Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya

Siswanto Suara.Com
Senin, 02 Agustus 2021 | 07:00 WIB
Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya
Ilustrasi: manusia silver [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mengamen sebagai manusia silver dia jalani demi membantu perekonomian keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan. Dia tinggal bersama bapaknya. Bapaknya sudah tua dan tidak berpenghasilan lagi.

“Saya juga tetap ada rencana kerja di bidang lain. Ini sekarang kan sambil nunggu saja, gimana ya kayak ngebantu bapak. Bapak sudah tua nggak kerja. Kontrakan saya yang bayar, buat sehari-hari saya yang ngasih, saya tinggal berdua doang sama bapak saya. Jadi gimana ya, sambil nyari kerja ya saya begini. Mati kelaparan kalau kita nggak kerja,” kata Dudun.

Penghasilan dari mengamen yang didapat Dudun akhir-akhir ini -- tahun kedua pandemi Covid-19 --dirasakan sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, meskipun mereka sudah hidup berhemat.

Dia menggambarkan, “Pokoknya kita dapat sehari langsung kepakai, dapat langsung kepakai. Buat hari-harian gitu di rumah, buat bapak pegangan apa gimana gitu. Sehari nggak nentu om, rezeki kan ada yang ngatur. Jadi kita nggak bisa nentuin apa gimananya. Pokoknya dapat berapa saja syukurin aja dah pokoknya.”

Hikmah yang didapat dari jalanan

Ketika saya melemparkan pertanyaan itu, Idoy duluan yang menjawab. Bagi dia, menjadi manusia silver maupun pekerjaan-pekerjaan lain yang telah dia jalani sebelumnya telah memberikan penyadaran betapa kedua orangtuanya dulu harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya.

Kesulitan-kesulitan hidup di jalanan telah membuat Idoy cepat dewasa. Pengalaman bekerja di jalanan juga memberinya pelajaran untuk lebih mawas diri.

“Yang namanya orang kagak punya terus ngejalanin yang namanya nyari duit susah, berat banget. Apalagi kita mikir orangtua dulu gimana ya nyari duit susah banget. Terus kita di situ terharu gitu, (orangtua) ngurus-ngurusin kita. Dulu mah kita susah banget bang. Makanya kita pengen tuh ngrasain yang namanya nyari duit. Oh ya terasa banget,” kata Idoy.

Bagi dia, suka duka yang dirasakan selama ini menadi bagian dari belajar bertanggungjawab. “Tar kalau udah punya bini nggak kaget,” kata dia.

Baca Juga: Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

Dudun juga menarik pelajaran dari pengalaman mengamen di jalanan. Dulu, sebelum merasakan mencari uang sendiri, dia tanpa beban menghabis-habiskan uang pemberian orangtua. Dia menganalogikan: “Nyari duit udah kayak naik gunung, ngabisin duit udah kayak turun gunung.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI