Merawat Kewarasan di Tengah Pandemi, Orang Menyangkal Covid Adalah yang Tercemas

Jum'at, 16 Juli 2021 | 19:51 WIB
Merawat Kewarasan di Tengah Pandemi, Orang Menyangkal Covid Adalah yang Tercemas
Ilustrasi- Nakes Covid-19. [ANTARA/HO]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seiring mengganasnya virus Covid-19, suara sirene ambulans hampir setiap saat melengking, grup obrolan di telepon genggam penuh dengan kabar duka. Begitu juga dari pengeras suara masjid yang nyaris setiap hari berkumandang untuk mengabarkan warga yang meninggal dunia. 

Inilah gambaran hari-hari di Jabodetabek sekarang. Dalam menghadapinya, ada mereka yang  tetap berusaha tenang, namun ada yang panik setengah mati, seolah akan menunggu giliran. Bahkan ada juga yang tidak peduli sama sekali. 

Lantas bagaimana dunia psikologi melihat situasi ini? Bagaimana agar mental tetap waras pada masa-masa krisis ini? 

Psikolog senior, Kasandra Putranto pun angkat bicara terkait fenomena ini. Kata dia, sebelum pandemi, mendengar sirene ambulans atau kabar kematian merupakan hal yang lumrah. Namun, pada saat ini, maknanya menjadi berubah. 

Baca Juga: Makin Meningkat, Kasus Covid-19 di Sulteng Bertambah 233 Orang

“Jika sebelum pandemi, mendengar suara ambulans dan berita kematian mungkin tidak membuat kita cemas atau panik dengan berlebihan. Namun dalam kondisi saat ini, kedua hal tersebut dapat membuat kita cemas berlebihan, panik, dan bahkan menimbulkan trauma tersendiri,” kata Kasandra saat dihubungi Suara.com, Jumat (16/7/2021). 

“Selain juga menjadi stimulus yang dapat menumbuhkan kesadaran akan bahaya dan ancaman yang dimiliki COVID-19,” sambungnya. 

Sejumlah tenaga medis Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah Kepala Puskesmas Banjarsari Dokter Usman, yang meninggal akibat COVID-19 di Jalan Raya Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (26/10/2020). [ ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya]
Ilustrasi--Sejumlah tenaga medis Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah Kepala Puskesmas Banjarsari Dokter Usman, yang meninggal akibat COVID-19 di Jalan Raya Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (26/10/2020). [ ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya]

Kasandra menjelaskan, saat diri menjadi sangat sadar akan bahaya dan ancaman dari COVID-19, kecemasan yang muncul dapat berkembang menjadi takut atau denial. 

“Rasa takut akan muncul jika seseorang berhadapan dengan ancaman bahaya, baik fisik, emosional, atau psikologis, baik yang nyata maupun yang dibayangkan,” ujarnya. 

Kata finalis Abang None Jakarta 1989 ini, untuk tetap bisa tenang pada masa krisis sangat  ditentukan dari sudut pandang. 

Baca Juga: Batalkan Vaksin Berbayar Kimia Farma, Jokowi Tegaskan Semua Vaksin ke Masyarakat Gratis

“Secara positif, ancaman ini bisa dianggap sebagai motif untuk meningkatkan kesejahteraan fisik, emosional, atau psikologis kita, sehingga masyarakat akan tergerak untuk melakukan introspeksi dan berusaha menaati prosedur kesehatan,” papar Kasandra. 

Namun secara negatif, ancaman dapat diinterpretasikan sebagai tekanan yang memicu rasa panik, yang semakin membebani kondisi psikologis seseorang dan imunitas seseorang.

Perempuan kelahiran 1968 ini mengungkapkan, ketakutan sebenarnya berperan penting dalam menjaga diri untuk tetap aman,  dengan cara memobilisasi diri untuk mengatasi potensi bahaya.

“Sehingga rasa takut itu yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan kewaspadaan, mematuhi prosedur kesehatan, berdiam diri di rumah, minum vitamin, dan lain-lain,” jelasnya.

Sementara, bagi mereka yang denial atau menyangkal keberadaan Covid-19, sebenarnya juga mengalami kecemasan, hanya saja cara respons yang berbeda. 

Mekanisme pertahanan adalah strategi yang digunakan orang untuk mengatasi perasaan tertekan. Penyangkalan mencakup tidak mengakui kenyataan atau menyangkal konsekuensi dari kenyataan itu.

“Orang-orang yang menyangkal pandemi ini, hanya akan melakukan apa yang mereka inginkan, mereka sebenarnya cemas. Namun mereka tidak ingin mengakui kenyataan bahwa diri mereka sendiri atau orang yang mereka cintai dapat terinfeksi, mereka akan mencari alasan untuk menolak pandemi ini,” ujar Kasandra. 

Akhirnya, golongan ini tidak benar-benar mematuhi aturan.  

“Beberapa di antaranya memiliki bias konfirmasi, dan banyak di antara mereka yang akan mengaitkannya dengan teori konspirasi,” tandasnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI