Suara.com - Sebelum pandemi datang menyerang, kaum transpuan di Indonesia sudah termarjinalkan, kerapkali luput dari negara. Kini, ketika covid-19 menerjang, mereka semakin dalam jatuh dalam palung kemiskinan.
JENNY MIKHA, seorang waria atau transpuan yang tinggal di Yogyakarta, baru menyelesaikan isolasi mandiri selama dua minggu saat dihubungi ABC Indonesia, Selasa (27/07).
Jenny mengaku bersyukur bisa kembali sehat dan mendapat bantuan selama ia melakukan isolasi mandiri.
“Awalnya saya enggak mau cerita kalau saya sakit, ya saya pikir saya masih bisa tangani sendiri," kata Jenny.
Baca Juga: Ketika Donasi Jadi Tumpuan Hidup Transpuan di Tengah Pandemi Covid-19
"Tapi karena lagi begini situasinya, saya hubungi Mami Rully kemudian diminta untuk isoman,” kata Jenny.
Selama isoman, Jenny mendapat bantuan logistik dan obat-obatan yang dipasok oleh Mami Rully.
“Dari pemerintah sama sekali enggak ada. Semuanya dari donasi, dari solidaritas aja.”
Transpuan kehilangan pendapatan
Mami Rully yang disebut-sebut Jenny adalah Rully Malay, koordinator Waria Crisis Center Jogjakarta yang juga aktivis di lembaga swadaya masyarakat (LSM) Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya).
Menurut Rully, ada 18 transpuan meninggal dunia di Yogyakarta pada masa pandemi COVID-19.
Baca Juga: Viral Foto Kondisi Tenda Darurat RSUP Dr Sardjito Banjir dan 4 Berita SuaraJogja
"Teman-teman ini kebanyakan meninggal dunia bukan karena COVID, tetapi lebih karena dampak enggak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi dan makanan bergizi," kata Rully kepada ABC Indonesia.
Menurut Rully, banyak transpuan yang mengalami depresi dan penyakit penyerta lain, seperti serangan jantung dan stroke, yang dipicu oleh situasi ekonomi yang sulit.
Rully mencontohkan para transpuan yang berprofesi seperti pengamen, make up artist, atau pekerja di salon, mereka biasanya mendapat rata-rata Rp300.000 sampai Rp1.000.000 rupiah per bulan.
Tapi kini sebagian besar hanya bisa mengandalkan bantuan solidaritas untuk bisa hidup.
“Dulu kami masih bisalah bertahan dengan kondisi yang pas-pasan, tapi sejak pandemi ini memang susah, apalagi setelah lembaga donor juga enggak ada.”
Ia akhirnya berinisiatif membuka dompet donasi untuk para transpuan di Yogyakarta yang hasilnya disalurkan salah satunya kepada Jenny Mikha.
Donasi yang berhasil dikumpulkan oleh Rully dan rekan-rekannya adalah sebesar Rp146.147.161.
"Pengeluaran sampai hari ini ada sekitar Rp58 juta, dan kami ada saving Rp70 juta sebagai antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama bila ada kematian atau pengurusan jenazah dan pemakaman" jelasnya.
"Juga rencana menyewa ruangan untuk shelter alternatif," kata Rully kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
Bertahan dengan persediaan beras dan mie instan
Kondisi yang serupa dituturkan oleh Yulianus Rettblaut, yang biasa disapa Mami Yuli.
Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia, yang juga mengelola rumah singgah bagi para transpuan di Depok, Jawa Barat, mengatakan virus corona membuat kondisi mereka yang sebelumnya sudah sulit menjadi kian terpuruk.
“Sebelum pandemi ini aja kita udah pada susah, apalagi setelah ini, apalagi setelah diperpanjang lagi [PPKM] sekarang.”
Mami Yuli menjelaskan saat ini rumah singgahnya mendampingi 831 warga transpuan yang kebanyakan lansia dan tersebar di wilayah Jabodetabek.
Namun, hanya 17 orang yang kini tinggal di rumah singgah, sementara delapan orang transpuan lainnya bekerja dan tinggal di salon yang dikelolanya.
"Hampir enggak ada pelanggan yang datang ke salon. Ini lagi bingung bagaimana harus bayar kontrakan salon karena sudah dua bulan nunggak,” kata Yuli.
Selain itu, Yuli mengatakan Ketua RT di rumah singgah sudah mengingatkannya hanya boleh maksimal 10 orang yang datang per ke rumah singgahnya selama pandemi.
"Tapi namanya rumah singgah, kita enggak bisa kontrol berapa orang yang bolak-balik datang dan kalau ada yang perlu bantuan, masa saya tolak?”
Sama halnya dengan Rully, Yuli kini sebagian besar mengharapkan donasi atau bantuan dari berbagai pihak untuk bisa menghidupi para transpuan di rumah singgahnya.
“Sekarang masih ada sisa 35 kilogram beras untuk bertahan. Itu pun banyak yang datang minta. Tapi ini kan untuk stok kami juga di sini, jadi bagaimana ini,” ujar Yuli.
Selain dari bantuan donasi, Yuli juga meminta para transpuan yang tinggal di salon atau di rumah singgahnya untuk membuat dan berjualan kue-kue untuk menutup kebutuhan.
“Bikin donat atau pisang goreng, dijual di warung kalau pagi, yang penting [dapat uang] untuk beli beras atau mie [instan] ya sudah, kita bertahan aja dulu.”
Dukcapil minta transpuan tak ragu datang untuk didata
Rully Malay mengatakan, penyebab sejumlah transpuan yang meninggal dunia di Yogyakarta adalah kemiskinan, kurang gizi, ditambah dengan kesulitan mengurus akses bantuan karena tak ada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Jenny Mikha asal Subang, Jawa Barat yang sudah sejak tahun 2008 tinggal di Yogyakarta adalah salah satu dari banyak transpuan di Yogyakarta yang tidak memiliki bukti identitas.
Menurutnya, ada beberapa penyebab para transpuan tidak memiliki KTP.
“Sebenarnya kalau sudah berdomisili minimal setahun, atau kalau ada surat pengantar dari tempat asal, kan sudah berhak.”
Akibatnya, menurut Jenny, karena tidak memiliki KTP, bukan hanya ia kehilangan akses ke layanan kesehatan dan bantuan, tapi juga kehilangan haknya sebagai warga negara seperti ikut Pemilu, atau bahkan membuka rekening tabungan di bank.
Juga memiliki KTP menjadi krusial saat sekarang di tengah pandemi.
“Kita kesulitan, karena dalam bulan ini saja ada sekitar 27 orang transpuan di Jakarta yang meninggal karena COVID, untungnya karena dimakamkan dengan protokol COVID, jadi tidak ada biaya yang dikeluarkan,” kata Yuli.
“Tapi ada ratusan dari transpuan yang saat ini isolasi mandiri kesulitan mendapat akses kesehatan, karena sebagian nggak punya KTP,” tambahnya.
Dan bukti identitas ini juga berpotensi menjadi masalah untuk para transpuan mengakses vaksinasi COVID.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Prof Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, selama ini pihaknya memberikan layanan yang inklusif kepada seluruh warga negara Indonesia, termasuk transpuan.
Namun, ia mengatakan ada juga hambatan dari internal transpuan yang mengaku sungkan datang ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
"Sehingga sekarang strateginya kami balik. Kami lakukan pendataan lebih dulu untuk bisa diketahui NIK [Nomor Induk Kependudukan] mereka," kata Zudan kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Ada kesalahpahaman di masyarakat yang mengatakan jika mereka tidak bisa mengakses bantuan karena enggak punya KTP, padahal sebenarnya yang penting NIK-nya, karena itu yang menjadi basis pelayanan publik di Indonesia."
Selain menjemput bola, Zudan meminta para transpuan untuk aktif, baik secara individu maupun kolektif untuk datang ke kantor Dukcapil untuk didata.
"Jangan ragu untuk datang ke kantor kami, dan teman-teman transpuan juga harus aktif memberikan datanya agar kami bisa mengecek, apakah mereka sudah terdaftar di daerah lain atau belum. Juga harus jujur soal nama, tanggal lahir, dan nama orangtua, supaya petugas juga enggak salah saat mengecek."
Menurut Zudan, Pihak Dukcapil kini telah bekerja sama dengan komunitas transpuan dalam pendataan penduduk.
Rully Malay berharap agar bukti identitas penduduk bagi transpuan dapat segera rampung sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara tidak terampas.
“Dengan demikian, mereka juga akan bisa mendapat bantuan sebagai stimulan,” kata Rully.
“Mungkin nampak kecil, tapi sangat berarti dalam situasi seperti ini, karena banyak sekali orang yang kehilangan akal dengan tidak adanya akses ke mana pun, sehingga kondisi psikologisnya terganggu dan mencari jalan sunyi masing-masing.”