Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti ramainya unggahan di beberapa media sosial mengenai ajakan untuk tidak membaca, mengunggah dan membagikan berita Covid-19.
Ajakan itu, disampaikan melalui poster digital dan teks tertulis. Dalam temuan AJI setidaknya ada sembilan poster digital dengan desain mirip yang mengatasnamakan warga Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Majalengka, dan Cirebon.
Temuan AJI lainnya, ajakan agar tidak membaca informasi mengenai Covid-19 juga tersebar di sejumlah grup-grup WhatsApp.
Adapun tulisan yang tersebar itu mengklaim terdapat sejumlah negara yang melarang warga negaranya mengirimkan berita tentang Covid-19 melalui media sosial. Seperti, Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Australia.
Baca Juga: Warga Balikpapan Jenuh Dengan berita Covid-19, Satgas: Untuk Evaluasi Mengemas Pemberitaan
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim menyebut, ada kesamaan pesan agar masyarakat tidak membaca dan mengikuti informasi dan berita tentang Covid-19 di media, karena dianggap bisa menganggu imun.
Tapi, ajakan itu belum diketahui siapa yang menjadi otak di balik penyebaran poster digital dan teks tertulis tersebut.
"Tapi temuan jurnalis di beberapa kota, pesan ini awalnya justru disebarkan oleh pejabat dan aparat setempat," ucap Sasmito melalui keterangannya, Sabtu (17/7/2021).
Sasmito pun beranggapan, sejumlah ajakan dalam bentuk poster di media sosial maupun grup WhatsApp untuk tidak mengikuti informasi mengenai covid-19, sebagai bentuk propaganda keliru yang bisa membahayakan keselamatan publik.
"Ini karena ajakan tersebut disampaikan di saat wabah terjadi meluas dan menyebabkan warga sulit mendapatkan layanan fasilitas kesehatan yang sudah penuh pasien," ujarnya.
Baca Juga: Beredar Seruan Tidak Upload Berita COVID-19 Mengatasnamakan Warga Merjosari Malang
Menurutnya ajakan ini bisa menyebabkan masyarakat terjebak pada rasa aman palsu (toxic positivity), yang justru akan membuat mereka abai dengan protokol kesehatan.
"Informasi yang akurat mengenai skala penularan dan dampak dari pandemi ini justru dibutuhkan warga untuk membangun kesiapsiagaan," tegasnya.
Menyikapi persoalan ini, AJI Indonesia pertama, mengecam penyebaran seruan tidak membaca, mengunggah dan membagikan berita tentang Covid-19 karena dapat membahayakan keselamatan publik.
"Seruan ini berpotensi membuat publik tidak mendapatkan informasi yang tepat. Padahal informasi tersebut dibutuhkan untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan tindakan agar dapat selamat dalam situasi pandemi Covid-19 yang semakin mengganas," ujarnya.
Kedua, Seruan ini merupakan bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan karya jurnalistik karena dinilai sebagai penyebab turunnya imun seseorang dalam situasi pandemi.
Apalagi, jurnalis profesional dalam bekerja selalu mematuhi kode etik jurnalistik. Kendati demikian, masyarakat yang merasa dirugikan pemberitaan dapat meminta hak jawab dan hak koreksi, serta melapor ke Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pers.
" AJI juga melihat seruan ini sengaja dipropagandakan untuk membungkam upaya kritis media dalam memberitakan fakta-fakta mengenai pandemi dan penanganannya di Indonesia," katanya.
"Pemerintah terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu meluruskan mengenai hal itu," katanya.
Terakhir, Sasmito meminta Dewan Pers segera menyikapi serangan-serangan terhadap jurnalis dan pers nasional dalam pandemi Covid-19 yang semakin masif dan mengancam kebebasan pers.
Sebelumnya, pada awal bulan lalu, Kepolisian Republik Indonesia atau Humas Polda Bengkulu juga memberikan stempel hoaks terhadap berita 63 pasien meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR Sardjito Yogyakarta, akibat kelangkaan oksigen.
"Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai kode etik jurnalistik," ujarnya.
" Dewan Pers perlu berkoordinasi secepatnya dengan aparat penegak hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis yang mengancam kebebasan pers dan membahayakan keselamatan publik," imbuhnya