Suara.com - Presiden Tunisia Kais Saied menguasai gedung parlemen setelah memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi dengan langkah yang mengejutkan.
Aksi Kais Saied didukung oleh pendukungnya, sementara pesaing politiknya mengutuk aksi itu dan menyebutnya sebagai serangan demokrasi.
Presiden Kais Saied mengatakan pada hari Minggu bahwa otoritas eksekutif akan diambil alih dengan perdana menteri baru setelah adanya protes atas penanganan pandemi COVID-19 dan ekonomi.
Menyadur Al Jazeera Senin (26/07), ini adalah tantangan terbesar bagi konstitusi 2014 yang membagi kekuasaan antara presiden, perdana menteri dan parlemen.
Baca Juga: Kim Jong Un Dikabarkan Pingsan Hingga Kudeta, Ini Hasil Pengamatan Korsel
"Banyak orang tertipu oleh kemunafikan, pengkhianatan dan perampokan hak-hak rakyat," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di media pemerintah.
"Saya memperingatkan siapa pun yang berpikir untuk menggunakan senjata dan siapa pun yang menembakkan peluru, angkatan bersenjata akan merespons dengan peluru," tambahnya.
Dia juga menangguhkan kekebalan anggota parlemen, bersikeras tindakannya sejalan dengan konstitusi.
Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi menuduh Kais Saied melakukan kudeta terhadap revolusi dan konstitusi .
"Kami menganggap lembaga-lembaga itu masih berdiri dan pendukung Ennahdha dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," jelas Ghannouchi, yang mengepalai Ennahdha.
Baca Juga: Kasus Rencana Kudeta, Mantan Perdana Menteri Pantai Gading Divonis Penjara Seumur Hidup
"Apa yang dilakukan Kais Saied adalah kudeta negara terhadap revolusi dan konstitusi, dan anggota Ennahdha dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," tulis Ennahdha dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya.