia maya. Berikut adalah laporan jurnalis BBC Waiyee Yip.
Tim tenis meja ganda campuran China mengajukan permintaan maaf dengan mata berlinang di Olimpiade Tokyo pekan lalu - karena kalah dalam pertandingan final dan hanya memenangkan medali perak.
"Saya merasa telah membuat gagal tim... Saya minta maaf semuanya," tutur Liu Shiwen sambil membungkuk meminta maaf, air mata mengalir di matanya.
Rekannya, Xu Xin, yang mencoba menenangkan Liu Shiwen, menambahkan: "Seluruh negara menantikan final ini. Saya pikir seluruh tim China tidak dapat menerima hasil ini."
Kekalahan mereka melawan Jepang di partai final dalam cabang olahraga yang biasanya mereka dominasi telah membuat banyak orang marah di dunia maya.
Seperti yang terjadi di platform microblogging Weibo, beberapa "pejuang keyboard" menyerang pasangan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka telah "menggagalkan bangsa".
Yang lain membuat klaim yang tidak berdasar tentang bias wasit terhadap ganda campuran Jepang, Jun Mizutani dan Mima Ito.
Ketika demam nasionalis terus melanda negara itu, perolehan medali di ajang Olimpiade telah menjadi lebih dari sekadar kejayaan olahraga.
Bagi kelompok ultra-nasionalis, kehilangan medali Olimpiade sama dengan "tidak patriotik", kata para para kepada BBC.
"Bagi orang-orang ini, tabel medali Olimpiade adalah pelacak kecakapan nasional secara real-time dan, secara luas lagi, martabat nasional," kata Dr Florian Schneider, direktur Leiden Asia Centre di Belanda.
"Dalam konteks itu, seseorang yang gagal dalam kompetisi melawan orang asing telah mengecewakan atau bahkan mengkhianati bangsa."
Pertandingan tenis meja adalah pil pahit yang harus ditelan karena kalah dari Jepang, negara yang memiliki sejarah panjang penuh gejolak dengan China.
Pendudukan Jepang di Manchuria, wilayah China bagian utara pada 1931 sebelum perang yang lebih besar lagi terjadi enam tahun kemudian, telah menewaskan jutaan warga China.
Perisitiwa itu masih dianggap sebagai titik nadir antara kedua negara.
Bagi para nasionalis China, pertandingan itu bukan hanya acara atletik, kata Dr Schneider.
"Ini adalah pertikaian antara China dan Jepang."
Sentimen anti-Jepang di Weibo memuncak sepanjang pertandingan, karena pengguna memanggil Mizutani dan Ito dengan segala cara.
Tapi itu bukan hanya Jepang - atau pertandingan tenis meja.
Atlet bulu tangkis ganda putra China, Li Junhui dan Liu Yuchen, menjadi sasaran warganet ketika kalah dari Taiwan di partai final.
"Apakah kalian tidak bangkit? Kalian tidak berusaha sama sekali. Sialan!" kata seorang pengguna Weibo.
Tensi antara China dan Taiwan terus memanas belakangan.
China memandang Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri, namun warga Taiiwan tak sependapat dan menghendaki Taiwan sebagai negara merdeka.
Atlet lain yang menjadi sasaran termasuk atlet penembak jitu Yang Qian, kendati meraih medali emas pertamanya di Olimpiade Tokyo.
Ia menjadi sasaran karena unggahan lamanya di Weibo yang memamerkan koleksi sepatu merk Nike-nya.
Orang-orang tidak senang, mengingat bagaimana merek tersebut termasuk dalam merk-merk internasional yang diboikot di China.
Sejumlah merk internasional berhenti menggunakan kapas Xinjiang karena masalah kerja paksa .
"Sebagai atlet China, mengapa Anda harus mengoleksi sepatu Nike? Bukankah Anda harus memimpin dalam memboikot Nike?", salah satu warganet memberi komentar.
Yang telah menghapus unggahan tersebut.
Rekan setimnya, Wang Luyao, juga menghadapi kemarahan warga China karena gagal mendapat tempat di partai final senapan angin 10m putri.
"Apakah kami mengirimkan Anda ke Olimpiade untuk mewakili negara dan hanya menjadi lemah?," kata seorang komentator.
Kritik terhadapnya sangat besar, sampai-sampai Weibo terpaksa melakukan suspend terhadap 33 akun penggunanya, kata media lokal.
'Merah muda kecil'
Mengingat sifat kompetitif dari ajang Olimpiade, orang-orang yang marah atas kekalahan apa pun, tentu saja, hampir tidak unik di China.
Di Singapura, atlet renang Joseph Schooling menerima komentar yang ofensif di internet setelah gagal mempertahankan medali emas di cabang olahraga renang kupu-kupu 100 meter pekan lalu.
Kecaman itu menjadi begitu keji sehingga beberapa pemimpin pemerintahan, termasuk Presiden Halimah Yacob, yang bersuara meminta dukungan untuk Schooling.
Tetapi kemarahan yang terlihat secara online di China bisa dibilang lebih menonjol, dan bukan hanya karena populasinya yang besar dan fasih berinternet.
"Yang disebut 'merah muda kecil', atau anak muda dengan perasaan nasionalis yang kuat, memiliki suara yang tidak proporsional secara online," kata Dr Jonathan Hassid, pakar ilmu politik di Iowa State University.
"Sebagian, suara ini diperkuat karena kritik yang sah terhadap negara semakin tidak dapat diterima."
Nasionalisme di China telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir karena pengaruhnya di dunia global terus berkembang dan setiap kritik internasional dipandang sebagai upaya untuk menargetkan perkembangannya.
Olimpiade juga bertepatan setelah perayaan ulang tahun ke-100 Partai Komunis China pada 1 Juli, di mana Presiden Xi Jinping membuat pidato menantang tentang bagaimana China tidak akan pernah "diganggu" oleh kekuatan asing.
"Pihak berwenang telah menandai nasionalisme sebagai cara yang benar untuk memahami urusan saat ini, dan sekarang warga beralih ke kerangka itu ketika mereka perlu memahami peran China di dunia," kata Dr Schneider.
"Publik China telah diberitahu bahwa kesuksesan nasional itu penting, dan sekarang atlet China harus menyampaikan kesuksesan ini di Tokyo."
Betapapun, Dr Schneider dan para pakar lainnya menilai reaksi kemarahan para nasionalis ini tak sepenuhnya mewakili mayoritas warga China.
Dr Hassid berkata: "Jika satu-satunya suara yang secara konsisten diperbolehkan adalah nasionalis yang paling keras, kita tidak perlu terkejut bahwa suara mereka dapat mendominasi diskusi online jauh dari proporsi jumlah mereka yang sebenarnya."
Di tengah kemarahan yang terlihat di Weibo, ada juga dukungan luas untuk tim China di ajang Olimpiade Tokyo, dengan beberapa pengguna menyebut komentar yang ofensif "tidak masuk akal".
Media pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk lebih "rasional".
"Saya berharap kita semua di depan layar akan membangun pandangan rasional tentang medali emas, serta kemenangan dan kekalahan, untuk menikmati ... semangat Olimpiade," kata komentar Kantor Berita Xinhua.
Para ahli mengatakan ini adalah indikasi di mana letak "bahaya" - ketika nasionalisme tampaknya sudah terlampau jauh, bahkan bagi suatu negara.
"Partai Komunis China mencoba mengeksploitasi nasionalisme di dunia maya untuk tujuannya sendiri, tetapi ajang seperti ini menunjukkan bahwa begitu warga negara China gusar, negara mengalami kesulitan besar dalam mengendalikan perasaan ini," kata Dr Hassid.
"Mengeksploitasi sentimen nasionalis seperti menunggangi harimau. Sekali naik, sulit dikendalikan dan sulit diturunkan."