Suara.com - Kalau tidak ada kebijakan strategis nasional luar biasa dan berkonsentrasi pada pemulihan kesehatan, Indonesia diprediksi menjadi negara terakhir di dunia yang keluar dari krisis wabah covid-19.
Sebabnya, sudah satu setengah tahun didera pandemi corona, kebijakan pemerintah lebih dipengaruhi kompromi politik serta ekonomi ketimbang kesehatan.
Menurut pengamat kebijakan publik, situasi tersebut dikhawatirkan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan dapat memicu aksi protes.
Namun, pemerintah menepis asumsi tersebut dengan menjanjikan penambahan uang untuk kesehatan melalui APBN 2022.
Baca Juga: Tak Terima SBY Dituduh Dalangi Tagar Jokowi Endgame, Kader Demokrat Sindir Partai Banteng
Sepanjang pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu setengah tahun ini, pemerintah Indonesia setidaknya telah menelurkan lima kebijakan.
Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret 2020, kemudian Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai Januari 2021.
Tak berselang lama pemerintah memberlakukan PPKM Mikro di seluruh provinsi yang mengatur hingga tingkat RT/RW. Setelah itu mengganti dengan PPKM Darurat pada awal Juli 2021 di provinsi Jawa-Bali lantaran melonjaknya kasus infeksi setelah Lebaran.
'Sarat kompromi'
Setelah habisnya jangka waktu penerapan PPKM Darurat, pemerintah memperpanjang dengan membuat aturan baru yakni PPKM level 1 hingga 4 sampai 2 Agustus mendatang.
Epidemilog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai seluruh kebijakan pandemi Indonesia banyak dipengaruhi oleh kompromi politik dan ekonomi ketimbang kesehatan.
Baca Juga: Mati Suri karena Digusur, Cerita Indekos jadi Ruang Kelas Bagi Anak-anak Miskin di Grogol
Ia mencontohkan kengototan pemerintah menggelar pilkada serentak pada Desember 2020 meski banyak penolakan dari pakar kesehatan.
Tapi selalu lemah pada pelaksanaan 3T (pengetesan, pelacakan, perawatan).
Pengamatannya hingga saat ini Indonesia masih berkutat pada rasio 1 banding 1 dalam melakukan pelacakan kontak erat Covid-19, jauh dari standar Badan Kesehatan Dunia, WHO, 1 banding 30.
"Di tahun pertama pemerintah meremehkan pandemi dan keputusan yang diambil tidak berbasis sains. Tahun kedua, mau jalan di dua kaki yaitu kesehatan dan ekonomi tapi tidak seimbang. Kesehatan berada di kaki yang lemah. Testing rendah, tracing sekadarnya, dilakukan pembatasan tapi sangat longgar," ujar Dicky Budiman kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (27/07).
Kebijakan yang sarat kompromi itu, kata dia, menimbulkan dampak besar pada sektor kesehatan. Indonesia berada di posisi teratas sebagai penyumbang kasus tertinggi harian dan kematian di dunia dalam beberapa hari terakhir.
Data Kementerian Kesehatan pada Selasa (27/07) menyebutkan tambahan kasus virus Corona sebesar 45.203 orang.
Adapun angka kematian lagi-lagi mencatatkan rekor tertinggi selama pandemi yakni 2.069.
"Inilah yang dihadapi Indonesia karena sudah menempatkan pilihan strategi yang salah dari awal sehingga masalah kesehatan terlanjur membesar. Mau tidak mau kita akan melihat kasus kematian dari hasil kompromi ini, kematian yang sangat banyak."
Dicky memprediksi Indonesia akan menjadi negara terakhir di dunia yang keluar dari krisis pandemi Covid-19 jika tidak ada "perubahan kebijakan strategis yang luar biasa".
Seperti menggenjot pengetesan dan pelacakan hingga tiga juta orang dalam sehari, menerapkan karantina wilayah, dan mempercepat vaksinasi.
"Tampaknya Indonesia akan selesai belakangan dari situasi krisis pandemi. Ini bukan estimasi yang mengenakkan, tapi kondisi saat ini mengarah ke situ."
"Sebab Indonesia bukan tidak mungkin akan menghasilkan suatu varian virus baru dari pergerakan manusia yang tidak terkendali dari pulau-pulau lain. Potensi itu besar seperti pada kasus flu burung muncul strain super."
"Ketika swine flu juga Indonesia yang terakhir keluar dari wabah."
'Seperti tak ada skenario kebijakan yang matang'
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Zuliansyah, menilai pemerintah tidak memiliki skenario kebijakan yang matang meski pandemi sudah setahun lebih berjalan.
Kebijakan yang kerap dikeluarkan, justru katanya, diambil tanpa mitigasi dan kerap mengikuti opini publik. Semisal vaksin individu berbayar yang akhirnya dibatalkan karena ditentang masyarakat.
"Saya khawatir belum ada skenario kebijakan (pandemi) sampai dua hingga tiga tahun ke depan. Pemerintah masih meraba-raba dengan pandemi yang berlangsung panjang bahkan ada gelombang varian baru, saya belum lihat skenario kebijakan ekonomi dan kesehatan," imbuh Zuliansyah kepada BBC News Indonesia.
"Padahal skenario ini seharusnya sudah dimiliki pemerintah terlepas situasinya tidak bisa diprediksi."
Jika kondisi ini terus berlanjut, kata Zuliansyah, maka ia khawatir "tingkat kesabaran masyarakat" akan meledak sehingga muncul ketidakpercayaan kepada pemerintah.
"Masyarakat mulai jenuh dengan kondisi ini. Kalau tidak diantisipasi dengan berbagai macam skenario kebijakan, saya khawatir akan terjadi demo seperti di negara lain."
Apa kata pemerintah?
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Raden Pardede, menampik anggapan itu.
Ia mengatakan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam membuat kebijakan pandemi.
"Ini antara life and livelihood. Itu pilihan yang sulit dalam hal ini pemerintah memutuskan gas dan rem. Tapi masalah kesehatan tetap diutamakan, bukan ekonomi," tutur Raden Pardede kepada BBC News Indonesia.
Pemerintah, sambungnya, mustahil menerapkan kebijakan karantina wilayah karena ketiadaan dana.
Oleh karena itu strategi terkini yang digencarkan pemerintah adalah mempercepat vaksinasi sembari memperbaiki fasilitas layanan kesehatan dan memperbanyak persediaan obat-obatan.
"Kalau membuat mereka total tidak bergerak, rasanya itu utopis. Idealnya bisa begitu, tapi kita tidak dalam keadaan ideal."
Selain itu, kata Raden, pemerintah juga sedang menggenjot pengetesan dan pelacakan di daerah-daerah yang angka kasus infeksinya tinggi.
Untuk tahun depan pemerintah berancang-ancang untuk menambah dana di sektor kesehatan dalam APBN.
"APBN tahun depan kemungkinan besar ditambah untuk memperbaiki fasilitas kesehatan. Lalu bagaimana kita memproduksi sebagian vaksin di dalam negeri dan mendorong universitas-universitas untuk menggairahkan research and development untuk vaksin dan obat-obatan."
"Jadi fasilitas rumah sakit, obat, dan vaksin harus diperbaiki tahun depan," katanya.