![Ilustrasi buruh [suara.com/Kurniawan Mas'ud]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2014/11/10/o_196cd96uk12ao1r3ojp4ekj36410.jpg)
Artinya, dalam satu ekosistem kerja, kerumunan orang banyak pasti terjadi. Hal itu tentunya juga memiliki risiko, yakni penyebaran dan penularan virus Covid-19.
Menurut Jumisih, ini menjadi persoalan yang serius dan harus segera diselesaikan oleh pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan beserta jajarannya. Dia menyatakan, klaster pabrik adalah situasi yang benar-benar mengkhawatirkan.
"Harus diperhatikan betul dalam kondisi seperti ini, tetap dikondisikan masuk bekerja dan klaster yang mengkhawatirkan. Jadi itu supaya diperhatikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan," lanjut dia.
Tak hanya itu, perusahaan maupun pabrik juga didesak untuk melakukan upaya pengawasan semaksimal mungkin. Salah satunya adalah upah kerja dalam sistem kerja secara shift.
"Karena, kalau upah berkurang, hak berkurang, itu akan mempengaruhi kesanggupan untuk membeli sembako," cetus Jumisih.
Masalah upah yang tidak jelas itu pada akhirnya akan berimbas pada hal-hal lainnya. Contoh paling nyata adalah kebutuhan untuk membeli barang-barang pokok.
Hal itu juga akan berimbas pada ketahanan gizi seorang pekerja. Imunitas tubuh juga dikhawatirkan berkurang sehingga pekerja mudah terpapar Covid-19.
"Imbasnya asupan gizi berkurang, jadi tingkat imunitas makin malah menurun dan menjadi mudah terpapar," ujar Jumisih.
Di masa PPKM Darurat yang diklaim sebagai satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pihak FSBPI berharap agar kebijakan pemerintah tidak menciderai hak-hak buruh. Menurut Jumisih, upaya pemerintah belum maksimal dalam membatasi penyebaran covid-19.
Baca Juga: RSUD Rasidin Padang Kembali Jadi Rumah Sakit Khusus Covid-19
"Jadi kalau misalnya mau dibatasi ya serius, kami ini, di sektor germen khususnya, masih masuk bekerja. Ratusan orang datang ke pabrik dengan kondisi APD ala kadarnya," tegas Jumisih.