Warga Pasang Bendera Putih Tanda Menyerah saat Jokowi Janji Longgarkan PPKM

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Kamis, 22 Juli 2021 | 14:57 WIB
Warga Pasang Bendera Putih Tanda Menyerah saat Jokowi Janji Longgarkan PPKM
Pengendara melewati bendera putih yang dipasang di depan Hotel Rancabango, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (19/7/2021). (ANTARA/Feri Purnama)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah warga memasang bendera putih tanda sudah tak lagi sanggup kalau pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM Darurat yang kekinian diganti namanya menjadi PPKM Level 4.

Di Bandung dan Garut, Jawa Barat, asosiasi pedagang kaki lima, restoran, dan perhotelan mengibarkan bendera putih sebagai tanda mereka menyerah dengan situasi yang ada.

Sementara itu, pemerintah berjanji akan melonggarkan aturan PPKM mulai 26 Juli jika tren kasus menurun.  

Namun, epidemiolog mengkritik cara pemerintah melihat penurunan kasus, di tengah jumlah tes covid-19 yang semakin berkurang.

Baca Juga: Ketua DPR: Penanganan Covid-19 Harus Jujur dan Transparan agar Rakyat Percaya

'Dukung PPKM, tapi izinkan kami mencari rezeki'

Sejumlah gerobak bercat biro berjejer rapi tanpa isi di Jalan Cikapundung Barat, yang terletak dekat alun-alun kota Bandung, Jawa Barat.

Para pedagang kaki lima hanya duduk-duduk sambil mengobrol, seiring dengan aktivitas perdagangan yang nyaris mati. Hingga awal pekan, bendera-bendera putih berkibar di area itu.

Nandang Mulyana, pengurus Paguyuban PKL Cikapundung Barat mengatakan bendera itu dipasang karena para pedagang tak bisa berjualan sejak PPKM darurat. "Kami di sini benar-benar tidak berdagang karena PPKM Darurat. Akses jalan semua ditutup. Pembeli juga tidak ada, terus yang ojek online juga enggak bisa masuk karena aksesnya pada ditutup, jadi susah. 

"Jadi kami benar-benar enggak bisa buka usaha lagi. Tolonglah dari pemerintah, beri kelonggaran pada kami untuk bisa mencari rezeki dengan jualan," ujar Nandang.

Ia sendiri mengatakan sepakat dengan kebijakan pemerintah melakukan pembatasan, tapi ia berharap para pedagang tetap diakomodir untuk berjualan.

Baca Juga: Warga Sumut yang Ingin cek Penerima BST, Bisa Lihat di cekbansos.kemensos.go.id

Pedagang sop kambing di area itu, Efi Purwadi, juga mengeluhkan pendapatannya yang menurun nyaris 100%.

"Saya kan jualan mulai jam 05:00 sore, jam 06:00 jalanan ditutup. Jadi cuma punya waktu berjualan satu jam. Bagaimana coba?

"Iya kalau enggak hujan, kalau hujan gimana. Menjeritlah..." ujarnya.

Baik Nandang maupun Efi Mengaku hingga dua minggu pelaksanaan PPKM darurat belum mendapatkan bantuan sosial yang dijanjikan pemerintah.

Mereka mengaku hanya pernah mendapat sumbangan sembako dari pihak kepolisian setempat.

Meski demikian, setelah melakukan mediasi dengan perwakilan kecamatan, para pedagang sepakat menurunkan bendera dan spanduk putih itu.

'Kita nyerah'

Namun, di Garut, Jawa Barat bendera putih bergambarkan emoticon menangis masih berkibar di sejumlah jalan.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Garut, Deden Rohim menjelaskan makna bendera itu.

"Kita nyerah, menyerah...dengan mengibarkan bendera yang lagi nangis itu. Sudah tidak bisa lagi, mau berbuat apa? Itu refleksi hati. Kami mau tidak mau harus begitu gitu," ujar Deden.

Jika kondisi ini tak membaik, Deden mengatakan PHK karyawan akan menjadi opsi yang dilakukan setelah hampir satu tahun setengah bisnis berjalan "terseok-seok" katanya.

Meski mendukung penuh kebijakan PPKM darurat pemerintah, Deden mengaku pemerintah setempat tak pernah mengajak pihaknya berdiskusi mengenai kebijakan yang akan diambil juga solusi-solusi yang bisa dilakukan.

Selain itu, ia mengatakan, pemerintah juga tak pernah memberi insentif bagi para pengusaha terdampak, seperti keringanan pajak juga listrik.

Sebelumnya, pemerintah berjanji akan segera menggelontorkan bantuan pada para pelaku usaha pariwisata.

Namun, Deden mengaku hingga kini belum mendapatkannya.

Kemungkinan relaksasi tanggal 26 Juli

Di tengah keluhan sejumlah masyarakat itu, Presiden Joko Widodo berjanji akan melakukan relaksasi kebijakan segera, jika angka kasus menurun.

Ia mengeklaim saat ini penurunan kasus Covid-19 sudah terlihat.

"Kita selalu memantau, memahami dinamika di lapangan dan juga mendengar suara-suara masyarakat yang terdampak dari PPKM. Karena itu jika tren kasus terus mengalami penurunan, maka 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap," ujarnya dalam konferensi pers (20/07).

Pada hari Selasa (20/07), jumlah penambahan kasus Covid-19 berkisar di angka 38.000, menurun dari puncaknya di angka 57.000 kasus pada pekan sebelumnya.

Sebelumnya, Koordinator PPKM Darurat, Menteri Luhut Pandjaitan mengatakan berharap kebijakan PPKM dapat diterapkan hingga kasus turun di bawah 10.000.

Namun, target ini dikritik epdemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono yang mengatakan pemerintah harusnya fokus pada positivity rate atau persentase penambahan kasus positif dibagi jumlah orang yang diperiksa, alih-alih penambahan kasus baru.

"Menurut saya pemerintah salah ya... Kalau tesnya diperbanyak kemungkinan kasusnya tidak akan turun di bawah 10.000. Harusnya, targetnya positivity rate yang kurang dari 10%," ujarnya.

Saat ini, positivity rate Indonesia masih di kisaran 21%, atau sekitar empat kali lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.

Jumlah tes covid-19 sendiri terus menurun, hingga mencapai hanya sekitar 180.000 di hari Selasa (20/07), padahal di awal PPKM, pemerintah menargetkan peningkatan jumlah tes hingga 410.000 per hari.

Ketika angka kasus Covid-19 menyentuh angka 40.000 hingga 50.000-an, jumlah tes pernah mencapai sekitar 250.000.

'Jangan buru-buru relaksasi'

Dari sisi ekonomi, Teuku Riefky, ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, mengatakan pemerintah tak perlu buru-buru melakukan relaksasi jika kasus belum terkendali.

Jika itu dilakukan pemerintah, kemajuan pemulihan kesehatan yang telah dibangun akan jadi sia-sia, dan peningkatan ekonomi berkelanjutan akan sulit dicapai, ujarnya.

"Kita perlu pahami bahwa penanganan kesehatan, pemulihan kesehatan, sejatinya adalah kebijakan ekonomi yang paling ampuh saat ini.

"Kalau pemerintah tidak memprioritaskan apsek kesehatan, pemerintah tidak membantu aspek ekonomi. Kita lihat aspek ekonomi sempat tumbuh sebentar, lalu kemudian turun lagi," kata Teuku Riefky.

Ia juga mengakui di saat-saat seperti ini, bantuan ekonomi yang bisa diberikan pemerintah terbatas, misalnya hanya pada UMKM dan masyarakat yang paling terdampak secara ekonomi saja.

Indonesia, katanya, tak seperti beberapa negara maju yang bisa memberi bantuan gaji per bulan pada semua masyarakat.

Namun begitu, ia berharap, jika PPKM darurat bisa dilakukan dengan baik, yang disertai dengan pengawasan ketat di lapangan, kondisi kesehatan bisa pulih, hal yang akan berdampak positif pada ekonomi.

"Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa selesaikan dulu masalah kesehatan, baru perekonomian bisa pulih," ujarnya.

Sementara itu, dalam masa perpanjangan PPKM ini, pemerintah mengatakan akan mengalokasikan tambahan anggaran perlindungan sosial Rp55,21 triliun berupa Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, bantuan kuota internet, dan subsidi listrik.

Pemerintah juga memberikan insentif untuk usaha mikro informal sebesar Rp1,2 juta untuk sekitar 1 juta usaha mikro."Saya sudah memerintahkan kepada para menteri terkait untuk segera menyalurkan bansos tersebut kepada warga masyarakat yang berhak," kata Presiden Joko Widodo (20/07).

Bagaimana di negara lain?

Indonesia kini menjadi negara yang menyumbangkan kasus covid-19 tertinggi di kawasan Asia dan Asia Tenggara.

Namun, varian delta yang disebut lebih mudah menyebar membuat sejumlah negara tetangga juga menjalankan kebijakan pembatasan serupa.

Di Malaysia, kebijakan pembatasan telah dilakukan dari awal Juni.

Namun, Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mengatakan pembatasan akan terus dilakukan sampai kasus turun di bawah 4.000 dari jumlah saat ini di kisaran 10.000.

Di Singapura, pembatasan akan diperketat lagi mulai Kamis (22 Juli) hingga 18 Agustus untuk membendung lonjakan kasus di kalangan komunitas, sebagaimana dilaporkan The Strait Times.

Jurnalis di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk liputan ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI