Suara.com - Pagebluk Covid-19 tampaknya dipandang sebagai peluang bagi para politikus, terutama yang berniat mencalonkan diri pada Pilpres 2024. Wabah pandemi seakan dijadikan lahan promosi diri dengan menebar spanduk atau baliho bertuliskan protokol kesehatan sebagai imbauan.
Buruknya, tidak sedikit dari baliho yang tersebar di seantero negeri itu yang justru didominasi potret diri politisi. Lalu soal pesan yang ingin disampaikan mengenai prokes bagaimana? Tetap terlihat, namun bukan menjadi fokus utama.
Hal itulah yang menjadi sorotan publik, tidak terkecuali para pengamat politik.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus misalnya, ia mempertanyakan ketulusan para politisi yang membuat spanduk untuk mengimbau, mengajak masyarakat mentaati dan menjalankan prokes.
Baca Juga: Kasus Coretan Open BO di Baliho, Begini Reaksi Pimpinan DPR Rekan Puan Maharani
Sebab menurut Lucius, jika mereka memiliki ketulusan sudah barang tentu para politisi tidak perlu lagi menampakkan foto dan nama mereka di baliho terkait.
"Kalau mereka tulus kenapa kemudian tidak menyebarluaskan saja pesan-pesan itu tanpa kemudian harus memunculkan namanya ataupun fotonya," ujar Lucius dalam webinar di kanal YouTube FORMAPPI, Senin (2/8/2021).
Namun seperti diketahui, yang terjadi saat ini justru sebaliknya.
"Tapi tidak tulusnya itu kelihatan karena bersamaan dengan pesan itu, pesan-pesan itu cenderung semakin kecil di baliho-baliho. Sementara yang semakin besar itu justru wajah-wajah dari para politisi itu," kata Lucius.
Sementara itu dalam webinar yang sama, Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti memiliki pandangan mengapa akhirnya banyak baliho bertampang wajah-wajah politisi yang tersebar selama pandemi.
Baca Juga: Pelaku Vandalisme Baliho Puan Maharani Diringkus Polda Jatim
Menurut dia, itu merupakan satu cara yang memang digunakan untuk sarana promosi diri.
Ibarat jalan pintas, para politisi yang ingin cepat popular menganggap bahwa penggunaan baliho dan spanduk bakal efektif membuat mereka terkenal.
Padahal di luar jalan pintas itu, kata Ray politisi bisa menunjukkan ide dan gagasan maupun kinerjanya untuk masyarakat.
Karena itu Ray menduga penggunaan baliho sebagai media promosi diri itu lantaran para politisi kesulitan mengembangkan diri mereka.
"Jadi kesulitan mencari formulasi isu yang tepat untuk membuat mereka terkenal, dikenal dan tentu dengan sendirinya punya efek elektabilitas," kata Ray.
"Dalam persaingan ini dalam kompetisi ini karena kesulitan mencari posisi ide modal yang tepat, mereka kemudian mempergunakan mekanisme yang paling murah meriah. Tidak bisa disebut murah sebetulnya, tapi meriah iya. Apa itu? Yaitu mempergunakan baliho, spanduk yang ditebarkan di berbagai kota," katanya.