Gigit Jari Sekolah Ditutup, Cerita Pengelola Kantin Putar Otak untuk Hidup di Masa Pandemi

Jum'at, 23 Juli 2021 | 17:27 WIB
Gigit Jari Sekolah Ditutup, Cerita Pengelola Kantin Putar Otak untuk Hidup di Masa Pandemi
Suasana salah satu sekolah SD di Jaksel yang terpaksa ditutup selama pandemi Covid-19. (Suara.com/Yaumal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penutupan sekolah di wilayah Jabodetabek masih terus berlangsung hingga saat ini. Tanda-tanda diberlakukannya kembali pembelajaran tatap muka jauh dari harapan. Terlebih melihat angka kasus Covid-19 yang meningkat sejak Juni lalu. 

Hal itu otomatis semakin membuat para pengelola kantin di sekolah-sekolah gigit jarit. Terhitung, sejak awal 2020, saat Covid-19 masuk ke Tanah Air, mereka sudah tidak lagi menjalankan usahanya.

Norma adalah salah satu pemilik kantin di sekolah dasar di Bekasi, Jawa Barat. Ibu dari dua orang anak ini harus merelakan pendapatan sekitar Rp500 ribu – Rp700 ribu perhari, hilang begitu saja. 

Kekinian untuk membiayai kebutuhan keluarganya sehari-hari, hanya bergantung dari penghasilan suaminya yang bekerja sebagai karyawan swasta.

Baca Juga: Kemendikbudristek Luncurkan Program Guru Belajar dan Berbagi Seri Panduan Pembelajaran

Karena sumber pemasukan keluarga hanya dari suaminya saja, Norma mau tidak mau harus bijak mengelola keuangan. 

“Jadi harus pintar-pintarnya saya juga, cukup enggak cukup harus cukup,” kata Norma saat dihubungi Suara.com, Jumat (23/7/2021). 

Norma sempat mencari alternatif lain, dia berdagang makanan secara online, namun hal itu tidak bertahan lama mengingat daya beli masyarakat yang menurutnya juga mengalami penurunan karena dampak Covid-19. 

“Jadi enggak nutup dari penjualan ke modal, jadi mau enggak mau mati (berhenti),” ujarnya. 

Pasrah Pendapatan Lenyap

Baca Juga: Pengetatan PPKM Mikro, Rencana Sekolah Tatap Muka di Pekanbaru Dievaluasi

Norma mengungkapkan, sempat merasa senang, saat pemerintah berencana membuka sekolah kembali. Namun, apa daya kenyataan berkata lain, dia harus kembali mengelus dada. 

“Sempat ada secerah harapan itu. Eh ternyata diundur lagi. Ya sudah sekarang sudah pasrah,” ujar Norma. 

Sementara itu, Supriatna pengelola kantin di SD Negeri di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan juga bernasib sama.

Pendapatannya kurang lebih Rp200 ribu setiap harinya juga hilang begitu saja bersamaan dengan ditiadakannya pembelajaran tatap muka di sekolah. 

Kekinian untuk bertahan hidup dan membiayai ketiga anaknya, Supriatna hanya mengandalkan gajinya setiap bulan sebagai penjaga sekolah. 

“Ya sudah itu saja (sumber pemasukan). Cukup enggak cukup. Ya dihemat-hemat saja,” ujarnya pasrah. 

Bahkan demi bertahan hidup, Supriatna harus menjual lemari es yang menjadi modal utamanya berjualan.

“Ya saya jual, buat apa? Sekolah juga tidak buka, mending dijual duitnya bisa dipakai,” kata Supriatna. 

Namun dengan adanya program bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah, Supriatna mengaku sangat terbantu.

“Lumayan dapat Rp300 ribu setiap bulan, bisa buat menutupi yang lain-lain,” ujarnya. 

Saat ini, baik Norma atau Supriatna hanya bisa berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, sehingga sekolah dapat melangsungkan pembelajaran tatap muka kembali. Dengan begitu aktivitas ekonomi mereka yang terhenti selama satu tahun lebih dapat berjalan kembali.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI