“Saya pikir kawan-kawan fakultas hukum sudah sering mengutip adagium, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut itu cenderung korupsi secara absolut juga,” katanya.
“Dan kalau kemudian isu ini kita terima saja kita mengamini kekuasaan yang cenderung absolut yang kemudian mengarah kepada otoritarian,” sambungnya.
Kemudian, agenda reformasi lainnya yang dikorupsi para elite politik, yakni kembalinya Dwi Fungsi ABRI, dalam hal ini dari unsur Polri.
Berdasarkan, data yang disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 2020 lalu, ada 30 polisi yang menjabat di luar tubuh Polri, dengan rincian 18 orang di Kementerian, 7 orang di non-Kementerian, 4 orang di BUMN, dan sisanya sebagai duta besar dan di asosiasi independen.
“Artinya apa? Apa yang kita tuntut pada saat reformasi 98 sebenarnya itu juga turut terancam dengan menguatnya kembali peran-peran TNI dan Polri, terutama Polri,” katanya.
Karenanya, dia pun menyimpulkan, bahwa saat ini terjadi pembusukan demokrasi yang dilakukan oleh para elite politik. Hal itu kata Herdiansyah mengutip pernyataan dari Ilmuan Politik Amerika Serikat, Samuel Phillips Huntington.
“Huntington mengatakan begini, demokratisasi gelombang ketiga itu jangan-jangan akan dihancurkan bukan oleh aktor-aktor sistemik negara, extra sistemik seperti militer, tetapi akan dihancurkan oleh aktor-aktor politik yang sesungguhnya dipilih secara demokratis,” paparnya
“Kalau kemudian kita membaca situasi demokrasi hari ini justru ya, elite-elite politik yang kemudian dipilih secara demokratis yang berperan besar dalam melakukan proses pembusukan demokrasi,” tegas Herdiansyah.
Baca Juga: Wacana Presiden 3 Periode, Ruhut Sebut Jokowi Kiriman Tuhan untuk Indonesia