Suara.com - 'Hijau' di luar tapi 'merah' di dalam, begitulah kalimat yang kira-kira bisa menggambarkan sengkarut data kematian pasien covid-19 di Indonesia.
Kekusutan tersebut berpusar pada perbedaan jumlah kematian akibat corona yang dimiliki pemerintah pusat, dengan pemerintah daerah.
KawalCovid-19 misalnya, mengungkapkan angka kematian akibat covid-19 milik pemerintah pusat lebih sedikit ketimbang pemda.
Tidak main-main, berdasarkan temuan lembaga itu, selisih data angka kematian covid-19 milik pemerintah pusat dan daerah itu mencapai 19.000 kasus.
Baca Juga: Data Kematian Covid-19 Pusat dan Daerah Beda, Begini Kata Kepala BNPB
Silang sengkarut data Covid-19 dari daerah hingga pusat disebut LaporCovid akan membuat persepsi risiko masyarakat "keliru" terhadap bahaya dari virus corona.
Kementerian Kesehatan tak menampik adanya perbedaan data, tapi mengatakan terdapat data yang tidak dilaporkan pemerintah daerah namun ditampilkan di situs masing-masing daerah.
Putri - bukan nama sebenarnya - masih dalam masa berkabung. Bapak mertuanya, 64 tahun, meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Malang, Jawa Timur pukul 20.00 WIB, pada 18 Juli 2021.
Selama tiga hari berjuang melawan virus corona, akhirnya mertua Putri menghembuskan napas terakhir. Selama dirawat di rumah sakit, mediang tak mendapat perawatan dengan ventilator, karena RS tak punya.
"Drop, saturasi menurun. 18 Juli 2021 malam, bapak sudah tidak ada. Pemulasaraan jam 3 dini hari," kata Putri kepada jurnalis Eko Widianto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca Juga: Kematian Covid-19 di Jember Capai 57 Kasus Sehari, Rekor Harian Tertinggi di Jatim
Satu hari setelahnya, Mertua Putri baru dimakamkan dengan protokol kesehatan Covid-19, itu pun setelah melalui antrean panjang. "Satu hari antreannya bisa banyak begitu," katanya.
Simpang siur data Covid-19
Pada hari itu, nama mertua Putri masuk ke dalam daftar 19 orang yang meninggal karena Covid-19 dan diduga kuat terpapar virus yang berasal dari Wuhan, China, demikan laporan UPT Pengelolaan Pemakaman Umum.
"Sejak Juli, [kami] memakamkan rata-rata 30 jenazah [per hari]. Pernah sehari kemarin memakamkan 55 jenazah. Rata-rata 80 persen positif Covid," kata Kepala UPT Penggelolaan Pemakaman Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Taqruni Akbar.
Namun, jumlah kematian ini tidak dilaporakan dalam pendataan Satgas Covid Kota Malang. Data yang ditampilkan Satgas setempat sejak tanggal 18-20 Juli 2021, adalah nol kematian.
Taqruni Akbar menjelaskan terjadi ledakan kematian sejak dua pekan terakhir. Pihaknya bahkan sampai merekrut delapan relawan untuk pemakaman yang bekerja sejak pukul 10 pagi hingga 10 malam.
Wali Kota Malang, Sutiaji, membantah terjadi simpang siur data Covid-19. Menurutnya, data di kondisi lapangan dengan NAR (New All Records) jelas tak sama. "Kita di lapangan sudah bergerak di NAR belum terverifikasi, jelas gak podo [tak sama]," sanggahnya.
Sutiaji juga membantah menutup-nutupi jumlah kematian dan bertindak untuk kepentingan politis. "Gak ono sing politis [Tak ada yang politis], tidak ada manipulasi data itu. Buktikan kalau manipulasi. Data itu, data yang di-update bukan.... jadi masuk data yang di NAR. Kok politis. Sopo sing ngomong politis? [Siapa yang bilang politis?]," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan, Husnul Muarif ikut menimpali. Kata dia, Satgas Covid-19 Kota Malang hanya mencatat kasus kematian bagi yang dalam perawatan di rumah sakit dan terkonfirmasi melalui uji usap atau swab test PCR.
"Ada daftarnya di kita, sehingga yang kita rilis adalah kasus meninggal dalam perawatan," kata Husnul.
Husnul mengakui warga yang meninggal saat isolasi mandiri apalagi tanpa pantauan Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat tidak tercatat dalam sistem informasi. Kasus meninggal tersebut, katanya, tetap dicatat Dinas Kesehatan, tetapi nama tersebut tidak masuk daftar dalam NAR.
Sejauh ini, Case Fatality Rate (CFR) atau rasio orang yang meninggal dari total yang terinfeksi Covid-19 Kota Malang turun menjadi 7,8% dari sebelumnya 10,1%. "Kesembuhan kita terakhir turun kurang dari 80%," ujar Husnul.
Utak-atik definisi kematian Covid-19
Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif menilai pemerintah berupaya "mengutak-atik" definisi kematian Covid-19 yang berimplikasi terhadap laporan data yang ditampilkan.
"Nah, ini tendensi adanya kepentingan politis dalam konteks biar daerahnya tidak dianggap tingkat kematiannya tinggi," kata Arif, sambil melanjutkan, "Masyarakat akan mengalami persepsi risiko yang bisa keliru, mengira-ngira daerahnya zona kuning, hijau, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Ini membahayakan."
Dugaan silang sengkarut pendataan daerah lain juga menjadi perhatian LaporCovid-19. Seperti data yang tidak sinkron di Sulawesi Selatan, angka kematian yang minus di Jawa Tengah per 8-9 Desember 2020 hingga provinsi Maluku Utara yang tak menampilkan data Covid pada publik.
Data yang masuk dari daerah ini kemudian digunakan pemerintah pusat sebagai pijakan dasar merumuskan kebijakan mengenai penanganan Covid-19.
"Lalu bagaimana kebijakan penanganan kita? Ya, pasti akan bermasalah," lanjut Arif.
Jurang angka kematian
Data yang disajikan pemerintah pusat hingga daerah menjadi satu-satunya rujukan masyarakat, LSM, komunitas internasional, ahli dan akademisi untuk memetakan, memprediksi dan membuat indeks risiko suatu wilayah.
Namun sejauh ini tak semua pemerintah daerah melakukan data terbuka mengenai Covid-19, demikian laporan KawalCovid-19.
Data terbuka merujuk pada ketersediaan data yang bisa diakses dengan mudah dan diolah kembali oleh publik.
KawalCovid-19 adalah kumpulan relawan yang berinisiatif mengawal penanganan Covid-19 sejak 1 Maret 2020, atau sehari setelah pengumuman dua kasus positif pertama di Indonesia.
Koordinator Data KawalCovid-19 Ronald Bessie mengklaim komunitasnya mengumpulkan data-data dari pemerintah daerah — kabupaten, kota dan provinsi. Namun, tak semua pemerintah daerah menyediakan data yang mudah diaskes karena bentuknya bukan dalam numerik, tapi dalam bentuk teks, video dan gambar.
"Diinput secara manual dari teks, video, gambar, tabel, Excel," kata Ronald kepada BBC News Indonesia.
BBC News Indonesia tak bisa melakukan kroscek seluruh data dari 514 kabupaten dan kota seluruh Indonesia dari kumpulan data KawalCovid-19, namun secara acak menemukan sejumlah kesesuaian data.
Data yang ditampilkan KawalCovid-19 adalah data H+1 dari laporan harian per daerah, hal yang diamini oleh Ronald Bessie.
"Kadang-kadang di KawalCovid [data-nya] rapelan. Ada satu provinsi muncul angka yang lebih besar. Karena dia tidak update selama satu minggu, dua minggu, atau mungkin sampai 3 hari," kata Ronald merujuk pada situs Covid-19 milik Provinsi Papua.
Hijau di luar, merah di dalam
Kendati demikian, KawalCovid tak punya pilihan selain merujuk pendataan harian di tingkat kabupaten, kota hingga provinsi selama masa pandemi.
Dari sini pun, KawalCovid-19 menemukan angka kematian Covid-19 yang dirilis pemerintah pusat lebih sedikit dari laporan pemerintah daerah.
Data kematian terpaut hampir 24% atau per 25 Juli 2021, perbedaan tersebut mencapai 19.857 kasus. Per tanggal tersebut, data kematian yang dihimpun KawalCovid-19 mencapai 103.136, sementara pemerintah pusat 83.279 kasus.
Jika disandingkan, maka data pemerintah pusat terlambat hampir tiga minggu dari laporan rekapitulasi data pemerintah daerah.
"Kami selalu mencatat data kematian lebih cepat dari pada data kematian yang dirilis versi pemerintah [pusat]. Untuk menentukan kecepatan, kita untuk lebih responsif dalam menetapkan mana yang perlu kita batasi, mana yang perlu berjalan," kata Ronald.
"Ini seperti semangka. Hijau di luar, dalamnya merah. Tapi di satu sisi, pemerintah pusat kalau [datanya] terlambat kan jadinya hijau di luar, tapi merah di dalam."
Keterlambatan dan ketiadaan pelaporan
Juru bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi tak menampik adanya perbedaan data yang ditampilkan pusat dan daerah.
Kata dia, pemerintah daerah menggunakan dua sistem pelaporan data terkait Covid-19. Pertama, secara manual, kedua melalui sistem yang ia sebut "national all report".
Persoalannya, kata Nadia, sebagian pemerintah daerah hanya melakukan pencatatan melalui situs masing-masing tanpa melaporkan ke Kementerian Kesehatan. Misalnya, ketika terdapat suspek Covid-19 meninggal dunia, tapi hasil laboratorium baru keluar beberapa hari kemudian. Tapi ini tidak dilaporkan ke pusat.
"Tapi kalau kemudian tidak ditindaklanjuti, tidak dilaporkan, tapi mereka melaporkan di website-nya mereka masing-masing, ini yang menjadi kendala kenapa terjadi perbedaan data tersebut," kata Nadia.
Selain itu, Kemenkes hanya melaporkan jumlah kematian yang sudah pasti karena Covid-19 yang hasilnya sudah melalui laboratorium. Sementara, mereka yang menjadi suspek dengan gejala Covid-19 hanya masuk pendataan.
"Kita kan tidak mau ada anggapan bahwa kita meng-covid-kan orang. Kita buat begitu juga, masyarakat sudah bilang kita meng-covid-kan orang. Jadi kasus kematian kita adalah benar-benar kasus kematian yang betul-betul confirm positif Covid," kata Nadia.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/413/2020, definisi kematian Covid-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus konfirmasi/probable Covid-19 yang meninggal. Kasus probable adalah mereka yang mengalami ISPA berat, gangguan pernapasan akut dengan gambaran klinis yang meyakinkan terinfeksi virus corona dan belum ada hasil laboratorium RT-PCR.
Namun, definisi kematian probable ini hanya digunakan pemerintah untuk pencatatan, bukan bagian dari pelaporan kasus kematian Covid-19.
"Dicatat, kita catat, tapi disepakati adalah kasus yang konfirm yang dimasukkan. Biar datanya lebih valid saja, bahwa ini kasus yang ada hasil laboratoriumnya," kata Nadia.
Penurunan tren kasus bukan indikasi aman
Satgas Covid-19 mencatat penurunan tren kasus Covid-19 pasca pemberlakuan PPKM darurat pada 3-25 Juli 2021. Belakangan, pemerintah mengubah nomenklatur PPKM darurat menjadi PPKM level 4, 3, 2, dan 1 untuk kebijakan yang diberlakukan per 26 Juli-2 Agustus 2021.
Semakin rendah levelnya, maka semakin longgar kebijakan di suatu wilayah. Misalnya, untuk Level 3, pusat perbelanjaan atau mal bisa dikunjungi dengan ketentuan 25% kapasitas yang tersedia.
Bagaimanapun, Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini mengatakan tren kasus ini tak bisa dijadikan patokan untuk memprediksi situasi di lapangan. Pasalnya, angka kematian tetap tinggi.
"Tapi di setiap angka kematian, naik semua. Jadi itu yang berbahaya, jadi yang dites kurang, positivity rate naik, angka kematian naik. Jadi, kasus turun ini tak bisa dijadikan indikasi bahwa aman," kata Nuning kepada BBC News Indonesia.
Sejak awal Januari 2021, kasus Covid-19 di Indonesia tak pernah terkendali. Hal ini terlihat dari positivity rate yang tak pernah berada di bawah 5% atau angka terkendali yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Positivity rate adalah persentase kasus positif dari orang-orang yang menjalani tes, baik swab PCR maupun tes cepat molekuler (TCM).
Nuning berada di belakang aplikasi Covid Meter, situs yang dirancang untuk menampilkan dinamika penyebaran Covid-19 di 34 provinsi di Indonesia. Aplikasi yang disponsori Kemenristek-BRIN ini memuat prediksi penyebaran kasus hingga kematian yang diperbarui setiap satu pekan.
Simulasi penghitungan ini dikatakan hanya untuk keperluan edukasi dan penelitian. Datanya bersumber dari KawalCovid-19.
Berdasarkan proyeksi Covid Meter, angka kematian karena Covid-19 masih terus meningkat, begitupun jumlah kasusnya.
Sejauh ini Nuning belum bisa memprediksi kapan krisis pandemi di Indonesia akan berakhir.
"Kemudian kalau pun yang ditemukan setelah dites itu banyak yang negatif, itu baru aman. Rasio tes naik, positivity rate turun, nah itu bisa terkonfirmasi kondisi aman," katanya.