Suara.com - Vaksin Gotong Royong (VGR) sudah dapat dibeli secara umum melalui Kimia Farma terhitung mulai hari ini, Senin (12/07/2021). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, langkah ini dapat mengancam ketersediaan VGR gratis untuk para karyawan.
Associate Researcher CIPS Andree Surianta mengatakan, opsi vaksin berbayar untuk individu memang bisa mempercepat progam vaksinasi. Namun, akan berpengaruh terhadap ketersediaan stok untuk karyawan swasta secara gratis.
“Membuka opsi berbayar untuk individu memang bisa mempercepat program vaksinasi tetapi kalau skemanya VGR juga, maka otomatis ketersediaan stok untuk karyawan swasta berkurang," kata Andree Surianta dalam keterangan tertulisnya hari ini.
Dia merujuk pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang menyebutkan, ada sekitar 10 juta orang terdaftar dalam program ini. Hanya saja, ketersediaan Vaksin Sinopharm yang masuk baru cukup untuk 750 ribu orang.
Baca Juga: Kimia Farma Jualan Vaksin Covid-19, Menkes Klarifikasi: Usulan Pengusaha dan WNA
Di sisi lain, VGR untuk karyawan swasta pun baru menjangkau 465 ribu orang. Disebutkan Andree, beberapa hambatan VGR perusahaan di antaranya, yakni harga vaksin yang memberatkan dan ketidakpastian jadwal pengiriman.
“Keterbatasan stok VGR membuat jadwal pengiriman sulit dipastikan dan ini membuat perusahaan ragu-ragu untuk berkomitmen, apalagi membayar down payment,” sambungnya.
“Jadi alih-alih meningkatkan jumlah yang divaksinasi, yang terjadi sebenarnya adalah pergeseran peserta dari perusahaan ke individu,” beber dia.
Agar dapat berjalan dengan baik, lanjutnya, usaha mempercepat VGR gratis untuk karyawan maupun berbayar untuk individu memerlukan penambahan pasokan, tidak saja dari segi jumlah tetapi juga jenis maupun merek vaksin.
"Perluasan jenis dan merek vaksin bisa memberikan opsi kisaran harga bagi perusahaan maupun individu dan memungkinkan mereka menyesuaikannya dengan kemampuan keuangan masing-masing," papar Andre.
Baca Juga: CDC dan FDA Kompak Tegaskan Dosis Ketiga Vaksin Covid-19 Belum Diperlukan
Namun mencari supplier baru tentu akan menambah beban pekerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma yang ditunjuk sebagai satu-satunya pengimpor, produsen dan distributor vaksin di Indonesia.
“Pada akhirnya, cepat lambatnya program vaksinasi, baik pemerintah maupun swasta, akan tergantung dari kecepatan BUMN ini. Kalau pengadaan tetap harus melalui satu pintu saja, membuka jalur-jalur pasokan baru bisa menjejali pintu tersebut dan akhirnya meningkatkan risiko kemacetan,” katanyaa.