Suara.com - Rumahku istanaku, mungkin pepatah tersebut yang cocok diberikan kepada seorang warga China ini. Ia tetap teguh mempertahankannya meski diminta pindah untuk pembangunan jalan raya.
Bahkan kisah rumah tersebut sampai menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mendapat julukan "Nail House" atau rumah paku. Rumah tersebut terletak di Guangzhou China.
Pemiliknya, menyadur Mail One Sabtu (10/7/2021), adalah seorang wanita bernama marga Liang. Ia menolak untuk dipindah ke tempat dan memilih hidup di tengah jalan raya tersebut.
Menurut stasiun TV Guangdong, rumah milik Liang tersebut berukuran 40 meter persegi dan berada di tengah jalan raya dua jalur.
Baca Juga: Suami-Istri Bertengkar, Mobil-mobil Mewah Diparkir Ikut Dihajar
Akibat pembangunan jalan di sekitar rumah Liang, hampir tidak ada cahaya yang masuk, bising, dan sangat pekat polusi udaranya.
Menolak pindah
Menurut laporan, Liang ditawari dua unit rumah sebagai pengganti namun ditolaknya mentah-mentah. Ia mengklaim jika kondisi rumahnya tidak sesuai.
Liang bahkan dilaporkan menuntut pemerintah untuk memberikan empat rumah kepadanya, yang kemudian tidak dikabulkan.
Liang mengatakan dia tidak memikirkan apa kata orang mengenai kondisi rumahnya yang terjepit oleh dua jalur jalan raya tersebut.
Baca Juga: Diajak Debat Terbuka Aktivis PB SEMMI Soal WNA, Luhut Tak Hadir dan Tak Merespon
"Anda pikir lingkungan ini buruk, tapi saya merasa ini tenang, membebaskan, menyenangkan dan nyaman." ujar Liang.
Berperang 10 Tahun
Menurut laporan media setempat, Liang berperang mempertahankan istana mungilnya di tengah-tengah gempuran pembangunan jalan raya selama 10 tahun.
Pemerintah China ingin membeli dan menghancurkan rumah Liang tersebut, namun sang pemilik tetap kekeh tidak menyerahkannya.
Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk tetap membangun jalan raya dan jembatan jalan raya dibangun di atas istana mungil Liang tersebut.
Rumah mungil itu kini menjadi terkenal dan mendapat julukan 'Rumah Paku'. Julukan itu diberikan karena sang pemilik menolak menerima ganti rugi dari pemerintah.
Pada tahun 2020 jembatan dan jalan raya itu akhirnya selesai dibangun, meski tidak semuanya berjalan sesuai rencana awal pembangunannya.
Laporan media mengatakan bahwa Liang adalah satu-satunya orang dari 47 keluarga dan tujuh perusahaan yang menolak kompensasi dan relokasi.
Pihak berwenang mengatakan dia telah ditawari beberapa rumah serta tambahan kompensasi berupa uang, namun tetap menolaknya.
Menurut laporan, sebelum membangun jalan dan jembatan tersebut, pemerintah China sudah melakukan pemeriksaan yang membuat Liang tetap dapat tinggal meski diapit dua jalan raya.