Sosiolog: Pemerintah Tak Siap dengan Kebijakan PPKM, Masyarakat Jadi Korban

Rabu, 21 Juli 2021 | 15:05 WIB
Sosiolog: Pemerintah Tak Siap dengan Kebijakan PPKM, Masyarakat Jadi Korban
Ilustrasi--Penyekatan PPKM Darurat di Pos Kalimalang, Jakarta Timur. (Suara.com/Yaumal Asri)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah kembali memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat hingga Minggu (25/7/2021) mendatang.

Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rohadi menilai minimnya hak jaminan bagi kebutuhan masyarakat dalam menjalani aturan PPKM yang diperpanjangan akan berdampak pada konflik di lapangan.

Sigit menjelaskan bahwa PPKM Darurat itu sebagai kebijakan setengah hati yang dibuat pemerintah. Karena pemerintah belum bisa tegas untuk memilih prioritas antara pertimbangan ekonomi atau kesehatan.

"Maka kebijakan itu multitafsir antara pernyataan pejabat di pusat dan di lapangan. Sehingga dilapangan terjadi keributan, tindakan kekerasan dalam menerjemahkan keinginan pusat," kata Sigit saat dihubungi Suara.com, Rabu (21/7/2021).

Baca Juga: Aksi Tolak PPKM Darurat di Bandung Memanas Gara-gara Sosok Ini

Sigit juga melihat penyebab mobilitas masyarakat masih tinggi di tengah PPKM ialah karena 'urusan perut'. Di satu sisi ada perusahaan yang ingin tetap ada produksi supaya menghindari resiko gulung tikar dan di sisi lain ada juga masyarakat yang tetap bekerja karena tidak mau kehilangan pekerjaannya.

Kemudian ada yang paling terdampak adalah sektor informal yang mengandalkan pendapatan harian, seperti pedagang kaki lima.

Sejauh ini pemerintah pusat sudah menyiapkan bantuan sosial/bansos, namun lebih banyak disalurkan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah terdata sebelumnya di Kementerian Sosial. Sementara pada realitasnya, banyak warga non KPM yang membutuhkan karena tidak mendapat penghasilan di tengah PPKM.

Alhasil, yang terjadi justru konflik baru di lapangan. Di mana masyarakat kerap menentang para petugas seperti Satpol PP, polisi maupun TNI.

"Orang lapangan seperti Satpol PP, polisi jadi sasaran marah warga karena dia harus menghidupi anak dan istrinya. Kalau dia pulang enggak bawa uang, anak istrinya mau makan apa?" tanyanya.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Surabaya Mulai Turun Setelah PPKM Darurat

Sigit lantas mencontohkan pada negara-negara lain yang lebih antisipatif sebelum melakukan pembatasan yakni dengan mengabarkan perihal kebijakan tersebut jauh-jauh hari. Hal tersebut dilakukan karena mereka hendak menyalurkan bantuan terlebih dahulu untuk menjadi stok kebutuhan masyarakat sehari-hari selama pembatasan berjalan.

Menurutnya langkah itu juga bisa dilakukan pemerintah daerah di mana sebelum diberlakukan pembatasan itu sudah bisa mendata mana saja penduduknya yang dapat dipastikan terdampak saat kebijakan pembatasan diterapkan.

"Sehingga ketika diberlakukan lockdown maka seluruh orang diam di rumah kecuali ambulans, orang saki, hal-hal yang pokok yang esensial seperti keuangan itu tetap jalan yang lainnya di rumah," ungkapnya.

Kendati demikian, Sigit menyayangkan karena pada kenyataannya pemerintah tidak siap untuk memberikan jaminan hak pemenuhan untuk kebutuhan masyarakat.

"Kita kan tidak siap pemerintahnya, lebih banyak berdebatnya antara iya atau tidak. Begitu dilakukan ini masyarakat yang menjadi korban karena masyarakat tidak disiapkan lebih dulu," tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI