Pesan Buruh yang Kian Terjepit Covid: Jadi Perusahaan Jangan Pelit, Mau Untungnya Saja!

Selasa, 13 Juli 2021 | 15:26 WIB
Pesan Buruh yang Kian Terjepit Covid: Jadi Perusahaan Jangan Pelit, Mau Untungnya Saja!
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Buruh kelompok yang paling rentan terpapar virus selama masa pandemi Covid-19. Setiap hari, kasus positif Covid-19 dilaporkan terus melonjak.

Kemarin, Senin (12/7/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali bertambah sebanyak 40.417 orang. Sehingga, total kasus menembus angka 2.567.630 orang.

Laporan ini merupakan rekor tertinggi penambahan kasus harian selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Tentunya, kasus positif Covid-19 juga datang dari kelas buruh yang masih tetap bekerja di pabrik dan bahkan menjalar menjadi klaster penyebaran.

Hari ini, Suara.com mendengarkan cerita dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), organisasi serikat buruh yang dulunya bernama Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Setelah menggelar kongres pada Desember 2020 lalu, organisasi ini resmi bernama FSBPI.

Baca Juga: RSUD Rasidin Padang Kembali Jadi Rumah Sakit Khusus Covid-19

Melalui sambungan telepon, Jumisih (42) selaku Wakil Ketua FSBPI berbagi cerita soal nasib buruh selama masa sulit ini, khusunya selama masa PPKM Darurat. Anggota FSBPI tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.

Di Ibu Kota khususnya, anggota FSBPI rata-rata bekerja di pabrik garmen di kawasan Jakarta Utara. Selama masa PPKM Darurat, buruh-buruh tetap bekerja langsung dari pabrik.

Jumisih mengatakan, sejauh ini, sejumlah pabrik yang menjadi tempat kerja anggota FSBPI bekerja secara shift. Imbasnya tidak ada kejelasan mengenai upah selama kerja secara shift tersebut.

Selama PPKM Darurat ini, lanjut Jumisih, para buruh ada yang harus bekerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, dan sejak pukul 12.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.

"Cuma yang kami tidak setuju, adalah tidak ada kejelasan terkait dengan jam kerja, upah, jam lembur, dan upah lembur. Jadi penerapan tiap pabrik beda-beda ya," ungkap Jumisih kepada Suara.com, Selasa (13/7/2021).

Baca Juga: Kebut Capaian Vaksinasi, Pemkab Bantul Targetkan 700 Ribu Orang Tervaksin Tahun Ini

Soal upah yang belum jelas selama kerja dengan sistem shift, Jumisih menyebutkan hal tersebut bermula dari jadwal bekerja buruh yang berubah. Sebelum masa PPKM Darurat, anggota FSBPI yang bekerja di sejumlah pabrik garmen di kawasan Jakarta Utara bekerja selama 5 hari dalam seminggu.

Sementara, kebijakan sekarang mewajibkan buruh masuk kerja enam hari dalam seminggu dengan sistem shift. Padahal, jika buruh masuk kerja pada hari Sabtu, itu sudah masuk dalam kategori lembur.

Mutiara Ika Pratiwi, Jumisih, Ajeng P. Anggraini [suara.com/Handita Fajaresta]
Mutiara Ika Pratiwi, Jumisih, Ajeng P. Anggraini [suara.com/Handita Fajaresta]

Jumisih menyebut, perusahaan atau pabrik juga tidak melibatkan serikat pekerja dalam membikin aturan kerja shift. Imbasnya, urusan lembur dan upah lembur semakin tidak jelas.

"Jadi karena mereka punya kuasa, bisa kasih perintah, tidak ada kejelasan soal jam kerja, upah, lembur, gitu. Itu lah yang terjadi selama PPKM Darurat ini," ucap Jumisih.

Jumisih menambahkan, sistem kerja secara shift ini semakin mengganggu jam istirahat para buruh. Jika harus masuk dan tiba di kantor pada pukul 06.00 WIB, artinya pekerja harus berangkat lebih awal, misalnya ada yang harus berangkat pada pukul 05.00 WIB.

Ada kenyataan lain yang harus diterima oleh sektor buruh imbas sistem kerja shift. Salah satunya harus merogoh saku celana lagi untuk urusan ongkos perjalanan hingga ongkos tenaga berupa makanan.

"Jadi ada ongkos atau pengeluaran tambahan kan, itu yang menurut kami tidak dipikirkan oleh perusahaan. Misalnya soal transportasi, sarapan pagi, kan kalau pagi-pagi belum ada yang jualan makanan," beber dia.

Pabrik Abai Soal Fasilitas Kesehatan

Dalam masa-masa menyedihkan seperti ini, masker, sarung tangan, hingga hand sanitizer menjadi kebutuhan pokok layaknya sandang, pangan, dan papan. Tubuh manusia memerlukan barang-barang seperti itu agar tetap bisa beraktivitas secara normal di tengah lingkungan yang ngeri.

Pada lingkup kerja sektor buruh, rupanya barang-barang seperti masker hingga sarung tangan tidak difasilitasi oleh pihak pabrik. Artinya, perusahaan tidak menunjukan upaya dalam rangka pencegahan dan penyebaran virus covid-19 dilingkungan kerja pabrik.

Pihak perusahaan, kata Jumisih, sempat memberikan masker kepada para pekerja pada awal-awal pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Tapi sudah satu tahun pandemi ini berjalan, pihak perusahaan tidak lagi memberikan masker hingga vitamin.

Modal pabrik atau perusahaan dalam hal ini adalah satu, yakni tempat cuci tangan. Itu pun hanya sekedar tempat cuci tangan, tak ada sabun atau hand sanitizer.

"Sepertinya perusahaan itu belum menyediakan upaya-upaya untuk pencegahan dan penyebaran virus Covid-19. Maskernya saja juga tidak dikasih, vitamin tidak dikasih," ujar Jumisih.

Aksi teatrikal yang dilakukan pendemo di depan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Dian Latifah]
Aksi teatrikal saat buruh berdemo di depan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Dian Latifah]

Untuk urusan vaksinasi Covid-19 di lingkungan sektor buruh, belum menyasar hingga keseluruhan. Kata Jumisih, memang sempat ada program vakasinasi yang diselenggarakan oleh pihak perusahaan, namum tidak menjangkau seluruh pekerja.

Atas hal tersebut, rekan-rekan buruh harus mengikuti program vaksinasi berdasarkan teritori wilayah melalui RT dan RW setempat. Jumisih juga menyebut, belum semua anggota FSBPI menerima vaksin Covid-19.

"Ada juga yang vaksin lewat pabrik, ada juga yang lewat teritori atau tempat tinggal dari RT/RW setempat, tetapi memang masih berjalan sih, belum semua," katanya.

Klaster Pabrik

Jumisih mengatakan, sudah banyak anggota FSBPI yang terpapar Covid-19. Total ada 167 anggota yang dilaporkan positif Covid-19 hingga hari ini.

Total tersebut berasal dari anggota FSBPI yang ada di sejumlah wilayah di Indonesia. Rinciannya, di Jawa Tengah ada satu anggota yang positif, di Karawang ada 28 anggota yang positif, dan selebihnya berasal dari anggota yang berdomisili di Ibu Kota.

"Kami di organisasi juga sudah banyak yang terpapar, anggota kami juga terpapar dan klaster pabrik menjadi tempat penyebaran yang cukup cepat. Sampai hari ini, ada 167 orang yang terdata. Awalnya hanya satu atau dua orang. Tapi akhirnya menyebar gitu," papar Jumisih.

Terjadinya klaster pabrik, ungkap Jumisih, disebabkan oleh kebijakan perusahaan atau pabrik mengenai sistem jam kerja. Terlebih, satu pabrik biasa mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang.

Ilustrasi buruh [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Ilustrasi buruh [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Artinya, dalam satu ekosistem kerja, kerumunan orang banyak pasti terjadi. Hal itu tentunya juga memiliki risiko, yakni penyebaran dan penularan virus Covid-19.

Menurut Jumisih, ini menjadi persoalan yang serius dan harus segera diselesaikan oleh pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan beserta jajarannya. Dia menyatakan, klaster pabrik adalah situasi yang benar-benar mengkhawatirkan.

"Harus diperhatikan betul dalam kondisi seperti ini, tetap dikondisikan masuk bekerja dan klaster yang mengkhawatirkan. Jadi itu supaya diperhatikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan," lanjut dia.

Tak hanya itu, perusahaan maupun pabrik juga didesak untuk melakukan upaya pengawasan semaksimal mungkin. Salah satunya adalah upah kerja dalam sistem kerja secara shift.

"Karena, kalau upah berkurang, hak berkurang, itu akan mempengaruhi kesanggupan untuk membeli sembako," cetus Jumisih.

Masalah upah yang tidak jelas itu pada akhirnya akan berimbas pada hal-hal lainnya. Contoh paling nyata adalah kebutuhan untuk membeli barang-barang pokok.

Hal itu juga akan berimbas pada ketahanan gizi seorang pekerja. Imunitas tubuh juga dikhawatirkan berkurang sehingga pekerja mudah terpapar Covid-19.

"Imbasnya asupan gizi berkurang, jadi tingkat imunitas makin malah menurun dan menjadi mudah terpapar," ujar Jumisih.

Di masa PPKM Darurat yang diklaim sebagai satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pihak FSBPI berharap agar kebijakan pemerintah tidak menciderai hak-hak buruh. Menurut Jumisih, upaya pemerintah belum maksimal dalam membatasi penyebaran covid-19.

"Jadi kalau misalnya mau dibatasi ya serius, kami ini, di sektor germen khususnya, masih masuk bekerja. Ratusan orang datang ke pabrik dengan kondisi APD ala kadarnya," tegas Jumisih.

Isolasi Mandiri dan Gotong Royong Serikat

Rata-rata, anggota FSBPI yang terpapar virus Covid-19 merupakan anggota yang bekerja di pabrik garmen di Jakarta Utara. Dijelaskan Jumisih, kebanyakan dari mereka harus menjalani isolasi mandiri karena sejumlah rumah sakit di Ibu Kota dilaporkan penuh.

"Rata-rata anggota kami itu isoman semua," ujar Jumisih.

Jumisih bercerita, sempat ada satu orang pengurus FSBPI yang terpapar Covid-19 dan dalam kondisi kritis. Meski sudah menjalani isolasi mandiri selama beberapa hari, sosok tersebut tidak kuat dan harus mendapatkan perawatan secara intensif.

Akhirnya, setelah berjuang mencari ruangan, pengurus FSBPI tersebut dirawat di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Itu pun baru bisa masuk pada dini hari.

"Sudah isoman dan tidak sanggup. Hari kelima kami bawa ke Wisma Atlet. Itu juga sekali untuk dapat kamar. Kami telepon rumah sakit pada penuh. Akhirnya pas dini hari baru dapat ruangan di Wisma Atlet. Kalau selebihnya, berusaha isoman," sambungnya.

Tak hanya positif Covid-19, ada dua anggota FSBPI yang meninggal dunia ketika menjalani isolasi mandiri. Hanya saja, dia tidak begitu mengetahui secara pasti perihal penyebab kematian dua anggota tersebut.

"Kami yang meninggal ada dua orang karena Covid ketika isoman. Kami tidak tahu, tapi kami dapat laporan. Karena apa kami belum tahu. Yang jelas dia isoman," papar dia.

Atas fenomena tersebut, kebutuhan akan fasilitas kesehatan bagi para buruh yang terpapar Covid-19 sebisa mungkin di cover oleh organisasi. Pihak pengurus, kata Jumisih, berupaya semaksimal mungkin dalam upaya bantuan pemenuhan fasilitas kesehatan.

Sebagai contoh, pihak FSBPI sampai membeli tabung oksigen yang kemudiam diperuntukkan bagi anggota yang membutuhkan. Selain itu, kebutuhan pokok seperti masker, sarung tangan, vitamin, hingga logistik juga diupayakan untuk tersalur kepada mereka yang membutuhkan.

Di satu sisi, pengurus FSBPI juga kelimpungan dalam upaya memberi bantuan bagi anggotanya yang terpapar. Maka dari itu, bantuan juga ada yang berasal dari serikat buruh dan rakyat lainnya.

"Kalau sejauh ini, kebutuhan oksigen, vitamin, dan obat-obatan selain dia dapat di puskesmas, kami organisasi bantu sebisa kami," ungkap Jumisih.

"Soal oksigen, organanisasi ada pengadaan sendiri. Kami cari cukup berhasil mencari oksigen. Kemarin cari di daerah pramuka dan dapat. Tapi harganya 3 kali lipat," sebut dia.

Kepusingan lainnya adalah sikap brengsek perusahaan. Disebutkan Jumisih, pabrik maupun perusahaan ogah membiayai fasilitas tes swab PCR bagi karyawannya yang terpapar Covid-19.

Dalam konteks ini, perusahaan cuma memberikan waktu beristirahat bagi pekerja selama berstatus positif Covid-19. Bagi Jumisih, hal itu sangatlah memberatkan pekerja dari sektor buruh yang jaminan kesehatannya tidak ditanggung oleh perusahaan.

"Itu sangat memberatkan, karena kalau ke rumah sakit, itu biaya hampir 750 ribu untuk sekali PCR," tegas Jumisih.

Perusahaan Jangan Pelit!

Jumisih khawatir, tingkat penyebaran Covid-19, khususnya di lingkungan pabrik meningkat. Di sisi lainnya, organisasi juga tidak sanggup untuk menyuplai semua kebutuhan anggota yang jumlahnya mencapai ribuan orang.

Untuk itu, FSBPI berharap agar perusahaan bisa memastikan karyawannya bisa hidup sehat meski harus tetap bekerja secara tatap muka. Misalnya, pabrik bisa memastikan adanya jaga jarak di tengah ribuan pekerja yang berada di dalam satu ekosistem kerja.

Kemudian, dia turut mendesak agar kebutuhan masker, vitamin, hingga obat-obatsn harus disediakan oleh perusahaan. Bahkan, tenaga kesehatan seperti dokter, kalau perlu dihadirkan di pabrik.

"Jadi perusahaan jangan pelit. Mau untung dengan mempekerjakan buruh, tetapi tidak diperhatikan kesehatannya. Kan kalau buruhnya sehat, produksi bisa tetap berjalan. Tolong dimengerti, supaya kita bisa sama-sama hidup tidak resah," tutup Jumisih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI