Cerita Bu Guru Terjun Urusi Jenazah Covid: Tegang di Hari Pertama hingga Ingat Mati

Senin, 26 Juli 2021 | 16:09 WIB
Cerita Bu Guru Terjun Urusi Jenazah Covid: Tegang di Hari Pertama hingga Ingat Mati
Ilustrasi--pemulasaraan jenazah yang dilaksanakan di Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keputusan wanita bernama Ranni Novianti Yasinta menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19, memang membutuhkan nyali besar. Sebab, pekerjaan itu penuh risiko. Namun, alasan guru di salah satu sekolah dasar (SD) di kawasan Depok itu mau menjadi relawan pemulasaraan karena tergerak hatinya melihat banyak kasus warga yang terpapar Covid-19.  

Pernyataan itu diungkap Ranni ketika diwawancara oleh Suara.com pada Jumat lalu. 

“Jadi saat pertama kali gabung itu lagi hektic di kota Depok sendiri. Kemudian kurang tenaga relawan akhirnya saya mengajukan diri,” kata Ranni.

Dia pun mengaku merasa tertantang dengan pekerjaan untuk mengurus jenazah, apalagi warga yang meninggal dunia akibat Covid-19. Dia juga mengakui tak memiliki bekal cukup untuk menekuni profesi itu karena latar belakang pendidikannya bukan di bidang kesehatan.  

Baca Juga: Sehari sampai 3 Jenazah, Petugas Pemulasaraan Jakarta Akui Banyak Pasien Isoman Meninggal

“Jadinya kayak ada tantangan tersendiri,” katanya. 

Degdegan di Hari Pertama 

Pada 23 Juni lalu, merupakan hari pertama bagi Rani untuk terjung langsung menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19 di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Di hari pertama itu, Ranni mengaku sangat tegang. 

“Rasa khawatir pasti adalah, takut terpapar, apalagi ini jenazah Covid-19 langsung,” kata dia. 

Akan tetapi, Ranni mengaku ketika itu belum dilibatkan langsung untuk mengurus jenazah pasien Covid-19. Menurutnya, penanganan jenazah Covid-19, tidak berbeda jauh dengan mayat pada umumnya, hanya pada proses pemandiannya menggunakan cairan disinfektan yang disemprotkan dan pengafanannya yang harus dilapisi plastik.  

Baca Juga: Cerita Petugas Pemulasaraan Dipaksa Keluarga Jenazah Covid Tanggung Jawab Dunia-Akhirat

Menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19, Ranni bersama biasa menangani pasien yang meninggal di rumah saat isolasi mandiri. Terkadang juga membantu penanganan di rumah sakit. Dalam sehari, Ranni bersama timnya, dapat mengurus delapan sampai sembilan jenazah. 

Ranni Novianti Yasinta, seorang guru muda (Sisi paling kiri) menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. (Ist)
Ranni Novianti Yasinta, seorang guru muda (Sisi paling kiri) menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. (Ist)

Bahkan pada perayaan Idul Adha lalu, mereka harus tetap bertugas, pada saat itu ada sekitar 12 jenazah yang harus diurus. 

“Jadi dalam beberapa waktu ini angkanya naik- turun,” jelas Ranni.  

Sering Ditolak Ahli Waris

Selama bertugas sebagai relawan, tak jarang Ranni dan timnya mendapatkan penolakan dari ahli waris. Pihak keluarga meminta agar pemulasaraan jenazah dilakukan seperti mayat pada umumnya, tidak dengan protokol kesehatan. 

“Ada saja warga yang menolak, karena menilai keluarga mereka meninggal bukan karena Covid-19 atau menganggap di-Covid-kan,” katanya. 

Dalam situasi itu, Ranni bersama timnya harus melakukan upaya persuasif, memberikan edukasi dan menjelaskan risiko bila jenazah diurus tanpa protokol kesehatan. Beruntungnya ada ketentuan antara Tim Satgas dengan pihak keluarga. Ahli waris tidak dapat menuntut Ranni dan timnya bila terjadi sesuatu hal yang tak dinginkan pada kemudian hari. Dalam arti ada perjanjian hitam di atas putih bermaterai.

Hal itu berlaku kepada ahli waris  yang menerima jenazah keluarganya  ditangani dengan protokol kesehatan maupun yang menolak. 

“Bagi yang menerima tinggal ceklis tanda menerima di kolom perjanjian. Bagi yang menolak juga tinggal ceklis menolak. Tapi segala risikonya menjadi tanggung jawab mereka,” kata dia.

“Yang penting kami sudah memberikan penjelasan, penolakan juga tidak bisa dilakukan dengan mudah, karena prosedurnya banyak dan ribet,” imbuh Ranni.

Pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Cikadut, Kota Bandung, Rabu (27/1/2021). [Foto: Ayobandung.com]
Pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Cikadut, Kota Bandung, Rabu (27/1/2021). [Foto: Ayobandung.com]

Tak Lupa Tugasnya Sebagai Guru 

Mengemban tugas sebagai relawan menuntut Ranni harus bisa membagi waktu  dengan profesi utamanya sebagai seorang guru.

“Jadikan saya hanya sebagai relawan, profesi utama sebagai guru tetap saya jalankan,” ujarnya. 

Beruntung, karena proses belajar mengajar tatap muka secara langsung ditiadakan, membuatnya  memiliki banyak waktu. 

Sejak pembelajaran dilakukan secara daring, durasi proses mengajar  menjadi lebih singkat, sehingga sisa waktu dimanfaatkan Ranni untuk bertugas sebagai relawan. 

“Biasakan mengajar sampai pukul tiga, tapi sekarang hanya sampai jam 12. Jadi kami guru-guru pulang lebih awal,” kata dia.

Bikin Ortu Syok

Lantaran khawatir ditolak keluarga besarnya, Ranni sempat merahasiakan pekerjaannya sebagai relawan pemulasaraaan jenazah Covid-19. Dia pun mengaku tidak memberitahukan pada orang tuanya saat mendaftarkan diri sebagai relawan. Namun, pada akhirnya, Ranni akhirnya berterus terang kepada keluarganya dan diingatkan soal risikonya. 

“Jadi pas saya kasi tahu Mama, beliau kaget. Terus bertanya, ‘Kamu siap?’ saya jawab ‘Siap tidak siap harus siap, saya jawab gitu,” ujar Ranni mengingat momen itu. 

Relawan pemulasaraan jenazah Covid-19 tengah istirahat. (Ist)
Relawan pemulasaraan jenazah Covid-19 tengah istirahat. (Ist)

Pada saat itu pula, dia mencoba meyakinkan orang tuanya, hingga mendapatkan restu. Namun Ranni dipesankan untuk tidak salah niat dengan pilihannya tersebut. Dalam arti niatnya memang harus membantu orang lain, bukan karena dasar adanya imbalan. 

“Jadi hal yang paling ditekankan juga, jangan sampai salah niat. Jadi memang di rumah itu yang selalu diingatkan keluarga, apalagi yang dalam tugas ini saya menangani mereka yang sudah tidak bernyawa,” ujar Ranni. 

kepada keluarga besarnya, Ranni sempat merahasiakan selama tiga minggu bertugas sebagai relawan. Hingga suatu waktu ada salah satu keluarganya, melihat Ranni turun dari ambulans diantar usai bertugas. 

Kebetulan tempat tinggalnya berdampingan dengan rumah keluarga besarnya. 

“Karena sudah ketahuan akhirnya saya jujur, mungkin juga sudah waktunya mereka tahu,” kata Ranni. 

Tidak disangka, pilihannya mendapatkan dukungan. Keluarga besarnya tidak mempermasalahkan pilihan yang diambilnya. Bahkan saat akan berangkat tugas, dia selalu diingatkan untuk menjaga kesehatan. 

“Mereka mendukung, selalu ingatkan jaga kesehatan, minum vitamin,” kata Ranni. 

Ingat Kematian

Dari banyak jenazah yang ditangani Ranni, membuatnya semakin mengingat kematian. Tugasnya ini memacu dirinya, untuk meningkat ibadah kepada Tuhan. Sebab kematian itu bisa saja terjadi padanya, tanpa mengenal waktu dan tempat. 

“Jadi pelajaran yang saya dapat, di mana pun, kapan pun, berbuat baik saja. Kita enggak tahu mati kapan, di mana, siapa yang mengurus. Do Your Best. Jangan sampai menyakiti orang,” ujar Ranni. 

Warga Bintan mengebumikan pasien COVID-19 tanpa alat pelindung diri yang lengkap. (ANTARA/Nikolas Panama)
Warga Bintan mengebumikan pasien COVID-19 tanpa alat pelindung diri yang lengkap. (ANTARA/Nikolas Panama)

Di samping itu, Ranni juga berharap agar masyarakat menaati protokol kesehatan, sehingga tidak ada lagi korban dari keganasan Covid-19. Serta dia tak perlu lagi bertugas mengkafani jenazah Covid-19. 

“Mungkin kasarnya gini, jangan sampai ada lagi orang-orang  yang masuk peti jenazah, meninggal karena Covid-19,” tegasnya. 

Di ujung wawawacara dengan Suara.com, Ranni mengaku tidak menyesal dengan pilihan yang diambilnya sebagai relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. 

Dia juga tak lupa memberikan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang sudah memberikan arahan dan kepercayaan sebagai petugas pemulasaraan jenazah.

“Saya ingin menyampaikan ucapan terima kepada Bu Mahwat dan Nyai Kuru yang sudah memberikan penjelasan tahap demi tahap dengan sangat jelas,” tutup Ranni. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI